Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 42. Menjadi Penjara

Share

Bab 42. Menjadi Penjara

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-12-19 10:28:11

Kyai Hasan menatap gadis itu dengan penuh rasa iba, matanya menyiratkan keprihatinan mendalam atas nasib yang kini harus dipikul oleh Murni. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Artinya, Nduk, mulai saat ini kamu akan menjadi penjara bagi makhluk ini. Batu hitam ini akan tetap berada di tubuhmu, menjadi pintu yang terkunci. Tugasmu adalah menjaga agar pintu itu tidak pernah terbuka lagi. Jangan biarkan kebencian, dendam, atau kelemahan hatimu memberi Prana kesempatan untuk bebas."

Murni menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang hampir meledak. Tubuhnya terasa dingin, seolah beban dunia telah diletakkan di pundaknya. Batu hitam yang kini bersarang di tubuhnya bukan sekadar simbol, melainkan pengingat abadi akan kehadiran makhluk yang akan terus hidup di dalam dirinya.

Aji, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Wajahnya memerah oleh emosi yang tertahan. "Tapi... bagaimana Mbak Murni bisa hidup dengan itu, Kyai? Apakah tidak ada cara lain?"

Kyai Hasan menatap pemuda itu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (45)
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
yah dh makan korban aja 🥹
goodnovel comment avatar
zaa_daniar
bagaimana cara prana mengambil nyawa itu. . apa iya lewat tangan murni...
goodnovel comment avatar
Imha Deva
berarti prana lolos atau bagaimana, kan terpenjara dalam batu yang ada dalam tubuh Murni
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 43. Penemuan Mayat

    Kyai Hasan bangkit perlahan. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan kehati-hatian yang mendalam. Ia menoleh kepada Pak Karman. “Pak Karman, tolong bawa tubuh ini ke balai warga. Kita harus membahas ini dengan warga. Ada yang tidak beres dengan kematiannya,” katanya tegas. Pak Karman mengangguk, lalu memberi isyarat kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh pria itu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari bambu dan kain. Beberapa lelaki segera bergerak sesuai arahan Pak Karman, meski wajah mereka jelas menunjukkan rasa takut yang tidak dapat ditutupi. Aji, yang berdiri di dekat Murni, bergidik ngeri. “Kyai,” panggilnya pelan, “Saya merasa pernah melihat hal ini sebelumnya. "Di mana?" tanya Kyai Hasan pelan. "Waktu itu, almarhum Pak Kasnan, anak buah Bapak meninggal di rumah kami dalam keadaan hampir sama seperti ini. Bekas luka bakarnya... dan hitamnya... hampir sama persis,” jawab Aji. Kyai Hasan memutar tubuhnya, menatap Aji dengan pandangan tajam. “Kasn

    Last Updated : 2024-12-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 44. Tantangan Prana

    Malam itu, suasana desa semakin mencekam. Angin dingin bertiup, membawa aroma lembab dari tanah yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Langit malam tertutup awan tebal, menambah kelam suasana. Di masjid, warga mulai berkumpul satu per satu. Lampu-lampu minyak dipasang di setiap sudut, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seakan menggambarkan kegelisahan yang melanda hati mereka.Kyai Hasan duduk di sudut ruangan bersama Aji dan Pak Karman. Ia memandangi warga yang perlahan berdatangan. Namun, meski mulutnya komat-kamit membaca doa, matanya sesekali melirik ke pintu masjid, menunggu kehadiran Murni.“Belum ada tanda-tanda dari Mbak Murni, Kyai,” bisik Aji, suaranya penuh kecemasan. “Tadi saya lihat dia masuk ke kamar setelah kita pulang dari balai desa.”Kyai Hasan mengangguk pelan, raut wajahnya tamoak semakin keruh. “Aji, coba kamu temui Murni, dan ajak dia datang kemari. Sebentar saja, ini penting." "Nggih, Kyai."Tanpa menunggu lama, Aji segera bangkit dan melangk

    Last Updated : 2024-12-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 45. Mencoba Keluar

    Saat suasana masjid semakin mencekam, suara doa yang dilantunkan oleh Kyai Hasan semakin lantang, bergema memenuhi ruangan. Namun, bayangan hitam yang merayap keluar dari tubuh Murni semakin kuat, membentuk pusaran gelap di tengah masjid. Aji, yang berdiri di sudut, menatap kakaknya dengan campuran rasa takut dan keberanian yang memuncak. “Mbak! Berhenti, Mbak! Jangan biarkan dia menguasai tubuhmu!” seru Aji dengan suara bergetar. Murni, yang wajahnya kini dipenuhi seringai menyeramkan, menoleh perlahan ke arah Aji. “Aji… kamu masih peduli padaku?” Suaranya melunak, seperti suara Murni yang sebenarnya. Namun, seringai itu tetap menghiasi wajahnya, membuat perasaan Aji semakin kacau. “Mbak, tolong! Lawan dia! Jangan biarkan dia menguasaimu!” Aji memohon dengan suara yang hampir pecah. Murni tertawa kecil, tetapi tawanya berubah menjadi tawa panjang yang menggema, seakan berasal dari banyak suara sekaligus. Tiba-tiba, tangan dan kakinya bergerak dengan cara yang tidak wajar, seolah-

    Last Updated : 2024-12-20
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 46. Niat Jahat

    Murni berjalan di jalan setapak desa Karang Tengah, langkahnya gontai, kepala tertunduk dalam-dalam. Dari kejauhan, ia bisa mendengar bisik-bisik yang terdengar jelas di tengah sunyi pagi. “Dia itu pembawa sial.” “Jangan biarkan anak-anak kita mendekatinya!” “Kenapa Kyai Hasan masih mau membelanya?” "Dia adalah Prana!" Bisikan-bisikan itu terdengar tajam, menusuk hingga ke dalam hati Murni. Wajah-wajah warga yang dulunya ramah kepadanya saat datang pertama kali kini berubah dingin, bahkan ada sorot penuh kebencian di mata mereka. Beberapa ibu-ibu menatapnya sambil menarik anak-anak mereka menjauh saat melihat Murni. Beberapa pria tua, yang biasanya duduk santai di pos ronda, menghentikan obrolan mereka dan memalingkan wajah, seolah menatap Murni sebagai sesuatu yang memang tak patut dilihat. Murni menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu, ini adalah konsekuensi dari apa yang terjadi di masjid malam itu. Prana memang belum sepenuhnya pergi, dan keberadaannya masih men

    Last Updated : 2024-12-20
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 47. Gagal

    Hujan deras mengguyur desa Karang Tengah. Langit hitam pekat, sesekali diterangi kilatan petir yang menyambar tanpa ampun. Lasmi melangkah dengan tergesa-gesa di jalanan berlumpur, kendi tua di tangannya berguncang seirama dengan langkah kakinya. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar yang menjalar di seluruh tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang ia coba abaikan. "Tidak akan ku biarkan kamu merusak apa yang telah aku korbankan selama ini, Murni. Meskipun kau adalah ... darahku!" Swossh! Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ia merasakan hawa dingin menusuk tulang. Angin kencang berhembus, membawa suara lirih yang menyerupai rintihan. Jantung Lasmi berdetak semakin cepat. Di depan matanya, samar-samar terlihat sosok putih berdiri di tengah jalan setapak yang hendak ia lalui. “Siapa di sana?” seru Lasmi dengan nada penuh keberanian yang dipaksakan. Sosok itu tidak bergerak, namun perlahan menjadi semakin jelas. Wajahnya tertutup kain kafan lusuh yang basah,

    Last Updated : 2024-12-21
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 48. Murka

    Lasmi melangkah gontai kembali ke rumahnya. Kendi yang telah pecah tadi menyisakan sisa cairan hitam dan busuk yang menempel di pakaiannya. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada ribuan ton beban yang mengikatnya ke tanah. Hujan masih mengguyur, menambah kesan kelam pada malam itu.Ketika ia akhirnya tiba di rumah, sesuatu yang ganjil langsung menyambutnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari sekedae tubub yang menggigil karena air hujan yang membasahi tubuhnya. Semua terasa menyesakkan dan menghimpit dadanya. Rumah yang biasanya remang-remang oleh lampu minyak kini begitu gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan petir yang menyambar sesekali. Pintu depan rumahnya terbuka lebar, berayun-ayun seperti dipermainkan oleh angin.Lasmi melangkah masuk dengan hati-hati, tubuhnya basah kuyup dan bergetar. "Sangkalana..." panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara derak kayu yang terdengar, seperti rumah itu tengah merintih kesakitan.Tiba-tiba, suara gemuruh bergema d

    Last Updated : 2024-12-21
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 49. Ketemu

    Para warga, meski diliputi rasa takut, pada akhirnya memutuskan untuk membawa Lasmi ke puskesmas kecil di daerah kota. Tubuh Lasmi yang kaku dan matanya yang menyala-nyala membuat suasana semakin mencekam. Beberapa pria desa memanggul tubuhnya dengan hati-hati, diikuti doa-doa lirih dari para wanita yang mengiringi mereka. Sepanjang perjalanan, Lasmi hanya diam. Namun, sesekali ia tertawa kecil dengan suara serak yang aneh, suada itu seperti bukan dirinya. Udara malam yang dingin menusuk tulang terasa semakin berat, membuat setiap langkah terasa semakin lambat. Ketika mobil pick-up yang membawa Lasmi sampai di jalan utama menuju desa Karang Tengah, tiba-tiba Lasmi menjerit keras. "BERHENTI! BERHENTIII... AKU HARUS KE SANA!" teriaknya dengan suara yang memekakkan telinga. Tubuhnya yang sebelumnya lemas tiba-tiba meloncat dengan kekuatan yang tak terduga, membuat para pria yang memegangi tubuhnya terpental. Lasmi melompat turun dari pick-up dan berlari menuju jalan yang mengarah k

    Last Updated : 2024-12-22
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 50. Sangkalana Datang

    Tubuh Murni tiba-tiba ambruk, menggeliat dengan tangan mencengkeram dadanya yang terasa semakin sesak. Nafasnya terengah-engah, seperti ada sesuatu yang mencoba merobek jalan keluar dari dalam tubuhnya. Aji panik dan segera berlutut di samping kakaknya, memegangi bahunya dengan kuat. "Mbak! Bertahan, Mbak! Jangan menyerah!" seru Aji dengan suara putus asa. Kyai Hasan yang masih berdiri di ambang pintu langsung menoleh ke arah Murni. Raut wajahnya semakin serius. "Aji, bawa Murni ke ruangan tengah. Jangan biarkan dia keluar, dan jangan pernah tinggalkan dia sendiri!" perintahnya tegas. Namun, sebelum Aji sempat mengangkat tubuh Murni, pintu pondok mendadak bergetar hebat, seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat kuat. Suara keras itu membuat Murni menjerit, sementara Aji segera berdiri di hadapan pintu, berusaha melindungi kakaknya. "Keluar kau, Anak Harjo!" suara Lasmi terdengar menggelegar dari luar. Kyai Hasan menatap pintu dengan mata penuh kewaspadaan. Ia menggenggam ta

    Last Updated : 2024-12-22

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status