Lasmi melangkah gontai kembali ke rumahnya. Kendi yang telah pecah tadi menyisakan sisa cairan hitam dan busuk yang menempel di pakaiannya. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada ribuan ton beban yang mengikatnya ke tanah. Hujan masih mengguyur, menambah kesan kelam pada malam itu.Ketika ia akhirnya tiba di rumah, sesuatu yang ganjil langsung menyambutnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari sekedae tubub yang menggigil karena air hujan yang membasahi tubuhnya. Semua terasa menyesakkan dan menghimpit dadanya. Rumah yang biasanya remang-remang oleh lampu minyak kini begitu gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan petir yang menyambar sesekali. Pintu depan rumahnya terbuka lebar, berayun-ayun seperti dipermainkan oleh angin.Lasmi melangkah masuk dengan hati-hati, tubuhnya basah kuyup dan bergetar. "Sangkalana..." panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara derak kayu yang terdengar, seperti rumah itu tengah merintih kesakitan.Tiba-tiba, suara gemuruh bergema d
Para warga, meski diliputi rasa takut, pada akhirnya memutuskan untuk membawa Lasmi ke puskesmas kecil di daerah kota. Tubuh Lasmi yang kaku dan matanya yang menyala-nyala membuat suasana semakin mencekam. Beberapa pria desa memanggul tubuhnya dengan hati-hati, diikuti doa-doa lirih dari para wanita yang mengiringi mereka. Sepanjang perjalanan, Lasmi hanya diam. Namun, sesekali ia tertawa kecil dengan suara serak yang aneh, suada itu seperti bukan dirinya. Udara malam yang dingin menusuk tulang terasa semakin berat, membuat setiap langkah terasa semakin lambat. Ketika mobil pick-up yang membawa Lasmi sampai di jalan utama menuju desa Karang Tengah, tiba-tiba Lasmi menjerit keras. "BERHENTI! BERHENTIII... AKU HARUS KE SANA!" teriaknya dengan suara yang memekakkan telinga. Tubuhnya yang sebelumnya lemas tiba-tiba meloncat dengan kekuatan yang tak terduga, membuat para pria yang memegangi tubuhnya terpental. Lasmi melompat turun dari pick-up dan berlari menuju jalan yang mengarah k
Tubuh Murni tiba-tiba ambruk, menggeliat dengan tangan mencengkeram dadanya yang terasa semakin sesak. Nafasnya terengah-engah, seperti ada sesuatu yang mencoba merobek jalan keluar dari dalam tubuhnya. Aji panik dan segera berlutut di samping kakaknya, memegangi bahunya dengan kuat. "Mbak! Bertahan, Mbak! Jangan menyerah!" seru Aji dengan suara putus asa. Kyai Hasan yang masih berdiri di ambang pintu langsung menoleh ke arah Murni. Raut wajahnya semakin serius. "Aji, bawa Murni ke ruangan tengah. Jangan biarkan dia keluar, dan jangan pernah tinggalkan dia sendiri!" perintahnya tegas. Namun, sebelum Aji sempat mengangkat tubuh Murni, pintu pondok mendadak bergetar hebat, seperti dihantam oleh sesuatu yang sangat kuat. Suara keras itu membuat Murni menjerit, sementara Aji segera berdiri di hadapan pintu, berusaha melindungi kakaknya. "Keluar kau, Anak Harjo!" suara Lasmi terdengar menggelegar dari luar. Kyai Hasan menatap pintu dengan mata penuh kewaspadaan. Ia menggenggam ta
"Cukup...!"Murni yang sebelumnya tampak lemah tiba-tiba memancarkan energi yang tidak biasa. Tubuhnya memanas, menggeliat beberapa kali sebelum terdiam. Cairan merah masih mengalir dari sudut matanya, tetapi kini sorot matanya berubah tajam, penuh kekuatan. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, "Prana, bantu aku!"Hawa di ruangan itu berubah drastis. Udara yang sejak tadi rasa dingin dan menusuk kini berganti menjadi panas yang teramat sangat, seolah kekuatan lain mulai bangkit dari dalam tubuh Murni. Aji yang memegangi kakaknya tertegun, tangannya gemetar, tetapi ia tidak melepaskan pegangannya pada Murni meskipun dirinya juga merasakan sensasi panas itu menjalar ke telapak tangannya."Mbak...?" Aji memanggil dengan suara bergetar, tetapi Murni sama sekali tidak menjawab panggilan itu. Secara perlahan, ia bangkit, meskipun tubuhnya masih terlihat lemah.Lasmi yang berdiri di ambang pintu memperhatikan perubahan ini dengan mata menyipit, senyum liciknya memudar. "A-apa
Malam itu, setelah pertarungan sengit di rumah Kyai Hasan, suasana desa terasa lebih mencekam daripada biasanya. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh. Murni duduk bersandar di dinding rumah Kyai Hasan, tubuhnya terasa berat dan lemah. Cahaya bulan yang menyelinap dari sela-sela atap memberi sedikit penerangan di ruangan itu. Di pangkuannya, Aji tertidur dengan tenang. Wajah adiknya yang polos dan lelah itu membuat hati Murni bergetar. Ia mengusap rambut Aji dengan lembut, menghilangkan debu dan sisa keringat dari pertempuran tadi. Meski Aji terlihat tenang dalam tidurnya, Murni lah yang paling tahu jika ketakutan yang baru saja mereka alami pasti masih membekas untuknya. Dari luar rumah, Kyai Hasan berdiri memperhatikan kegelapan malam. Suara jangkrik terdengar samar, tetapi angin dingin yang menusuk tulang membawa rasa tidak nyaman di hatinya. Kyai Hasan menyipitkan mata, seolah mencoba menangkap tanda-tanda bahaya di balik kegelapan yan
"Apa kamu lupa akan hal itu, Murni?" tanya Prawiro dengan senyumnya yang sangat sulit untuk diartikan. Kyai Hasan memotong, suaranya tegas. "Prana telah menjadi bagian dari dirinya saat ini. Aku akan membimbingnya." Prawiro tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Hasaaan... Hasan, kau selalu berpikir bahwa cahaya adalah jawabannya untuk segalanya. Tapi Sangkalana bukan hanya kegelapan biasa. Dia adalah pembawa kehancuran. Dan Prana senidiri... ia adalah gabungan dari kekuatan duniawi dan supranatural. Kau tidak akan bisa melindungi gadis ini hanya dengan sebuah doa." Murni menoleh ke Kyai Hasan, mencari penjelasan. "Kyai... apakah dia benar?" Kyai Hasan menghela napas panjang. "Iya, ada kebenaran dalam kata-katanya, Nduk. Tapi aku tidak setuju dengan caranya." Prawiro kembali berbicara. "Dengar, Murni. Aku berada di sini bukan untuk memaksamu. Tapi jika kamu ingin mengendalikan Prana, kamu butuh bimbingan yang berbeda. Aku bisa membantumu. Tapi tentu saja, jalanku tidak akan mu
Aji menggeleng kuat, air mata mengalir deras di pipinya. "Mbak, jangan. Kalau Mbak kenapa-kenapa, aku mau hidup sama siapa, Mbak?"Murni memeluk adiknya itu dengan erat, mencoba menenangkan tangisnya meski hatinya sendiri bergejolak hebat. "Aji, Mbak janji, Mbak nggak akan ninggalin kamu. Tapi Mbak juga nggak bisa diam saja. Kalau Lasmi sampai mendapatkan Sangkalana, kita semua akan hancur." Aji masih memandangnya dengan penuh kekhawatiran, tetapi Murni bisa melihat ada keraguan dalam mata adiknya. Namun, meski hatinya penuh dengan rasa takut, Murni tahu bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil. Dalam hening itu, Murni merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sebuah kekuatan yang telah lama terkubur, kini mulai terasa berdenyut. Sesuatu yang harus ia pelajari, jika ia ingin melindungi orang-orang yang ia cintai.Kyai Hasan melangkah mendekat, tangannya yang renta menyentuh bahu Murni dengan lembut. "Jika itu keputusanmu, Nduk, aku akan tetap di sini untuk mendukungmu. Namun,
“I-ini... tidak mungkin,” desisnya. Murni ternganga. Rumah tua yang tadi berdiri seperti bangunan hampir roboh kini menjelma menjadi rumah besar yang utuh. Dinding kayu yang mengilap memantulkan cahaya samar dari langit senja, jendela-jendela lebar dengan kaca bening memancarkan kesan kehangatan, dan atap rumbia yang tampak baru menambah kemegahan rumah itu. Udara di sekitarnya berubah; aroma kayu segar dan tanah basah menyeruak, membawa sensasi yang aneh namun begitu familiar. Jantung Murni berdegup kencang. Ia melangkah mundur, matanya masih terpaku pada rumah tersebut. Namun, langkahnya terhenti saat tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seolah-olah sebuah kekuatan tak kasat mata menariknya maju. Ia ingin berbalik, berlari menjauh, tetapi kakinya tidak merespons. Napasnya memburu, matanya membelalak, dan tubuhnya bergerak tanpa ia kendalikan. Hingga tanpa sadar, ia sudah berdiri di depan sebuah pintu besar yang berderit terbuka perlahan, memperlihatkan bagian dalam rumah. Dingin
“LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola
Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk
Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam
"Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng
Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke
Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan
"Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep
"Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a
Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La