Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of 40 Hari Setelah Kematian Bapak: Chapter 31 - Chapter 40

102 Chapters

Bab 31. Karsono

Murni menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. Ia melangkah masuk lebih dalam ke rumah itu, sementara Kyai Hasan menyalakan lebih banyak lampu minyak, menerangi ruangan yang penuh dengan bayangan mencekam. Murni menatap setiap sudut, merasakan kehadiran yang berat, seolah-olah rumah itu mengawasinya. "Bagaimana aku harus menghadapi mereka, Kyai?" tanya Murni dengan suara bergetar. "Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana." Kyai Hasan mengeluarkan sebuah kain lusuh dari dalam tasnya. Di dalamnya terdapat sebuah cincin kuno berwarna keemasan, dihiasi batu merah yang memancarkan kilau aneh di bawah cahaya lampu. "Ini," ucap Kyai Hasan sambil menyerahkan cincin itu pada Murni. "Ini adalah milik Karsono. Cincin ini menyimpan jejak perjanjiannya. Ia adalah kunci untuk membuka jalanmu berhadapan dengan mereka." Murni menatap cincin itu dengan ngeri. "Apa yang harus aku lakukan dengan ini?" "Pakailah," jawab Kyai Hasan. "Cincin ini akan membantumu memanggil mereka. Tap
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 32. Tipu Muslihat

“Itu… itu suara Bapak, Kyai. Tapi… bagaimana mungkin?” Dari sudut ruangan yang gelap, muncul sesosok bayangan samar. Bayangan itu perlahan membentuk pocong Raharjo. “Murni… kau sudah terlalu jauh dalam perjalanan ini,” ucap Harjo dengan suara lembut. “Aku tahu kau ingin mengakhiri kutukan keluarga kita, tapi kau tak perlu mengorbankan dirimu seperti ini.” Murni terisak. “Bapak… Bapak tahu apa yang keluarga kita alami. Semua ini karena perbuatan Kakek. Aku harus menyelesaikannya. Kalau tidak, kutukan ini akan terus menghantui kita!” Raharjo mengangguk perlahan, kemudian kembali membuka mulutnya lebar-lebar. “Aku tahu, Nak. Tapi dengarkan aku. Apa yang kau lawan bukan hanya Karsono atau arwah-arwah ini. Ada kekuatan yang jauh lebih besar, sesuatu yang bahkan Kakekmu sendiri tidak bisa kendalikan.” Murni memandang ayahnya dengan bingung. “Apa maksud Bapak? Apa yang lebih besar dari ini semua?” "Apa yang dia berikan padamu, bukan hanya kunci untuk memanggil mereka. Sedangkan apa yan
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 33. Kebenaran

Suara lonceng perak itu terhenti di udara. Raharjo, dengan kain kafan yang tersibak angin, berdiri di hadapan Lasmi yang kini terpojok di bawah bayangan pohon tua. Tubuh Lasmi gemetar, tetapi sorot matanya masih dipenuhi ambisi yang menyala. "Kau pikir bisa menghentikan aku, Raharjo? Aku adalah pewaris sejati kekuatan ini! Kau hanya bayangan yang tersisa dari salah satu.... hmmm... tumbal!" serunya dengan suara melengking, yang kemudian diikuti oleh tawa yang terdengar nyaring. "Hahhahaha!!" Raharjo mendekat perlahan, suara langkah kakinya yang berat terdengar seperti genderang kematian. "Lasmi, ini bukan tentang siapa yang pantas atau tidak. Kekuatan ini... adalah kutukan, bukan warisan. Dan kau telah menyalahgunakannya untuk hal yang lebih buruk daripada yang pernah Karsono lakukan." Lasmi tertawa getir, meskipun caira merah menetes dari sudut bibirnya karena efek serangan balik dari Raharjo yang memakan boneka kain itu. "Kau tidak mengerti, Raharjo. Aku tidak takut pada kutuk
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 34. Belum Usai

Malam itu, meskipun Murni telah menemukan sedikit kedamaian dalam pelukan Kyai Hasan, bayangan kelam dari apa yang telah terjadi masih menghantui pikirannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap yang sedang mengintai, menunggu untuk menghancurkan apa pun yang menjadi penghalang. Sementara itu, di luar rumah, hujan turun deras, seolah ikut meratapi nasib yang tak dapat dihindari. Lasmi, yang sebelumnya telah terpojok dalam cengkeraman Sangkalana, kini masih berdiri di bawah pohon tua yang bersaksi bisu atas kekalahan besarnya. Namun, hatinya yang penuh ambisi dan kebencian tidak akan mudah menyerah begitu saja. Ia telah memanggil Sangkalana, makhluk kegelapan yang begitu kuat, dan meskipun makhluk itu menghancurkan banyak harapannya, Lasmi tidak pernah berniat untuk menyerah. Di tengah kabut pekat yang mulai menyelimuti di sekelilingnya, tubuh Lasmi yang terluka terbungkus dalam kekosongan yang dalam. Ia berbisik, mengucapkan mantra yang telah lama ia simpan
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

Bab 35. Sangkalana

Malam semakin larut, tapi ketenangan yang diharapkan di rumah Lasmi tak kunjung datang. Murni duduk di sudut ruangan, berusaha menghilangkan beban pikirannya. Ia memeluk lututnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hujan mulai reda, namun suara rintik yang tersisa menciptakan irama yang seolah mencemooh keputusasaan di dalam rumah itu. Lasmi, setelah memastikan Aji sudah tertidur di kamarnya, melangkah pelan menuju dapur. Namun, alih-alih menyiapkan sesuatu, ia hanya berdiri di sana, menatap pisau dapur yang tergantung di dinding. Matanya kosong, tapi ada sebuah kilatan gelap yang bersembunyi di balik pupilnya. Ia tak memedulikan bayangan kelam yang semakin nyata di sudut ruangan. Sangkalana ada di sana, bersembunyi dalam bayang-bayang, memerhatikan dan menunggu. "Lasmi," suara berat itu menggetarkan udara di sekitarnya. Lasmi berbalik dengan cepat, meski ia sudah menduga siapa yang memanggilnya. Sosok Sangkalana, meskipun hanya berupa bayangan samar, tampak semakin nyata. Mat
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 36. Tak Ingin Kembali

Lasmi berdiri terpaku di tempatnya. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal. Matanya kosong, penuh keputusasaan. Murni memeluk Aji erat-erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri, sementara adiknya masih menggigil akibat kejadian tadi. “Ibu… kenapa Ibu tega melakukan ini?” suara Aji pecah, penuh kemarahan dan kekecewaan. Ia menatap ibunya dengan tatapan yang tak pernah ia gunakan sebelumnya—tatapan seorang anak yang dikhianati oleh orang yang seharusnya melindunginya. “Ibu nggak punya pilihan, Aji,” bisik Lasmi, suaranya serak. “Semua yang Ibu lakukan ini demi kalian…” “Demi kami?” Murni memotong, suaranya meninggi, tangannya terkepal. “Demi kami, Ibu menyerahkan kami ke makhluk itu? Ibu memanggil iblis ke rumah kita, Ibu membahayakan nyawa kita? Ini semua demi Ibu sendiri!” Lasmi menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Kalian tidak akan mengerti. Dunia ini tidak adil. Aku hanya ingin kita hidup lebih baik—" “Hidup lebih baik?” potong Aji dengan suara keras. “Apa gunanya
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 37. Bapak

Aji menahan napas, tubuhnya gemetar saat suara langkah berat Sangkalana terdengar semakin dekat. Dinding gubuk yang lapuk bergetar setiap kali makhluk itu bergerak. Suara napasnya yang berat dan serak bergema, membuat bulu kuduk Aji dan Murni berdiri. “Dia… dia sudah di luar!” bisik Murni, hampir tak terdengar, sambil mencengkeram lengan Aji erat. Aji berdiri di depan Murni, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri dipenuhi ketakutan. Ia tahu tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka terjebak di gubuk tua itu tanpa jalan keluar. “Dengar, Mbak,” bisik Aji, berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar. “Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tanganku. Kita akan hadapi ini bersama.” Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar. Pintu gubuk itu bergetar hebat, hampir copot dari kayu yang menahannya. Sangkalana mulai menghantam pintu kayu itu berkali-kali dan terus mencoba untuk masuk. Setiap pukulannya membuat debu beterbangan dan kayu pintu retak sedikit demi sedikit. “Dia
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

Bab 38. Prawiro

Pria tua itu berjalan semakin dekat, tubuhnya yang bungkuk menambah misteri sosok yang muncul di tengah kegelapan malam itu. Aji, yang masih memeluk tubuh Murni dengan cemas, menatap pria itu dengan rasa tak percaya. Sepertinya dia pernah melihatnya, meskipun dia sendiri tak dapat langsung mengingatnya. "Siapa... siapa itu?" bisik Aji lagi, suara seraknya hampir tenggelam oleh suara langkah berat Sangkalana yang semakin dekat. Pria tua itu berhenti beberapa langkah di depan mereka. Aji menatap lebih dalam, dan matanya tiba-tiba terbuka lebar saat mengenali pria tersebut. Itu adalah Prawiro, pria yang dulu ditemui Murni di kuburan Bapaknya—Raharjo. Sosok yang penuh misteri dan sepertinya memiliki hubungan yang lebih dalam dengan keluarga mereka. "Bapak..." gumam Aji, suaranya bergetar. "Bapak ini... yang dulu bertemu dengan Mbak Murni di kuburan Bapak, kan?" Pria tua itu tersenyum tipis, meski senyumnya tidak mengandung kebahagiaan. "Anak-anak Harjo... kalian berada dalam bahaya
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

Bab 39. Batu Hitam

Murni masih merasakan batu hitam itu tertanam di dadanya. Getarannya meresap hingga tulang, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di dalam batu tersebut. Aji memandangnya dengan cemas, namun tak berani berkata apa-apa. Malam itu, setelah Prawiro menghilang dalam kegelapan, dunia terasa begitu sunyi, seolah baru saja dihempas badai dahsyat. “Kita harus segera pergi dari sini, Mbak,” kata Aji pelan. Murni hanya mengangguk lemah. Namun, bisikan-bisikan samar terus berdengung di telinganya, suara yang tak dikenal namun terasa begitu akrab. Batu itu kini menjadi bagian dari dirinya. Satu hal yang tak Murni ketahui, jika hidupnya tak akan pernah sama lagi. Aji menggenggam tangan Murni erat, perasaan cemas semakin menggulung dalam dadanya. Mereka terus berlari melalui jalanan setapak yang semakin gelap, langkah-langkah mereka cepat, namun suara langkah kaki mereka seolah teredam oleh keheningan yang semakin mencekam. Angin yang sebelumnya berdesir kini berubah menjadi bisu, seakan alam p
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

Bab 40. Sosok Lain

Murni masih merasakan batu hitam itu tertanam di dadanya. Getarannya meresap hingga tulang, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di dalam batu tersebut. Aji memandangnya dengan cemas, namun tak berani berkata apa-apa. Malam itu, setelah Prawiro menghilang dalam kegelapan, dunia terasa begitu sunyi, seolah baru saja dihempas badai dahsyat. “Kita harus segera pergi dari sini, Mbak,” kata Aji pelan. Murni hanya mengangguk lemah. Namun, bisikan-bisikan samar terus berdengung di telinganya, suara yang tak dikenal namun terasa begitu akrab. Batu itu kini menjadi bagian dari dirinya. Satu hal yang tak Murni ketahui, jika hidupnya tak akan pernah sama lagi. Aji menggenggam tangan Murni erat, perasaan cemas semakin menggulung dalam dadanya. Mereka terus berlari melalui jalanan setapak yang semakin gelap, langkah-langkah mereka cepat, namun suara langkah kaki mereka seolah teredam oleh keheningan yang semakin mencekam. Angin yang sebelumnya berdesir kini berubah menjadi bisu, seakan alam p
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more
PREV
123456
...
11
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status