Murni masih merasakan batu hitam itu tertanam di dadanya. Getarannya meresap hingga tulang, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di dalam batu tersebut. Aji memandangnya dengan cemas, namun tak berani berkata apa-apa. Malam itu, setelah Prawiro menghilang dalam kegelapan, dunia terasa begitu sunyi, seolah baru saja dihempas badai dahsyat. “Kita harus segera pergi dari sini, Mbak,” kata Aji pelan. Murni hanya mengangguk lemah. Namun, bisikan-bisikan samar terus berdengung di telinganya, suara yang tak dikenal namun terasa begitu akrab. Batu itu kini menjadi bagian dari dirinya. Satu hal yang tak Murni ketahui, jika hidupnya tak akan pernah sama lagi. Aji menggenggam tangan Murni erat, perasaan cemas semakin menggulung dalam dadanya. Mereka terus berlari melalui jalanan setapak yang semakin gelap, langkah-langkah mereka cepat, namun suara langkah kaki mereka seolah teredam oleh keheningan yang semakin mencekam. Angin yang sebelumnya berdesir kini berubah menjadi bisu, seakan alam p
Kabut yang semula tebal perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Di hadapan mereka, sebuah jalan setapak mulai terlihat jelas. Aji memandang sekeliling dengan hati-hati, matanya menangkap dua tiang besar di ujung jalan itu—sebuah gapura tua yang menjadi pintu masuk pekuburan. “Astaghfirullah…” gumam Aji lirih, matanya melebar ketika menyadari di mana mereka berada. "Mbak, kita ada di gapura makam!" Murni perlahan bangkit dari tanah dengan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membasahi dahinya. Batu hitam di dadanya kini tak lagi sepanas tadi. Murni telah berhasil menahan diri. Gadis itu menatap dua gapura yang berdiri tegak itu dengan mata nanar, seolah ada sesuatu yang mengundangnya untuk melangkah lebih jauh. “Aji… itu jalan keluar, kan?” suaranya terdengar parau, penuh harapan yang samar. Aji menoleh ke arah jalan setapak yang terbentang di balik gapura. Di ujungnya, samar-samar terlihat cahaya remang-remang dari obor kecil yang berkeli
Kyai Hasan menatap gadis itu dengan penuh rasa iba, matanya menyiratkan keprihatinan mendalam atas nasib yang kini harus dipikul oleh Murni. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Artinya, Nduk, mulai saat ini kamu akan menjadi penjara bagi makhluk ini. Batu hitam ini akan tetap berada di tubuhmu, menjadi pintu yang terkunci. Tugasmu adalah menjaga agar pintu itu tidak pernah terbuka lagi. Jangan biarkan kebencian, dendam, atau kelemahan hatimu memberi Prana kesempatan untuk bebas."Murni menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang hampir meledak. Tubuhnya terasa dingin, seolah beban dunia telah diletakkan di pundaknya. Batu hitam yang kini bersarang di tubuhnya bukan sekadar simbol, melainkan pengingat abadi akan kehadiran makhluk yang akan terus hidup di dalam dirinya.Aji, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Wajahnya memerah oleh emosi yang tertahan. "Tapi... bagaimana Mbak Murni bisa hidup dengan itu, Kyai? Apakah tidak ada cara lain?"Kyai Hasan menatap pemuda itu
Kyai Hasan bangkit perlahan. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan kehati-hatian yang mendalam. Ia menoleh kepada Pak Karman. “Pak Karman, tolong bawa tubuh ini ke balai warga. Kita harus membahas ini dengan warga. Ada yang tidak beres dengan kematiannya,” katanya tegas. Pak Karman mengangguk, lalu memberi isyarat kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh pria itu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari bambu dan kain. Beberapa lelaki segera bergerak sesuai arahan Pak Karman, meski wajah mereka jelas menunjukkan rasa takut yang tidak dapat ditutupi. Aji, yang berdiri di dekat Murni, bergidik ngeri. “Kyai,” panggilnya pelan, “Saya merasa pernah melihat hal ini sebelumnya. "Di mana?" tanya Kyai Hasan pelan. "Waktu itu, almarhum Pak Kasnan, anak buah Bapak meninggal di rumah kami dalam keadaan hampir sama seperti ini. Bekas luka bakarnya... dan hitamnya... hampir sama persis,” jawab Aji. Kyai Hasan memutar tubuhnya, menatap Aji dengan pandangan tajam. “Kasn
Malam itu, suasana desa semakin mencekam. Angin dingin bertiup, membawa aroma lembab dari tanah yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Langit malam tertutup awan tebal, menambah kelam suasana. Di masjid, warga mulai berkumpul satu per satu. Lampu-lampu minyak dipasang di setiap sudut, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seakan menggambarkan kegelisahan yang melanda hati mereka.Kyai Hasan duduk di sudut ruangan bersama Aji dan Pak Karman. Ia memandangi warga yang perlahan berdatangan. Namun, meski mulutnya komat-kamit membaca doa, matanya sesekali melirik ke pintu masjid, menunggu kehadiran Murni.“Belum ada tanda-tanda dari Mbak Murni, Kyai,” bisik Aji, suaranya penuh kecemasan. “Tadi saya lihat dia masuk ke kamar setelah kita pulang dari balai desa.”Kyai Hasan mengangguk pelan, raut wajahnya tamoak semakin keruh. “Aji, coba kamu temui Murni, dan ajak dia datang kemari. Sebentar saja, ini penting." "Nggih, Kyai."Tanpa menunggu lama, Aji segera bangkit dan melangk
Saat suasana masjid semakin mencekam, suara doa yang dilantunkan oleh Kyai Hasan semakin lantang, bergema memenuhi ruangan. Namun, bayangan hitam yang merayap keluar dari tubuh Murni semakin kuat, membentuk pusaran gelap di tengah masjid. Aji, yang berdiri di sudut, menatap kakaknya dengan campuran rasa takut dan keberanian yang memuncak. “Mbak! Berhenti, Mbak! Jangan biarkan dia menguasai tubuhmu!” seru Aji dengan suara bergetar. Murni, yang wajahnya kini dipenuhi seringai menyeramkan, menoleh perlahan ke arah Aji. “Aji… kamu masih peduli padaku?” Suaranya melunak, seperti suara Murni yang sebenarnya. Namun, seringai itu tetap menghiasi wajahnya, membuat perasaan Aji semakin kacau. “Mbak, tolong! Lawan dia! Jangan biarkan dia menguasaimu!” Aji memohon dengan suara yang hampir pecah. Murni tertawa kecil, tetapi tawanya berubah menjadi tawa panjang yang menggema, seakan berasal dari banyak suara sekaligus. Tiba-tiba, tangan dan kakinya bergerak dengan cara yang tidak wajar, seolah-
Murni berjalan di jalan setapak desa Karang Tengah, langkahnya gontai, kepala tertunduk dalam-dalam. Dari kejauhan, ia bisa mendengar bisik-bisik yang terdengar jelas di tengah sunyi pagi. “Dia itu pembawa sial.” “Jangan biarkan anak-anak kita mendekatinya!” “Kenapa Kyai Hasan masih mau membelanya?” "Dia adalah Prana!" Bisikan-bisikan itu terdengar tajam, menusuk hingga ke dalam hati Murni. Wajah-wajah warga yang dulunya ramah kepadanya saat datang pertama kali kini berubah dingin, bahkan ada sorot penuh kebencian di mata mereka. Beberapa ibu-ibu menatapnya sambil menarik anak-anak mereka menjauh saat melihat Murni. Beberapa pria tua, yang biasanya duduk santai di pos ronda, menghentikan obrolan mereka dan memalingkan wajah, seolah menatap Murni sebagai sesuatu yang memang tak patut dilihat. Murni menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu, ini adalah konsekuensi dari apa yang terjadi di masjid malam itu. Prana memang belum sepenuhnya pergi, dan keberadaannya masih men
Hujan deras mengguyur desa Karang Tengah. Langit hitam pekat, sesekali diterangi kilatan petir yang menyambar tanpa ampun. Lasmi melangkah dengan tergesa-gesa di jalanan berlumpur, kendi tua di tangannya berguncang seirama dengan langkah kakinya. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar yang menjalar di seluruh tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang ia coba abaikan. "Tidak akan ku biarkan kamu merusak apa yang telah aku korbankan selama ini, Murni. Meskipun kau adalah ... darahku!" Swossh! Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ia merasakan hawa dingin menusuk tulang. Angin kencang berhembus, membawa suara lirih yang menyerupai rintihan. Jantung Lasmi berdetak semakin cepat. Di depan matanya, samar-samar terlihat sosok putih berdiri di tengah jalan setapak yang hendak ia lalui. “Siapa di sana?” seru Lasmi dengan nada penuh keberanian yang dipaksakan. Sosok itu tidak bergerak, namun perlahan menjadi semakin jelas. Wajahnya tertutup kain kafan lusuh yang basah,
Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku
Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P
Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam
Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem
Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa
Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t
Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men
Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej
Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.