Share

Bab 40. Sosok Lain

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-12-18 16:22:26

Murni masih merasakan batu hitam itu tertanam di dadanya. Getarannya meresap hingga tulang, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di dalam batu tersebut. Aji memandangnya dengan cemas, namun tak berani berkata apa-apa. Malam itu, setelah Prawiro menghilang dalam kegelapan, dunia terasa begitu sunyi, seolah baru saja dihempas badai dahsyat.

“Kita harus segera pergi dari sini, Mbak,” kata Aji pelan.

Murni hanya mengangguk lemah. Namun, bisikan-bisikan samar terus berdengung di telinganya, suara yang tak dikenal namun terasa begitu akrab. Batu itu kini menjadi bagian dari dirinya. Satu hal yang tak Murni ketahui, jika hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Aji menggenggam tangan Murni erat, perasaan cemas semakin menggulung dalam dadanya. Mereka terus berlari melalui jalanan setapak yang semakin gelap, langkah-langkah mereka cepat, namun suara langkah kaki mereka seolah teredam oleh keheningan yang semakin mencekam. Angin yang sebelumnya berdesir kini berubah menjadi bisu, seakan alam p
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (42)
goodnovel comment avatar
Santih
ayok kalian temui kyai Hasan
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
baca² dlu ngaji apapun gitu jii.. biar sdikit menghalau serangan pocong² itu, moga segera ktmu kyai hasan
goodnovel comment avatar
zaa_daniar
batu terkutuk itu akan terus dicari. . semoga aji dan murni segera bertemu kyai hasan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 41. Pintu Telah Terbuka

    Kabut yang semula tebal perlahan memudar, menyisakan keheningan yang mencekam. Di hadapan mereka, sebuah jalan setapak mulai terlihat jelas. Aji memandang sekeliling dengan hati-hati, matanya menangkap dua tiang besar di ujung jalan itu—sebuah gapura tua yang menjadi pintu masuk pekuburan. “Astaghfirullah…” gumam Aji lirih, matanya melebar ketika menyadari di mana mereka berada. "Mbak, kita ada di gapura makam!" Murni perlahan bangkit dari tanah dengan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membasahi dahinya. Batu hitam di dadanya kini tak lagi sepanas tadi. Murni telah berhasil menahan diri. Gadis itu menatap dua gapura yang berdiri tegak itu dengan mata nanar, seolah ada sesuatu yang mengundangnya untuk melangkah lebih jauh. “Aji… itu jalan keluar, kan?” suaranya terdengar parau, penuh harapan yang samar. Aji menoleh ke arah jalan setapak yang terbentang di balik gapura. Di ujungnya, samar-samar terlihat cahaya remang-remang dari obor kecil yang berkeli

    Last Updated : 2024-12-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 42. Menjadi Penjara

    Kyai Hasan menatap gadis itu dengan penuh rasa iba, matanya menyiratkan keprihatinan mendalam atas nasib yang kini harus dipikul oleh Murni. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Artinya, Nduk, mulai saat ini kamu akan menjadi penjara bagi makhluk ini. Batu hitam ini akan tetap berada di tubuhmu, menjadi pintu yang terkunci. Tugasmu adalah menjaga agar pintu itu tidak pernah terbuka lagi. Jangan biarkan kebencian, dendam, atau kelemahan hatimu memberi Prana kesempatan untuk bebas."Murni menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang hampir meledak. Tubuhnya terasa dingin, seolah beban dunia telah diletakkan di pundaknya. Batu hitam yang kini bersarang di tubuhnya bukan sekadar simbol, melainkan pengingat abadi akan kehadiran makhluk yang akan terus hidup di dalam dirinya.Aji, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Wajahnya memerah oleh emosi yang tertahan. "Tapi... bagaimana Mbak Murni bisa hidup dengan itu, Kyai? Apakah tidak ada cara lain?"Kyai Hasan menatap pemuda itu

    Last Updated : 2024-12-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 43. Penemuan Mayat

    Kyai Hasan bangkit perlahan. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan kehati-hatian yang mendalam. Ia menoleh kepada Pak Karman. “Pak Karman, tolong bawa tubuh ini ke balai warga. Kita harus membahas ini dengan warga. Ada yang tidak beres dengan kematiannya,” katanya tegas. Pak Karman mengangguk, lalu memberi isyarat kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh pria itu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari bambu dan kain. Beberapa lelaki segera bergerak sesuai arahan Pak Karman, meski wajah mereka jelas menunjukkan rasa takut yang tidak dapat ditutupi. Aji, yang berdiri di dekat Murni, bergidik ngeri. “Kyai,” panggilnya pelan, “Saya merasa pernah melihat hal ini sebelumnya. "Di mana?" tanya Kyai Hasan pelan. "Waktu itu, almarhum Pak Kasnan, anak buah Bapak meninggal di rumah kami dalam keadaan hampir sama seperti ini. Bekas luka bakarnya... dan hitamnya... hampir sama persis,” jawab Aji. Kyai Hasan memutar tubuhnya, menatap Aji dengan pandangan tajam. “Kasn

    Last Updated : 2024-12-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 44. Tantangan Prana

    Malam itu, suasana desa semakin mencekam. Angin dingin bertiup, membawa aroma lembab dari tanah yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Langit malam tertutup awan tebal, menambah kelam suasana. Di masjid, warga mulai berkumpul satu per satu. Lampu-lampu minyak dipasang di setiap sudut, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding, seakan menggambarkan kegelisahan yang melanda hati mereka.Kyai Hasan duduk di sudut ruangan bersama Aji dan Pak Karman. Ia memandangi warga yang perlahan berdatangan. Namun, meski mulutnya komat-kamit membaca doa, matanya sesekali melirik ke pintu masjid, menunggu kehadiran Murni.“Belum ada tanda-tanda dari Mbak Murni, Kyai,” bisik Aji, suaranya penuh kecemasan. “Tadi saya lihat dia masuk ke kamar setelah kita pulang dari balai desa.”Kyai Hasan mengangguk pelan, raut wajahnya tamoak semakin keruh. “Aji, coba kamu temui Murni, dan ajak dia datang kemari. Sebentar saja, ini penting." "Nggih, Kyai."Tanpa menunggu lama, Aji segera bangkit dan melangk

    Last Updated : 2024-12-19
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 45. Mencoba Keluar

    Saat suasana masjid semakin mencekam, suara doa yang dilantunkan oleh Kyai Hasan semakin lantang, bergema memenuhi ruangan. Namun, bayangan hitam yang merayap keluar dari tubuh Murni semakin kuat, membentuk pusaran gelap di tengah masjid. Aji, yang berdiri di sudut, menatap kakaknya dengan campuran rasa takut dan keberanian yang memuncak. “Mbak! Berhenti, Mbak! Jangan biarkan dia menguasai tubuhmu!” seru Aji dengan suara bergetar. Murni, yang wajahnya kini dipenuhi seringai menyeramkan, menoleh perlahan ke arah Aji. “Aji… kamu masih peduli padaku?” Suaranya melunak, seperti suara Murni yang sebenarnya. Namun, seringai itu tetap menghiasi wajahnya, membuat perasaan Aji semakin kacau. “Mbak, tolong! Lawan dia! Jangan biarkan dia menguasaimu!” Aji memohon dengan suara yang hampir pecah. Murni tertawa kecil, tetapi tawanya berubah menjadi tawa panjang yang menggema, seakan berasal dari banyak suara sekaligus. Tiba-tiba, tangan dan kakinya bergerak dengan cara yang tidak wajar, seolah-

    Last Updated : 2024-12-20
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 46. Niat Jahat

    Murni berjalan di jalan setapak desa Karang Tengah, langkahnya gontai, kepala tertunduk dalam-dalam. Dari kejauhan, ia bisa mendengar bisik-bisik yang terdengar jelas di tengah sunyi pagi. “Dia itu pembawa sial.” “Jangan biarkan anak-anak kita mendekatinya!” “Kenapa Kyai Hasan masih mau membelanya?” "Dia adalah Prana!" Bisikan-bisikan itu terdengar tajam, menusuk hingga ke dalam hati Murni. Wajah-wajah warga yang dulunya ramah kepadanya saat datang pertama kali kini berubah dingin, bahkan ada sorot penuh kebencian di mata mereka. Beberapa ibu-ibu menatapnya sambil menarik anak-anak mereka menjauh saat melihat Murni. Beberapa pria tua, yang biasanya duduk santai di pos ronda, menghentikan obrolan mereka dan memalingkan wajah, seolah menatap Murni sebagai sesuatu yang memang tak patut dilihat. Murni menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu, ini adalah konsekuensi dari apa yang terjadi di masjid malam itu. Prana memang belum sepenuhnya pergi, dan keberadaannya masih men

    Last Updated : 2024-12-20
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 47. Gagal

    Hujan deras mengguyur desa Karang Tengah. Langit hitam pekat, sesekali diterangi kilatan petir yang menyambar tanpa ampun. Lasmi melangkah dengan tergesa-gesa di jalanan berlumpur, kendi tua di tangannya berguncang seirama dengan langkah kakinya. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar yang menjalar di seluruh tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang ia coba abaikan. "Tidak akan ku biarkan kamu merusak apa yang telah aku korbankan selama ini, Murni. Meskipun kau adalah ... darahku!" Swossh! Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ia merasakan hawa dingin menusuk tulang. Angin kencang berhembus, membawa suara lirih yang menyerupai rintihan. Jantung Lasmi berdetak semakin cepat. Di depan matanya, samar-samar terlihat sosok putih berdiri di tengah jalan setapak yang hendak ia lalui. “Siapa di sana?” seru Lasmi dengan nada penuh keberanian yang dipaksakan. Sosok itu tidak bergerak, namun perlahan menjadi semakin jelas. Wajahnya tertutup kain kafan lusuh yang basah,

    Last Updated : 2024-12-21
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 48. Murka

    Lasmi melangkah gontai kembali ke rumahnya. Kendi yang telah pecah tadi menyisakan sisa cairan hitam dan busuk yang menempel di pakaiannya. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada ribuan ton beban yang mengikatnya ke tanah. Hujan masih mengguyur, menambah kesan kelam pada malam itu.Ketika ia akhirnya tiba di rumah, sesuatu yang ganjil langsung menyambutnya. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari sekedae tubub yang menggigil karena air hujan yang membasahi tubuhnya. Semua terasa menyesakkan dan menghimpit dadanya. Rumah yang biasanya remang-remang oleh lampu minyak kini begitu gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan petir yang menyambar sesekali. Pintu depan rumahnya terbuka lebar, berayun-ayun seperti dipermainkan oleh angin.Lasmi melangkah masuk dengan hati-hati, tubuhnya basah kuyup dan bergetar. "Sangkalana..." panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara derak kayu yang terdengar, seperti rumah itu tengah merintih kesakitan.Tiba-tiba, suara gemuruh bergema d

    Last Updated : 2024-12-21

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 102. Bahagia

    Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 101. Kalah

    Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 100. Lindung Sukma

    Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 99. Ketemu

    Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 98. Tipuan

    Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 97. Perlawanan

    Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 96. Raharjo Datang

    Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 95. Desa Misterius

    Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 94. Bantuan

    Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status