Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of 40 Hari Setelah Kematian Bapak: Chapter 71 - Chapter 80

102 Chapters

Bab 71. Kehangatan

Aji sama sekali tak ingin beranjak sedikit pun dari sisi Murni sejak kedatangannya. Tatapan matanya yang redup seolah berbisik bahwa ia belum siap kehilangan kakaknya lagi. Setiap malam selama dua minggu terakhir, ia hanya bisa terjaga dengan doa yang berulang-ulang di dalam hatinya. Dan kini, ketika doa itu akhirnya dijawab, ia tak ingin berpisah lagi, meski hanya sedetik."Jadi..." Kyai Hasan akhirnya memecah keheningan di ruangan yang terasa berat oleh rasa cemas dan lega yang bercampur aduk. Suaranya tenang, namun jelas membawa bobot pertanyaan yang penting. "Ke mana Prawiro membawamu, Nduk?"Murni terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Pikirannya melayang ke tempat gelap yang begitu asing namun terasa begitu dekat. “Ke... suatu tempat yang saya sendiri ndak tahu di mana tepatnya, Kyai,” jawab Murni akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas terdengar."Hanya itu?" Kyai Hasan bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.Murni menarik napa
last updateLast Updated : 2025-01-04
Read more

Bab 72. Lasmi

Menjelang petang, saat langit mulai merona merah dan angin sore bertiup sejuk, suasana di rumah Kyai Hasan terasa lebih tenang. Murni masih duduk di tikar pandan bersama Aji, sementara Kyai Hasan meminum teh hangatnya dengan tenang, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika seorang pemuda muncul di halaman, berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah Kyai Hasan. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan peluh membasahi dahinya. Ia memanggil-manggil nama Murni dan Aji dengan suara keras."Murni...! Aji...!" “Murni! Aji! Kalian di sini, kan?” teriak pemuda itu, suaranya terdengar panik. Kyai Hasan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. "Budiman...." Lirih Kyai Hasan yang mengenali siapa pemuda yang kini berdiri dengan napas. “Budiman? Ono opo, Le? Kenapa kamu lari-lari dan terlihat berantakan seperti ini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian. Budiman berhenti di depan Kyai Hasan, berusaha mengatur napasnya y
last updateLast Updated : 2025-01-04
Read more

Bab 73. Menyelamatkan Mbok Tumini

Crash!Aaarrrkh!! Para warga berteriak saat sabetan pisau yang Lasmi genggam memotong seutas tali yang mengikat tubuh Mbok Tumini.Lasmi tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang menggema di udara malam membuat suasana semakin mencekam. Para warga yang berkumpul di sekitar pohon besar itu tertegun, sebagian menahan napas, sementara yang lain tampak gelisah dan bersiap untuk melarikan diri."Kenapa kalian semua ketakutan?" ujar Lasmi lantang, suaranya terdengar penuh ejekan. "Aku hanya memotong tali, bukan hidupnya. Hahaha!" Matanya yang merah menyala memancarkan aura menyeramkan, seolah bukan lagi manusia biasa yang berdiri di sana.Kyai Hasan maju selangkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat agar warga tetap tenang. "Lasmi, kami tidak datang untuk melawanmu. Kami hanya ingin agar kamu melepaskan Mbok Tumini, Sadarlah, Lasmi. Keluarlah kamu dari kegelapan.""Keluar?" Lasmi menyipitkan mata, ekspresinya berubah sinis. "Aku tidak
last updateLast Updated : 2025-01-05
Read more

Bab 74. Pertarungan

Namun terlambat. Gelombang energi itu melesat dan hampir mengenai mereka, tetapi tiba-tiba sebuah bayangan besar melompat ke hadapan mereka, menahan serangan tersebut dengan tubuhnya sendiri. Bayangan itu adalah ... Prana.Prana, dengan tubuhnya yang besar dan kuat, berdiri tegap di depan Aji dan Murni, menyerap gelombang energi gelap yang datang dengan sekuat tenaga. Tubuhnya tampak bergetar hebat saat energi itu menghantamnya, namun ia tetap berdiri tegak, melindungi Aji dan Murni. Suara dentuman keras terdengar saat gelombang itu berusaha menghancurkan tubuhnya, namun Prana tetap tak tergoyahkan."Prana...!" teriak Murni, tercengang melihat sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.Prana, dengan wajah yang tampak serius dan penuh tekad, memandang Lasmi dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh mereka!" serunya dengan suara berat yang menggema.Lasmi terkejut melihat sosok yang tiba-tiba muncul, namun senyumnya kembali muncul, meskipun penuh kebencian. "Prana... akhirnya kau datang
last updateLast Updated : 2025-01-05
Read more

Bab 75. Kekalahan Sangkalana

Sangkalana menggeram keras, suaranya menggema di seluruh hutan. "Makhluk sepertimu tidak akan pernah bisa menghentikanku!" teriaknya dengan penuh amarah. Ia menghentakkan kakinya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan batu-batu di sekitarnya dan membuat pepohonan roboh.Prana tetap diam, tidak bergeming sedikit pun. Dengan napas terengah, ia berdiri tegak, meskipun terlihat beberapa luka akibat pertempuran di sekujur tubuhnya. "Jika kau marah, Sangkalana, maka aku tahu aku sudah di jalur yang benar," ujar Prana tegas. Mata merah Sangkalana semakin menyala tajam. Ia menggeram seperti binatang buas yang terluka, kemudian melangkah maju dengan aura gelap yang semakin pekat mengelilinginya. Tanah di sekitar mereka mulai terbelah, memunculkan asap hitam yang membubung tinggi. "Kau pikir bisa menahanku hanya dengan tubuh kasarmu itu? Aku akan menunjukkan kekuatan kegelapan yang sesungguhnya!"Sangkalana diam sesaat, "ah... aku lupa jika kau juga berasal dari kegelapan," l
last updateLast Updated : 2025-01-06
Read more

Bab 76. Hilang

Setelah pertarungan sengit dengan Sangkalana, Kyai Hasan menawarkan tempat tinggal sementara di kediamannya bagi Mbok Tumini. Beliau mengajaknya untuk tinggal bersama Murni dan Aji, setidaknya sampai semua menjadi lebih tenang. Mereka butuh waktu untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun batin. Malam itu, angin dingin menyelimuti desa. Di dalam rumah Kyai Hasan yang sederhana namun hangat, mereka berkumpul di ruang tengah. Murni duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Di sampingnya, Mbok Tumini sibuk mengusap kepala Murni dengan penuh kasih, sementara Aji duduk bersila di dekat pintu, sesekali memandangi langit malam yang pekat. “Kyai Hasan, apa menurutmu kita sudah aman?” tanya Murni dengan suara pelan. Kyai Hasan, yang sedang menyesap secangkir teh hangat, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aman itu relatif, Nduk. Tetapi kita juga harus tetap waspada. Setidaknya, di sini kalian bisa beristirahat dan bersiap untuk apa pun yang akan datang.” Murni mengangguk. Meski r
last updateLast Updated : 2025-01-06
Read more

Bab 77. Sumur Tua

Murni mendekati sumur tua yang terletak di tengah desa. Sumur itu dulunya adalah sumber utama mata air bagi seluruh penduduk Desa Juwono. Sumur itu selalu dipenuhi air jernih, bahkan saat musim kemarau. Namun kali ini, ada yang berbeda—sumur itu tampak kering, tanah di sekitarnya retak-retak seperti sudah lama tidak dialiri air. “Aneh… ini sungguh aneh. Sumur ini tak pernah kering sebelumnya,” gumam Murni, matanya terus menatap ke dalam sumur yang gelap. Ia mencoba mencari tanda-tanda air, tetapi hanya melihat dasar sumur yang kosong dan penuh dengan pecahan batu. Mbok Tumini mendekat, ikut mengintip ke dalam sumur. “Sumur ini adalah sumber kehidupan desa. Kalau sampai kering begini, pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Ia melirik Murni dengan wajah serius. "Mbak, kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan ini," sahut Aji yabg juga ikut melongok, melihat ke dasar sumur. Mbok Tumini tampak semakin cemas. “Dulu, nenek moyang kita pernah bercerita, kalau sumur ini kering, itu perta
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

Bab 78. Terjepit

Murni mengikuti bayangan Aji dengan hati-hati, lorong sempit itu semakin dalam dan gelap. Suara-suara aneh yang menyerupai bisikan samar terdengar dari segala arah, membuat suasana semakin mencekam. Ketika mereka sampai di sebuah ruang terbuka kecil, tiba-tiba langkah Aji terhenti. “Aji? Kau baik-baik saja?” tanya Murni dengan suara gemetar, matanya terus mengawasi sekeliling. Aji tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke sebuah sudut gelap di ruangan itu. Murni menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar. Tubuhnya gemetar hebat ketika ia melihat sosok yang menempel di dinding batu. "Ibu...!" teriak Murni, suaranya bergema di sepanjang lorong sumur. Di sana, tubuh seorang wanita tergantung kaku di dindingnya, kulitnya kering seperti telah kehabisan darah, rambutnya tergerai kusut, dan matanya terbuka lebar dengan tatapan kosong. Tubuh itu tampak membusuk tetapi tetap utuh, seolah waktu berhenti di tempat ini. Aji tiba-tiba menoleh ke arah Mur
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

Bab 79. Selamat

Murni mengerjap, berusaha memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Suara itu jelas suara Aji—adiknya yang sebenarnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Debu dan pecahan batu memenuhi udara, membuat setiap helaan napas terasa berat. “Mbak Murni… tolong aku…” suara Aji terdengar lagi, kali ini lebih lemah, seolah ia terjebak di bawah reruntuhan. “Aji! Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” seru Murni, suaranya penuh tekad meski gemetar. Ia mulai memindahkan batu-batu yang menumpuk dengan tangan gemetar dan penuh luka. Ketika cahaya biru dari prana di tubuhnya meredup, Murni merasakan lelah yang luar biasa. Namun, ia tidak berhenti. “Prana… jangan tinggalkan aku sekarang. Aku butuh kamu…” bisiknya lirih, mencoba memanggil kembali kekuatan yang tadi melindunginya. Seolah menjawab panggilannya, cahaya biru itu kembali bersinar samar, memberi Murni kekuatan baru. Perlahan, ia berhasil memindahkan batu besar terakhir yang men
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

Bab 80. Rahasia

Murni menatap punggung Mbok Tumini yang berjalan dengan langkah pasti, seolah mengenal betul jalan setapak yang mereka lalui. Pepohonan di sekitar mereka berdiri angkuh, ranting-rantingnya menjuntai rendah seakan ingin menghalangi jalan keluar. Udara malam semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir reruntuhan sumur tua tadi. Suara malam yang biasa terdengar seperti nyanyian jangkrik kini terasa hening, seolah ikut takut oleh sesuatu yang baru saja mencengkeram dirinya. Aji menggenggam tangan Murni erat-erat, masih diliputi rasa takut. Dia berjalan dengan kaki yang diseret. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena bayangan mengerikan dari makhluk yang baru saja mereka hadapi. “Mbak, kita benar-benar sudah aman, kan?” bisiknya lirih. Murni menoleh, memaksakan senyum tipis untuk menenangkan adiknya. Padahal, hatinya sendiri masih dicekam rasa takut dan penasaran. “Ya, Ji. Kita aman sekarang. Mbok Tumini akan membawa kita ke tem
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more
PREV
1
...
67891011
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status