Share

Bab 62. Kolam Perak

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-27 20:57:38

Malam berikutnya tiba dengan suasana yang lebih mencekam. Hutan itu, yang sebelumnya hanya menyimpan ketenangan yang janggal, kini terasa hidup dengan energi yang tak terlihat. Pepohonan seakan bergerak meskipun tidak ada angin, dan suara gemerisik daun terdengar seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan. Bayangan gelap melintas di sudut mata Murni, meski ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa kecuali kehampaan yang menyeramkan.

Murni tidak gentar. Ia tahu malam ini adalah langkah besar dalam perjalanan yang telah ia mulai. Rasa takutnya telah digantikan oleh tekad yang membaja, meskipun ia sadar risiko yang menantinya sangat besar.

"Murni, untuk malam ini, apa yang akan kamu terima jauh lebih besar. Apa kamu sudah siap untuk itu?" tanya Prawiro dengan suara berat, seraya menatap Murni lekat-lekat. Tatapan itu tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa Murni cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang.

"Kapan pun, Pak. Aku sud
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (46)
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
ayo murniii km bisaa
goodnovel comment avatar
Marimar
Murni masih terombang-ambing dalam kekuatan prana yang belum sepenuhnya ia kuasai. semoga Murni cepat mendapatkan kekuatan sejati yang sesungguhnya. mangat mak thor
goodnovel comment avatar
CICICICOT
ayo murni kamu pst bisaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 63. Niat Murni

    Prawiro, yang sedari tadi berdiri di tepi kolam, terus mengawasi Murni dengan cermat. Tatapannya tidak pernah beralih, penuh perhatian namun juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Sebagai seorang penjaga rahasia kolam itu selama bertahun-tahun, ia memahami bahwa tempat ini bukanlah sekadar tempat biasa. Kolam tersebut adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih suci dari apa pun yang bisa dipahami manusia. Namun, ia juga tahu bahwa kolam itu tidak memaafkan. Banyak yang telah mencoba masuk sebelumnya—mereka yang sombong, tamak, atau bahkan sekadar penasaran. Mereka semua berakhir sama: jiwa mereka hancur, tubuh mereka menjadi kosong, tidak lebih dari cangkang yang tak bernyawa. Hanya mereka yang membawa niat tulus, tanpa beban dendam atau ambisi pribadi, yang bisa bertahan. Murni adalah harapan terakhirnya, tetapi meski ia percaya pada gadis itu, keraguan kecil tetap menyelinap di hatinya. Prawiro melantunkan mant

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 64. Warisan dan Kutukan

    Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya melodi yang mengiringi perjalanan Murni dan Prawiro menuju makam tua tempat mereka beristirahat. Angin dingin menyapu kulit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih pekat. Seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Murni duduk bersandar di sebuah nisan batu yang sudah tua, sementara Prawiro tetap berdiri, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Murni merasa tidak nyaman—seperti ada beban berat yang sedang ia simpan. “Besok malam,” kata Prawiro akhirnya, memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman, tetapi cukup untuk menarik perhatian Murni. “Ada satu ritual lagi yang harus kau lakukan, Nduk. Ritual terakhir.” Murni menatapnya, napasnya tertahan. Tubuhnya masih terasa lemah setelah a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 65. Lelah

    Murni duduk termenung di tengah makam yang kini terasa semakin sunyi, seolah dunia sekitarnya telah menghilang. Api kecil yang pada malam itu sempat menyala dengan terang kini hanya tinggal sisa-sisa abu yang hangus. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya telah lenyap, tetapi suara-suara itu masih bergema di dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak henti-hentinya mengisi ruang kosong di hatinya. Prawiro belum juga datang. Sehari semalam telah berlalu, namun lelaki tua itu tidak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Murni merasakan lelah yang luar biasa, tubuhnya begitu lemah dan juga lapar yang tak tertahankan. Namun demikian, kedua matanya tetap terjaga. Kluk'"Buka matamu, Murni...!" Setiap kali ia merasa hampir pingsan, Murni berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Ia harus tetap menunggu, menunggu Prawiro, yang menurutnya adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskqn semuanya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keheningan semakin meneka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-29
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 66. Pocong Bapak

    Cluk! Cluk! "Murni...." Murni terkejut mendengar suara itu. "Bapak?" suaranya gemetar, setengah tidak percaya dengan yang ada di depan matanya saat ini. Pocong itu mengangguk perlahan. "Ya, anakku. Aku datang." Murni menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. "Tapi... Bapak...." "Aku lelah, Pak. Aku ingin menyerah. Ini semua terlalu berat untukku," ucap Murni di sela isak tangisnya. Pocong itu mendekat dengan lompatan perlahan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Murni, dengarkan aku. Aku tahu rasa sakitmu, kehilanganmu, dan kehampaan yang kau rasakan. Tapi mati bukan jawaban. Kau punya tujuan besar di dunia ini, sesuatu yang harus kau perjuangkan. Jika kau menyerah sekarang, semuanya akan berakhir sia-sia." Murni menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan. Aku sudah melakukan segalanya, tapi sekarang... aku sendirian, Pak." Sosok pocong Raharjo yang kedua matanya menghitam, menatap Murni dengan mata yang dipenuhi kehangatan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 67. Tunduk

    "Apa? Siapa yang harus tunduk?" pikir Murni. Murni tertegun di tempatnya. Napasnya masih memburu, menyadari dirinya kini berada di tengah-tengah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Matanya menatap bayangan-bayangan hitam itu Murni memandangi kejadian yang belum dapat ia mengerti itu dengan mulut ternganga. Bayangan-bayangan hitam yang tadi tampak mengerikan kini merunduk di bawah kaki pocong bapaknya, mereka merapatkan tubuh—patuh pada perintah Harjo. "Ada apa ini?" lirih Murni. Sosok-sosok hitam yang jumlahnya tak terkira itu seperti mencair, melebur ke tanah dengan gerakan yang seolah memohon pengampunan dari sosok yang Murni sebut sebagai 'Bapak'. Pocong Raharjo sedikit mengambang, ikatan kain bagian bawahnya tampak sedikit menyentuh tanah. Kain kafannya yang tampak kotor karena tanah berdesir perlahan, memancarkan aura ketenangan namun juga tampak mengerikan.Murni mencoba bangkit dari posisinya yang terduduk lemas. Seluruh tubuhnya seperti menolak perintahnya, te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 68. Perlindungan

    Murni berlari sekuat yang ia bisa tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hutan malam itu seolah hidup, ranting-ranting pohon yang melintang di jalannya tampak bergerak, mencoba untuk menghalangi setiap langkahnya. Angin kencang meniup rambutnya ke segala arah, dan suara raungan Sangkalana terdengar semakin dekat. Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak. Namun, di tengah semua kekacauan itu, bisikan-bisikan dari Prana yang terpenjara di dalam dirinya masih terdengar—menggaung di telinganya. Mereka terus meronta seperti pemandu samar yang memintanya untuk terus maju. "Tanah merah... tanah merah..." suara-suara itu terus menerus berbicara, membimbingnya menuju pada sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami. "Aaw!" Secara tak sengaja, kakinya tersandung akar pohon yang besar yang melintang, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya yang menggapai tanah terasa perih. Ia mengaduh, tetapi suara gemuruh l

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 69. Tanah Merah

    Murni terjingkat kaget mendengar teriakan keras dari Raharjo. Teriakan yang membuat hatinya berdebar kencang. Dengan napas yang terengah-engah, ia berbalik dan melangkah maju, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan hampir tak mampu lagi bergerak. Suara bapaknha yang terdengar begitu jelas dan memerintah memaksanya untuk tak membuang waktu lebih lama. Makhluk itu—Sangkalana—adalah ancaman yang nyata, dan Raharjo telah memberinya kesempatan untuk kabur. Murni pun pada akhirnya berlari dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya terasa berat, seolah tanah yang diinjak semakin keras dan penuh rintangan. Angin malam semakin kencang, membuat jarak pandangnya semakin kabur. Murni hanya berusaha mengingat satu hal—tanah merah yang ia cari. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya ke tempat yang tepat. "Tanah merah..." gumamnya lagi, lebih keras kali ini, berharap bisikan itu menjadi nyata.Murni terus berlari, tubuhnya hampir roboh oleh rasa lelah yang membakar. Namun, suara Raharjo dan d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 70. Pulang

    "Bapak....!" Murni berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa begitu menekan. Tidak ada lagi sosok Raharjo—sang ayah dalam wujud pocong, ular Wulung Seta yang melindunginya, atau bahkan jejak-jejak Sangkalana yang sebelumnya menjadi ancaman besar. Semua lenyap. Langit yang tadnya merah menyala kini berubah menjadi kelam, tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya ada kegelapan yang memeluknya erat. "Bapak...? Bapak kemana?" panggilnya lirih. Suaranya bergema lemah di antara kehampaan. Namun, tak ada jawaban. Murni memutar tubuhnya, mencari-cari, berharap menemukan sesuatu—apa saja—yang bisa membuktikan bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi, atau ilusi. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan dirinya sendiri di atas tanah yang dingin dan keras. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Segala hal yang baru saja ia alami terasa seperti mimpi buruk yang begitu nyata. Kemenangan atas Sangkalana yang penuh perjuangan, keberanian yang ia kumpulkan dengan su

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 115. Pergi

    Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 114. Ditemukan

    RAHASIA DI BAWAH TANAHMalam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara.Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar.Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran.Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain."Gali... tanah ini...."Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar."Rah

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 113. Masih Misteri

    Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 112. Ketenangan

    Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 111. Napas Terkahir

    Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 110. Sadar

    Murni mengambil kesempatan itu, maju beberapa langkah, meskipun tubuhnya gemetar. "Bapak Prawiro... jika benar kau merasa sendirian, kami akan ada untukmu. Kami ingin mengenalmu sebagai keluarga. Kami ingin belajar dari kesalahan masa lalu. Tolong... beri kami kesempatan."Murni perlahan melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Matanya terus menatap Prawiro, sosok yang pernah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya, meski kini wujudnya jauh dari manusia. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya, namun keberanian dalam hatinya mengalahkan segalanya.Joko, yang sejak tadi berdiri di belakang Murni, tersentak melihat istrinya maju tanpa rasa gentar. "Murni! Jangan!" serunya dengan nada penuh kecemasan. Ia ingin melangkah maju, tetapi tangan Aji tiba-tiba menahannya dari belakang."Mas Joko," bisik Aji dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Biarkan dia, Mas. Mbak Murni tahu apa yang dia lakukan."Joko menoleh ke arah Aji dengan wajah bingung

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 109. Nafsu Dendam

    Prawiro memutar tubuhnya dengan cepat, matanya yang merah menyala kini berkilat penuh amarah saat ia menatap sosok pria paruh baya yang muncul dari kegelapan. "Kenapa kau datang, Hasan?! Bukankah kau sudah cukup puas mencampuri hidupku selama ini?!" suaranya menggema di dalam gua, penuh dengan kebencian yang membara.Kyai Hasan berdiri tegap, wajahnya memancarkan ketenangan meskipun berada di hadapan makhluk menyeramkan seperti Prawiro. "Aku datang karena kau sudah terlalu jauh, Prawiro. Dendam ini... kebencian ini... hanya akan menghancurkanmu, bukan menyembuhkan luka-luka masa lalu."Prawiro tertawa getir, suara tawanya memantul di dinding-dinding gua yang dingin. "Menyembuhkan? Luka-luka ini tidak bisa disembuhkan, Hasan! Kau tahu itu lebih baik daripada siapa pun. Kau yang seharusnya mengerti! Kau adalah saksi bisu saat aku hancur!"Hasan menarik napas panjang, lalu melangkah mendekat. Suaranya rendah, namun penuh dengan ketegasan. "Aku tidak membela Raharjo, Prawiro. Aku tahu dia

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 108. Kejujuran

    Murni menatap Aji dengan ekspresi panik, tangannya terulur hendak meraih adiknya. "Aji, jangan! Diam! Jangan bilang apa-apa!" serunya, suara bergetar penuh kecemasan. Aji menatap kakaknya, wajahnya penuh tekad meskipun napasnya berat. "Mbak, aku harus mengatakan ini. Aku sudah mengerti sekarang... siapa makhluk ini, siapa sebenarnya dia." Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang mengancam mereka, yang masih tertawa dengan penuh penghinaan. Makhluk itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, seolah menikmati ketegangan yang terbangun. "Aji, Aji... kalian memang bodoh. Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpikir bisa menakut-nakuti aku? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu siapa aku?" Suaranya semakin mengancam, seakan-akan dia tahu betul kelemahan mereka. "Aku tahu siapa kamu," kata Aji dengan suara lebih keras, menekan setiap kata seolah itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. "Kamu... adalah Prawiro." Makhluk itu terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan A

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 107. Pengorbanan

    Makhluk itu berhenti mendadak, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Aji. Sorot matanya bagaikan bara api yang membakar, menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Tawanya yang bergema membuat gua itu terasa semakin sempit dan mencekam, seolah-olah udara di dalamnya ditarik keluar, menyisakan ketegangan yang menyesakkan. “Hahaha! Jadi, kau membawakanku bukan hanya satu, tapi dua-duanya anak Harjo?" Makhluk itu berkata dengan nada mengejek, suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggetarkan tanah. Lidah bercabangnya menjulur dari mulutnya yang lebar, melintasi deretan gigi tajam yang berkilauan. “Hebat! Aku tak menyangka kau akan sebaik ini memenuhi takdir kalian. Tentu saja, aku akan menikmatinya.” Aji berdiri di tempatnya, tubuhnya bergetar, tetapi ia menahan napas, memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuhnya, berusaha melawan rasa takut yang hampir melumpuhkannya. Ia menatap makhluk itu dengan mata yang menyalakan keberanian, meski

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status