All Chapters of Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir: Chapter 1 - Chapter 10

63 Chapters

Bab 1. Luka di Tengah Pesta

“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Pertanyaan itu, dibalut senyum lebar dan tawa renyah, menusuk jauh di hati Gita. Wanita itu berdiri di tengah ballroom mewah, di bawah gemerlap lampu kristal, dengan gaun mengkilap dan tatapan penuh tuntutan, suara Sarah, tante Adrian mengiris malam seperti belati. "Mama Adrian pasti sudah nggak sabar, pengen punya cucu, kan?"Pesta ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian berlangsung megah, di ballroom hotel bintang lima. Tatapannya sesekali teralih ke lantai berkilau, seakan berusaha tenggelam dalam bayangannya sendiri agar bisa bersembunyi dari pertanyaan yang terus menghujani.Gita berdiri di samping Adrian, mencoba menyembunyikan perasaan yang makin tercekik. Ia tersenyum kaku, senyum yang sudah jadi topeng setiap kali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. “Kami masih berusaha, Tante.”Di sisinya, Adrian tetap diam, wajahnya tak terbaca. Sesekali ia mengangguk pada tamu lain, bicara soal proyek-proyek b
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more

Bab 2. Jarak

Setelah keributan di pesta keluarga Adrian, perjalanan pulang menjadi begitu sunyi. Dalam mobil yang melaju dalam gelap, hanya suara mesin yang terdengar, seolah ikut menjaga jarak di antara mereka. Adrian memfokuskan pandangannya ke jalan, sementara Gita memandangi jendela, mencoba menyatukan pikirannya yang terpecah.Akhirnya, Gita menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memecah keheningan. "Adrian, gimana kalau kita coba ke dokter? Setidaknya, kita bisa tahu ada yang salah atau nggak, atau mungkin...," ucapnya ragu, takut respons yang akan ia dapatkan.Sebelum Gita sempat melanjutkan, Adrian memotongnya dengan suara datar, “Gita, kita kan baru menikah setahun. Kenapa harus terburu-buru? Seperti yang aku bilang tadi, kita masih punya waktu.”Jawaban Adrian menghantamnya seperti angin dingin. Dada Gita terasa sesak. “Jadi menurut kamu, nggak perlu, ya? Semua yang dikatakan orang di pesta tadi menurutmu nggak penting?” Suaranya lirih, getir, penuh dengan kekecewaan yang ia tah
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more

Bab 3. Terdesak

Setelah pulang dengan hati berat karena gagal bertemu Adrian di kantor, Gita akhirnya menepi di pos satpam kompleks. Pak Maman yang sedang berjaga menerima kotak sarapan yang sejak tadi digenggamnya dengan wajah penuh syukur.Namun, kehangatan kecil itu segera terhapus begitu Gita tiba di rumah. Di ruang tamu, ibunya, Rima, dan Mayang, sepupu Adrian, sudah menunggunya dengan tatapan dingin. Gita berusaha menahan perasaannya, tapi tatapan tajam Rima seakan menembus hatinya yang sudah rapuh.“Dari mana saja kamu?” Rima bertanya, suaranya sedingin es.Gita menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dari kantor Adrian, Ma. Saya tadi mengantarkan sarapan.”Mayang tertawa kecil, ada nada ejekan yang menyayat di balik suaranya. “Istri yang baik, ya. Tapi, Gita, dalam keluarga ini, peran seorang istri dianggap lengkap kalau sudah bisa memberi keturunan.”Kata-kata Mayang menusuk seperti pisau, membuat dada Gita terasa sesak. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan berakhir dengan tunt
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more

Bab 4. Harapan dan Keraguan

Pagi itu, Gita terbangun lebih dahulu. Sisa kehangatan dari malam yang mereka lalui masih terasa, dan kini ia mendapati dirinya berada di samping Adrian, yang masih tertidur lelap. Dalam diam, Gita memperhatikan wajah Adrian—wajah yang selalu membuatnya merasa hangat. Gita mengagumi garis rahang tegas suaminya, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang, meski terkatup, menyiratkan senyuman samar. Ketampanan Adrian selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat Gita merasa beruntung sekaligus takut kehilangan.Saat sedang asyik memperhatikan, Adrian tiba-tiba bergerak dan mata Adrian perlahan terbuka. Ia tampak sedikit bingung, sejenak terdiam sebelum akhirnya tersadar di mana dirinya berada. “Gita?” bisiknya sambil terduduk, masih terlihat sedikit bingung.“Sudah bangun?” Gita menyapa dengan senyum kecil.Adrian mengerjapkan mata, kemudian bertanya dengan suara serak khas pagi hari, “Siapa yang mengantarku pulang tadi malam?”Gita menjawab lembut, “Hendri yang antar.”Mendengar jawaban
last updateLast Updated : 2024-10-05
Read more

Bab 5. Baik Baik Saja

Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.Adrian berjalan ke arah pintu.“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin
last updateLast Updated : 2024-10-05
Read more

Bab 6. Beban Terpendam

Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian. Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, men
last updateLast Updated : 2024-11-01
Read more

Bab 7. Sisa Perhatian

Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber
last updateLast Updated : 2024-11-01
Read more

Bab 8. Makin Menjauh

Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang
last updateLast Updated : 2024-11-02
Read more

Bab 9. Harapan yang Menekan

Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon
last updateLast Updated : 2024-11-02
Read more

Bab 10. Rumah Mertua

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup
last updateLast Updated : 2024-11-03
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status