Gita memperbaiki rambutnya yang terurai, berusaha tetap tenang di balik gaun elegan berwarna merah marun yang dipilihkan oleh Adrian. Malam itu, mereka menghadiri acara ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian, sebuah pesta megah yang penuh dengan kemewahan. Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima, dan lantunan musik orkestra membalut ruangan dengan suasana glamor.
Adrian tampak tenang di sampingnya, sesekali berbicara dengan kerabatnya tentang proyek bisnis terbaru. Di tengah keramaian ini, Gita merasa semakin kecil, berdiri sedikit menjauh sambil menahan perasaan asing yang mulai merayap di dadanya.
“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Suara tajam itu datang dari Sarah— tante dari Adrian, wanita berusia 50-an dengan gaun berkilau. Tawanya terdengar lepas, tapi pertanyaannya menusuk tepat di hati Gita. “Buruan kasih anak buat Bima. Mamanya pasti sudah pengen punya cucu.”
Senyuman kaku mengembang di wajah Gita, sebuah senyuman yang sudah terlatih selama menghadapi pertanyaan semacam ini. “Kami masih berusaha, Tante.”
“Oh, jangan terlalu lama, Gita. Laki-laki seperti Adrian itu harus segera punya pewaris,” tambahnya sambil melirik Adrian yang sedang berbicara dengan tamu lain. “Jangan sampai keburu telat, loh.”
Sebelum Gita sempat merespons, Adrian mendekat, ekspresinya sedikit tegang mendengar percakapan itu. “Tante, hal seperti ini bukan sesuatu yang bisa dipaksa,” jawab Adrian lembut, tapi ada ketegasan dalam nadanya.
Namun, Sarah tidak menyerah begitu saja. “Adrian, tapi kamu tau kan, Nadya saja sudah punya anak. Padahal nikahnya duluan kalian. Mending kalian fokus program hamil deh.”
Gita merasa sesak mendengar itu, tapi Adrian dengan cepat menangkis. “Tante bantu doain aja deh, biar kami segera dikasih momongan,” ucapnya tegas, tatapan matanya seolah memberi peringatan.
Sarah memutar matanya dan tersenyum sinis. “Iya, pasti tante doain. Tapi kalian juga harus usaha.”
Adrian menarik napas panjang, merasa mulai tidak sabar dengan sikap Sarah. “Kita sudah berusaha yang terbaik, tante.”
Sarah menggeleng pelan, memutar matanya sebelum berjalan pergi, meninggalkan suasana yang terasa semakin berat. Meski sudah menjauh, perkataannya masih terngiang jelas di benak Gita, menyisakan rasa perih yang sulit diabaikan.
Adrian yang baru saja dipanggil oleh salah satu tamu di seberang ruangan, lalu memandang Gita. “Aku tinggal sebentar. Kamu tunggu di sini aja. Aku nggak lama,” ucapnya.
Gita terpaksa mengangguk, berusaha menenangkan diri di tengah situasi yang menyesakkan. Setelah Adrian menjauh, ia menarik napas panjang, matanya terarah ke lantai ballroom yang berkilau, berharap ia bisa menghilang dari keramaian ini.
Namun, sebelum ia bisa benar-benar tenang, sepasang suami istri mendekatinya—Aryo dan Nadya, sepupu Adrian...
Nadya menggendong bayi mereka yang baru lahir, wajahnya bersinar cerah sementara Aryo tersenyum.
“Gita! Apa kabar?” Nadya menyapanya dengan senyum ramah, meski ada kilatan aneh di matanya yang membuat Gita merasa sedikit waspada.
“Baik,” jawab Gita dengan sopan, berusaha menjaga senyumnya tetap terjaga.
Aryo yang sejak tadi mengawasi Nadya dan bayinya, tiba-tiba bersuara, suaranya lembut namun nadanya terasa tajam. “Kita udah punya anak loh, Gita. Kalian kapan?
Nadya segera menyambung dengan nada halus namun menusuk, “Iya, buruan hamil dong, Gita. Biar tante Rima senang, bisa main sama cucu.”
Gita hanya bisa tersenyum kaku, menahan rasa sakit di dadanya yang semakin menumpuk. “Iya, aku sama Adrian masih berusaha,” jawabnya pelan, mencoba menahan emosi yang meluap.
Nadya tersenyum tipis, mengusap kepala bayinya dengan lembut, kemudian melirik Aryo seolah mereka berbagi pemikiran yang sama. “Hati-hati ya, Gita. Kamu tahu sendiri kan, Adrian itu satu-satunya harapan keluarga buat meneruskan garis keturunan. Tante Rima pasti sangat berharap kalian segera punya anak. Kalau nggak... siapa tahu dia bisa saja mulai berpikir untuk mencarikan perempuan lain yang bisa memberikan cucu.”
Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk hati Gita. Nadya mengucapkannya dengan senyuman manis, tapi dampaknya begitu kejam dan dalam. Gita hanya bisa terdiam, dadanya terasa sesak, sementara Aryo menambahkan, “Tentu itu bukan sesuatu yang kita inginkan. Tapi dalam keluarga besar seperti ini, kadang keputusan besar harus diambil demi kebaikan semuanya.”
Gita menarik napas dalam, mencoba menahan diri, tapi rasanya sudah terlalu lama ia menahan perasaan ini. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Gita menatap Nadya dengan senyum tipis namun penuh arti.
“Lucu ya,” kata Gita, nadanya tetap lembut, “Kalau diingat-ingat, nggak semua orang bisa merencanakan kehamilan dengan tepat. Ada yang dikasih duluan sebelum waktunya. Jadi, mungkin mereka justru lebih tahu bagaimana rasanya menghadapi tekanan.”
Nadya terdiam, senyum di wajahnya memudar sedikit. Aryo terlihat mulai tidak nyaman, menyadari arah ucapan Gita yang jelas-jelas menyindir mereka. Gita melanjutkan dengan tenang, “Aku cuma berharap, nggak ada yang merasa berhak menghakimi orang lain yang sedang berjuang, terutama kalau ada yang tidak berada dalam posisi yang tepat untuk menghakimi. Apalagi kalau kalian sendiri pernah mengalami sesuatu yang justru seharusnya mereka rahasiakan.”
Wajah Nadya berubah merah, dan dia tersenyum getir. “Maksud kamu apa, Gita?” tanyanya, meski jelas dia tahu arah sindiran itu.
Gita tetap tenang, meski tatapannya tegas. “Maksudku, tidak ada yang sempurna, Nadya. Setiap keluarga punya cerita masing-masing, dan mungkin lebih baik kita saling mendukung daripada menyindir satu sama lain, ya?”
Suasana di antara mereka mulai tegang. Nadya tersenyum pahit, tapi matanya memancarkan kemarahan. “Aku cuma nanya kapan kamu dan Adrian punya anak, Gita. Nggak ada niat buruk. Tapi kalau kamu tersinggung, itu bukan salahku.”
Beberapa tamu mulai memperhatikan, suara mereka semakin jelas terdengar di tengah keramaian. Aryo menyela, “Kita semua di sini peduli sama kalian. Nggak perlu sampai marah-marah gini.”
Gita menggeleng, masih mencoba mempertahankan ketenangannya. “Aku nggak marah, Aryo. Hanya saja, ada batasnya untuk menerima sindiran terus-menerus. Apalagi kalau soal anak—itu urusan pribadi yang sensitif.”
Tepat saat itu, Rima yang melihat keributan dari jauh segera menghampiri mereka. Rima menatap mereka dengan wajah penuh pertanyaan.
“Ada apa ini?” tanya Rima dengan nada dingin, matanya mengarah langsung ke Gita.
Nadya segera berbicara sebelum Gita sempat menjawab, “Saya cuma nanya soal kapan Gita punya anak, Tante. Tapi tiba-tiba dia malah nyindir saya yang nggak-nggak.”
Rima menatap Gita dengan tatapan tajam, seolah apa yang dikatakan Nadya sudah cukup baginya untuk mengambil Kesimpulan. “Gita, kamu harus bisa lebih menjaga sikap, apalagi di acara keluarga besar seperti ini. Kita semua di sini saling menghormati, dan apa yang ditanyakan Nadya itu wajar saja, bukan sesuatu yang perlu disikapi dengan emosi.”
Gita menelan ludah, mencoba menahan gejolak di dadanya yang kembali muncul. Nadya tersenyum samar di samping Aryo, seolah menikmati momen di mana posisinya menjadi lebih unggul.
Rima melanjutkan dengan nada yang semakin menekan, “Lagian, Nadya hanya bertanya, sama seperti yang mungkin banyak orang lain di sini juga ingin tahu. Kapan kalian akan punya anak, itu pertanyaan yang sering muncul karena itu penting bagi keluarga kita. Harusnya kamu sudah mengerti dan bisa menanggapinya dengan lebih tenang.”
Gita merasa terpojok, dikelilingi oleh tatapan-tatapan penuh harapan yang sebenarnya tak lebih dari beban. Setiap kata yang keluar dari mulut Nadya, Aryo, bahkan Rima, membuatnya semakin tertekan. Mereka tak pernah benar-benar mengerti betapa sulitnya berada dalam posisi seperti dirinya—dipaksa menjalani peran yang diinginkan orang lain, tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya.
Tepat ketika ia hampir merasa tersedak oleh suasana tegang yang menyelimuti mereka, Adrian tiba-tiba berdiri di sampingnya.
“Sudah,” suara Adrian memecah keheningan yang meresahkan. “Aku mengerti betapa pentingnya hal ini bagi keluarga kita. Tapi kita perlu ingat, pernikahan kami belum lama, dan masih banyak hal yang ingin kami jalani bersama.”
Adrian menoleh ke arah Rima, Nadya, dan Aryo, suaranya semakin tegas, “Ma, aku ingin menikmati waktu dengan Gita dulu. Kami ingin menjalani hari-hari bersama tanpa tekanan berlebihan. Jadi, kumohon, berikan kami waktu.”
Cahaya pagi menerobos jendela dapur, menerangi meja sarapan yang tertata rapi. Gita duduk di seberang Adrian, menatap piring rotinya yang nyaris tak tersentuh. Pikirannya terpusat pada satu hal yang telah ia pertimbangkan berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya.“Adrian,” Gita membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, “aku ingin kita bicara soal... rencana kita punya anak.”Adrian yang tengah membaca tablet sambil menyeruput kopi, melirik sekilas ke arahnya. “Hmm? Maksud kamu apa?” tanyanya, setengah tertarik namun lebih sibuk dengan berita bisnis di layar.Gita menelan rasa gugupnya. “Kita sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin kita bisa periksa ke dokter. Kita berdua. Bareng-bareng.”Adrian menghentikan aktivitasnya, menurunkan tablet, dan menatap Gita dengan sedikit heran. “Periksa? Kamu serius, Gita?”Gita mengangguk. “Iya. Aku pikir, ini langkah yang tepat. Kita ga
Gita tiba di rumah sakit, berjalan melewati koridor menuju bagian obstetri dan ginekologi. Tujuannya kali ini adalah dokter kandungan, bagian yang sudah lama ia pikirkan untuk dikunjungi namun selalu tertunda karena keraguan dan alasan-alasan lain. Ruangan itu dipenuhi oleh para wanita yang juga menunggu giliran, beberapa di antaranya tampak bersama pasangan mereka. Gita merasa sedikit canggung melihat suasana ini, terutama karena ia datang sendirian.Setelah mendaftar di loket, ia mengisi formulir pasien baru. Suasana di sekitarnya cukup sibuk, namun Gita mencoba fokus pada apa yang akan ia hadapi. Setelah menyerahkan formulir kepada petugas, Gita duduk di ruang tunggu, matanya mengamati layar yang menampilkan nomor antrian. Perasaan cemas kembali menghantuinya, terutama setelah diskusi tegang dengan Adrian pagi ini.Beberapa menit kemudian, namanya dipanggil oleh resepsionis. “Ibu Gita, silakan ke ruang pemeriksaan,” kata petugas dengan senyum ramah.Dengan perasaan campur aduk, Git
Adrian dan Silvy masuk ke sebuah kafe modern yang suasananya tenang, dengan meja-meja kecil berjejer rapi dan aroma kopi yang menyegarkan. Setelah memesan makanan, mereka duduk di pojok ruangan, agak jauh dari pengunjung lain, memberi sedikit privasi bagi percakapan mereka.Adrian tampak lebih rileks sekarang, meskipun pikirannya masih penuh dengan berbagai hal yang mengganggunya. Sementara itu, Silvy duduk dengan tenang, menatap Adrian dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Ia menyilangkan kakinya dengan anggun dan mulai berbicara.“Belakangan ini Bapak kelihatan sibuk banget,” ujar Silvy dengan nada lembut. “Kayak ada banyak yang dipikirkan. Saya bisa bantu apa, Pak?”Adrian menghela napas panjang, tersenyum tipis sebelum menjawab. “Iya, banyak hal. Bisnis, proyek, dan... ya, hal-hal lain di rumah,” jawabnya, seolah menyinggung sesuatu yang lebih dalam.Silvy menangkap nada itu, dan seperti biasa, ia tahu kapan harus berbicara dan kapan hanya mendengarkan. “Bapak bisa cerita, ka
Gita kembali ke rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sudah menjalani rangkaian pemeriksaan beberapa hari lalu, dan hari ini adalah momen penting—mendengarkan hasilnya. Suasana di ruang tunggu terasa ramai, tapi Gita seolah tak bisa fokus pada apa pun selain pikirannya sendiri. Jantungnya berdebar cepat, tangannya sedikit gemetar saat ia meremas ponsel di pangkuannya, berharap hasil yang akan didengar nanti memberi kelegaan.Setelah beberapa menit menunggu, namanya dipanggil. Gita menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan Naufal. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada beban yang tak terlihat di setiap langkah. Sesampainya di pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk.Naufal sudah duduk di balik mejanya, memeriksa hasil pemeriksaan Gita. Wajahnya tetap tenang, seperti seorang dokter yang siap memberikan penjelasan profesional. Saat melihat Gita masuk, Naufal tersenyum tipis. “Gita, silakan duduk.”Gita duduk, berusaha me