Share

Bab 6. Beban Terpendam

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 18:17:26

Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian.

Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu.

Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, meneguk kepahitan itu dengan hati yang sarat beban.

Saat itu ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Ferdi, kakaknya, muncul di layar, dan ia segera mengangkatnya. “Halo, Mas?”

“Gita, Bapak kecelakaan,” suara Ferdi terdengar tergesa-gesa. “Dia jatuh saat lagi kerja, sekarang di rumah sakit.”

Gita tercekat, dadanya langsung sesak. “Ya Tuhan, Bapak… Dia di rumah sakit mana?”

“RSUD di dekat pasar,” jawab Ferdi cepat. Tanpa berpikir panjang, Gita langsung beranjak dari kursinya, meninggalkan meja makan dan cangkir jamu yang masih tersisa. Ia segera meraih tas dan berteriak memanggil sopirnya, lalu bergegas keluar rumah dengan perasaan panik yang berkecamuk.

Setibanya di rumah sakit, langkah Gita penuh kegelisahan. Bau khas rumah sakit menyambutnya, menusuk hidung dan mengingatkan bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk. Di ruang IGD, ia menemukan Ferdi tengah duduk dengan wajah tegang di samping tempat tidur Hamid.

Di atas tempat tidur, Hamid terbaring dengan wajah pucat, kakinya sudah terbalut gips yang melingkar dari lutut hingga ujung kaki. Melihat tubuh renta ayahnya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia berkunjung, hati Gita teriris. Ia tahu ayahnya masih bekerja sebagai kuli angkut barang, pekerjaan yang seharusnya tak lagi ditekuni di usia senjanya. Namun, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuatnya tak punya pilihan lain.

“Bapak...” Gita mendekati ranjang dengan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Hamid tersenyum lemah, mencoba menenangkan anak perempuannya. “Ndak usah khawatir, Nak. Bapak cuma jatuh sedikit.”

Namun, bagi Gita, kenyataan ini lebih dari sekadar kecelakaan kecil. Perasaan bersalah mulai menyusupi hatinya. Selama ini, di balik kenyamanan hidupnya sebagai istri Adrian, ada keluarganya yang masih berjuang di tengah keterbatasan. Hamid, meski sudah sepuh, tetap harus mengangkat beban berat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Pak, kenapa harus kerja seberat itu?” bisiknya pelan, tak kuasa menahan air mata yang akhirnya mengalir.

Hamid mencoba menyunggingkan senyum tipis, meskipun jelas ia menahan rasa sakit. “Gita, ini cuma kecelakaan kecil. Jangan terlalu dipikirkan,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan putrinya.

Namun, air mata Gita tetap mengalir. Di sisi lain, Ferdi berdiri dengan tangan terlipat, memandang Gita dengan raut wajah tak puas. Tatapan matanya mengeras, dan dia akhirnya melepaskan keluh kesah yang selama ini tertahan. “Gita, kamu nggak ngerasa? Harusnya kita nggak perlu menghadapi situasi kayak gini, apalagi kalau suamimu sekaya itu,” ujarnya tajam, membuat Gita terdiam dengan kepala tertunduk.

“Bapak masih harus kerja keras tiap hari padahal anak perempuannya menikah sama orang kaya raya. Seharusnya kamu bisa lebih banyak bantu,” lanjut Ferdi dengan nada menyindir. Ia tampak semakin kesal dan kecewa.

“Mas, awal bulan kemarin aku udah transfer, kan?” tanya Gita.

“Bantuan bulananmu buat keluarga kita kecil banget. Padahal itu nggak ada apa-apanya buat Adrian. Kalau kamu peduli sama Bapak, harusnya kamu bisa minta lebih banyak.”

Kata-kata Ferdi menusuk hati Gita. Ia tahu Ferdi benar-benar marah dan merasa kecewa padanya. Namun, Gita tak memiliki kekuatan untuk membantah atau menjelaskan situasinya dengan Adrian. Di balik sinisme kakaknya, ada kenyataan yang selama ini ia coba abaikan—bahwa dalam pernikahannya dengan Adrian, ia merasa sulit untuk meminta sesuatu, apalagi menyangkut keluarganya.

Kata-kata Ferdi terus terngiang dalam benaknya. Sambil menatap ayahnya yang terbaring lemah, perasaan bersalah dan terpojok menguasai dirinya.

Merasa tersudut, “Maafin aku, Pak. Aku segan kalau terlalu sering minta uang sama Adrian.”

Ferdi mendengus tak percaya. “Segan, ya? Padahal dia itu suamimu. Masa susah banget cuma buat bantu keluarga sendiri?” Nada sinis dalam ucapannya menambah perasaan tertekan di hati Gita.

Mendengar Ferdi terus menyudutkan Gita, Hamid menghela napas panjang. Ia menatap Ferdi dengan lelah, mencoba meredakan ketegangan. “Ferdi, sudah, gak usah ribut. Bapak baik-baik saja. Jangan menyalahkan adikmu terus.”

Namun, Ferdi tak menghiraukannya dan malah melanjutkan dengan nada lebih keras. “Justru ini saatnya kita bicara. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Harusnya dari dulu kamu sadar, Gita, bahwa bantuin keluarga itu bukan pilihan, tapi kewajiban.”

Kata-kata itu membuat Gita semakin terpuruk. Ia tahu Ferdi dan Hamid memang membutuhkan bantuan, tapi pernikahannya sendiri sudah cukup membebaninya. Membawa masalah keluarganya ke dalam hubungan dengan Adrian hanya akan membuatnya semakin sulit bertahan di sana.

Kepalanya tertunduk, Gita merasa semakin bersalah dan terpojok. “Aku akan bantu semampuku, Mas.”

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Hamid muncul dengan wajah tenang. Gita yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya, segera menghampiri dokter itu, “Dok, bagaimana kondisi Bapak saya? Apa benar-benar parah? Apakah bapak saya bisa pulih sepenuhnya?”

Dokter itu menatap Gita dan menjelaskan. "Pak Hamid mengalami patah tulang di bagian kaki kanan, tepatnya di tulang kering. Pada usia seperti beliau, proses penyembuhan memang cenderung lebih lama dibandingkan pasien yang lebih muda.”

Gita mengangguk pelan, mendengarkan dengan saksama. “Jadi, apa yang harus kami lakukan, Dok?”

Dokter kemudian melanjutkan, “Pak Hamid perlu banyak beristirahat dan menghindari pekerjaan yang memberi tekanan pada kakinya. Perlu dipastikan ia tidak berdiri terlalu lama, apalagi mengangkat beban berat. Kami juga akan mengatur beberapa sesi fisioterapi untuk mempercepat pemulihan, tetapi itu akan memerlukan kesabaran dan ketelatenan.”

“Jadi, Bapak akan bisa berjalan normal lagi?” tanya Gita.

“Tentu, dengan perawatan yang tepat, harapan pemulihan tetap ada. Namun, Anda perlu memahami bahwa proses ini bisa memakan waktu. Kondisi Pak Hamid sudah stabil dan sudah boleh pulang.”

Sebelum pergi, dokter mengingatkan Gita tentang administrasi rumah sakit yang perlu segera diurus.

Saat Gita sedang mengurus administrasi di meja depan, Ferdi datang menghampirinya dengan ekspresi tak sabar. “Gita, aku perlu uang untuk kebutuhan Bapak dan… ya, buat makan juga,” katanya setengah berbisik, tapi tuntutannya begitu tegas.

Gita menarik napas dalam-dalam, membuka dompet, dan mengeluarkan sejumlah uang tunai yang ia miliki. “Ini, ada 500 ribu. Ambil ini dulu,” ujarnya, menyodorkan uang itu dengan harapan bisa memenuhi kebutuhan sementara.

Namun, Ferdi menatapnya dengan wajah tak puas, lalu mendesis, “Lima ratus ribu? Gita, segini nggak cukup! Kamu tahu kan, keluarga kita butuh lebih dari ini. Masa kamu pelit banget sama saudara sendiri?”

Gita merasakan ketegangan menjalari tubuhnya. Ia menekan perasaan terluka dan menjawab, “Mas, ini yang ada di dompetku. Lagian itu pasti cukup buat makan beberapa hari.”

Ferdi mencibir. “Hah, cukup buat bapak doang. Tapi aku kan juga butuh! Kamu itu sekarang istri orang kaya. Masa masih perhitungan buat keluarga sendiri?”

Gita merasa malu dengan suara Ferdi yang mulai meninggi, dan ia tahu beberapa orang di sekitar mereka mulai memperhatikan. “Ya sudah, nanti aku akan transfer. Tapi, jangan kamu habiskan buat hal-hal yang nggak penting lagi,” ucapnya sambil menegaskan, “Kamu jangan sampai main judi lagi.”

Rasa tersinggung membuat Ferdi semakin marah. Suaranya naik satu oktaf lagi, “Tinggal kasih doang, kenapa harus ribut sih? Kayak orang susah aja.”

Merasa harga dirinya mulai terkoyak di depan umum, Gita mengangguk dengan pasrah. “Iya, aku transfer, tapi kamu gak usah teriak-teriak,” katanya, menundukkan kepala dan menyadari betapa kondisi keluarganya kini seolah menjadi beban baru baginya.

Setelah memastikan semua urusan administrasi selesai, Gita mendekati ayahnya yang masih duduk lemah di kursi tunggu.

“Pak, aku pamit dulu ya. Nanti aku pulang buat lihat keadaan Bapak,” ujarnya sambil menggenggam tangan ayahnya sejenak.

Hamid tersenyum tipis, meski raut wajahnya terlihat lelah. “Hati-hati, Nak. Jangan terlalu dipikirin semua ini, bapak gak apa-apa kok,” ucapnya.

Gita mengangguk dan berusaha memasang senyum, meski dadanya terasa sesak. Begitu berbalik, pikirannya langsung melayang pada Adrian. Baru ia sadar bahwa ia bergegas ke rumah sakit tanpa sempat mengabari suaminya. Ia pun mempercepat langkahnya menuju parkiran, berharap bisa segera sampai rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zeevana Twain
lha ini kk benalu tidak tau malu! klg adikmu tidak wajib menafkahimu kerja jgn mengandalkan ipar kaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 7. Sisa Perhatian

    Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 8. Makin Menjauh

    Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 9. Harapan yang Menekan

    Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 10. Rumah Mertua

    Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 11. Hancur Perlahan

    Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 12. Di Balik Sorotan

    Pagi itu, Gita dan Adrian bersiap menghadiri acara peluncuran Platform Digital Kolaborasi antara Fortuna Media dan Luna Corp—proyek besar yang merupakan puncak dari kerja sama panjang Adrian dan Luna. Rima juga ikut serta sebagai bentuk dukungan keluarga. Ketiganya berangkat bersama dari rumah, suasana terasa penuh kebanggaan, terutama dari Adrian yang sudah mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.Begitu tiba di venue, mereka disambut suasana meriah dan karpet merah yang penuh dengan fotografer, media, rekan bisnis, dan karyawan dari kedua perusahaan. Flash kamera berkedip tak henti-henti, mengabadikan momen penting ini. Adrian dan Luna segera terserap dalam keramaian, sibuk menyapa para tamu undangan, berbincang dengan kolega, dan memberikan senyuman di depan lensa kamera. Mereka tampak begitu kompak, menarik perhatian banyak orang dengan keakraban yang terpancar dari setiap gestur dan senyum yang mereka bagi.Sementara itu, Gita dan Rima berdiri sedikit terpisah, mengamati da

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 13. Persimpangan Keputusan

    Setelah pertengkaran yang cukup sengit, Adrian merasa kelelahan. Emosi yang meluap-luap dalam diskusi tadi membuatnya butuh ruang untuk menenangkan diri. Tanpa menoleh ke arah Gita yang masih duduk di tepi ranjang, Adrian keluar dari kamar, membiarkan keheningan menggantikan suara-suara tinggi yang baru saja memenuhi ruangan.Begitu Adrian menutup pintu, ia mendapati ibunya, Rima, berdiri di ujung lorong. Wajah Rima menunjukkan raut serius, jelas bahwa ia telah mendengar sebagian besar pembicaraan di dalam kamar. Ia menyandarkan diri di dinding dengan sikap tenang.“Kalau kamu memang ada hubungan dengan Luna,” kata Rima tanpa basa-basi, “Mama tidak akan keberatan. Bahkan… Mama pikir Luna itu jauh lebih baik daripada Gita.”Mendengar ucapan itu, Adrian merasa terkejut. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya, ia langsung menegur, “Ma!” Suaranya bernada kaget dan sedikit tajam, seolah ingin menegaskan bahwa ucapannya tadi tidak sepatutnya keluar. Namun, Rima tetap tenang, menatapnya seola

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 14. Tak Ada Tempat Pulang

    Gita berbaring di ranjang kamarnya, memandang langit-langit yang familiar namun terasa asing dalam suasana hatinya yang kalut. Meski ia mencoba memejamkan mata, pikirannya terus dipenuhi bayangan-bayangan tentang rumah tangganya, rasa sakit dan penolakan yang ia rasakan, serta ucapan-ucapan yang begitu melukai hati.Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu, dan Hamid masuk membawa secangkir teh hangat. Dengan senyum lembut, ia mendekat dan meletakkan cangkir di meja samping. Gita duduk perlahan dan mengucapkan terima kasih, menatap wajah ayahnya yang penuh kasih sayang. Kehangatan itu memberinya sedikit kenyamanan, meski tidak sepenuhnya mampu mengusir rasa sakit di dadanya.Hamid duduk di tepi ranjang, menatap putri bungsunya dengan pandangan yang tenang namun penuh perhatian. Setelah hening beberapa saat, ia berkata dengan lembut, “Gita, bapak tahu hidupmu tidak mudah. Pernikahan memang penuh tantangan. Tapi… mungkin kamu bisa coba mempertimbangkan untuk k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06

Bab terbaru

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 63. Putus Asa

    Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 62. Menjenguk dari Kejauhan

    Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 61. Kenyataan Pahit

    Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 60. Nama Penyemangat

    Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 59. Status Istri

    Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 58. Keputusan Realistis

    Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 57. Parasit

    Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 56. Firasat

    Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 55. Penyesalan

    Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje

DMCA.com Protection Status