Share

Bab 6. Beban Terpendam

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 18:17:26

Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian.

Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu.

Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, meneguk kepahitan itu dengan hati yang sarat beban.

Saat itu ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Ferdi, kakaknya, muncul di layar, dan ia segera mengangkatnya. “Halo, Mas?”

“Gita, Bapak kecelakaan,” suara Ferdi terdengar tergesa-gesa. “Dia jatuh saat lagi kerja, sekarang di rumah sakit.”

Gita tercekat, dadanya langsung sesak. “Ya Tuhan, Bapak… Dia di rumah sakit mana?”

“RSUD di dekat pasar,” jawab Ferdi cepat. Tanpa berpikir panjang, Gita langsung beranjak dari kursinya, meninggalkan meja makan dan cangkir jamu yang masih tersisa. Ia segera meraih tas dan berteriak memanggil sopirnya, lalu bergegas keluar rumah dengan perasaan panik yang berkecamuk.

Setibanya di rumah sakit, langkah Gita penuh kegelisahan. Bau khas rumah sakit menyambutnya, menusuk hidung dan mengingatkan bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk. Di ruang IGD, ia menemukan Ferdi tengah duduk dengan wajah tegang di samping tempat tidur Hamid.

Di atas tempat tidur, Hamid terbaring dengan wajah pucat, kakinya sudah terbalut gips yang melingkar dari lutut hingga ujung kaki. Melihat tubuh renta ayahnya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia berkunjung, hati Gita teriris. Ia tahu ayahnya masih bekerja sebagai kuli angkut barang, pekerjaan yang seharusnya tak lagi ditekuni di usia senjanya. Namun, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuatnya tak punya pilihan lain.

“Bapak...” Gita mendekati ranjang dengan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Hamid tersenyum lemah, mencoba menenangkan anak perempuannya. “Ndak usah khawatir, Nak. Bapak cuma jatuh sedikit.”

Namun, bagi Gita, kenyataan ini lebih dari sekadar kecelakaan kecil. Perasaan bersalah mulai menyusupi hatinya. Selama ini, di balik kenyamanan hidupnya sebagai istri Adrian, ada keluarganya yang masih berjuang di tengah keterbatasan. Hamid, meski sudah sepuh, tetap harus mengangkat beban berat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Pak, kenapa harus kerja seberat itu?” bisiknya pelan, tak kuasa menahan air mata yang akhirnya mengalir.

Hamid mencoba menyunggingkan senyum tipis, meskipun jelas ia menahan rasa sakit. “Gita, ini cuma kecelakaan kecil. Jangan terlalu dipikirkan,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan putrinya.

Namun, air mata Gita tetap mengalir. Di sisi lain, Ferdi berdiri dengan tangan terlipat, memandang Gita dengan raut wajah tak puas. Tatapan matanya mengeras, dan dia akhirnya melepaskan keluh kesah yang selama ini tertahan. “Gita, kamu nggak ngerasa? Harusnya kita nggak perlu menghadapi situasi kayak gini, apalagi kalau suamimu sekaya itu,” ujarnya tajam, membuat Gita terdiam dengan kepala tertunduk.

“Bapak masih harus kerja keras tiap hari padahal anak perempuannya menikah sama orang kaya raya. Seharusnya kamu bisa lebih banyak bantu,” lanjut Ferdi dengan nada menyindir. Ia tampak semakin kesal dan kecewa.

“Mas, awal bulan kemarin aku udah transfer, kan?” tanya Gita.

“Bantuan bulananmu buat keluarga kita kecil banget. Padahal itu nggak ada apa-apanya buat Adrian. Kalau kamu peduli sama Bapak, harusnya kamu bisa minta lebih banyak.”

Kata-kata Ferdi menusuk hati Gita. Ia tahu Ferdi benar-benar marah dan merasa kecewa padanya. Namun, Gita tak memiliki kekuatan untuk membantah atau menjelaskan situasinya dengan Adrian. Di balik sinisme kakaknya, ada kenyataan yang selama ini ia coba abaikan—bahwa dalam pernikahannya dengan Adrian, ia merasa sulit untuk meminta sesuatu, apalagi menyangkut keluarganya.

Kata-kata Ferdi terus terngiang dalam benaknya. Sambil menatap ayahnya yang terbaring lemah, perasaan bersalah dan terpojok menguasai dirinya.

Merasa tersudut, “Maafin aku, Pak. Aku segan kalau terlalu sering minta uang sama Adrian.”

Ferdi mendengus tak percaya. “Segan, ya? Padahal dia itu suamimu. Masa susah banget cuma buat bantu keluarga sendiri?” Nada sinis dalam ucapannya menambah perasaan tertekan di hati Gita.

Mendengar Ferdi terus menyudutkan Gita, Hamid menghela napas panjang. Ia menatap Ferdi dengan lelah, mencoba meredakan ketegangan. “Ferdi, sudah, gak usah ribut. Bapak baik-baik saja. Jangan menyalahkan adikmu terus.”

Namun, Ferdi tak menghiraukannya dan malah melanjutkan dengan nada lebih keras. “Justru ini saatnya kita bicara. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Harusnya dari dulu kamu sadar, Gita, bahwa bantuin keluarga itu bukan pilihan, tapi kewajiban.”

Kata-kata itu membuat Gita semakin terpuruk. Ia tahu Ferdi dan Hamid memang membutuhkan bantuan, tapi pernikahannya sendiri sudah cukup membebaninya. Membawa masalah keluarganya ke dalam hubungan dengan Adrian hanya akan membuatnya semakin sulit bertahan di sana.

Kepalanya tertunduk, Gita merasa semakin bersalah dan terpojok. “Aku akan bantu semampuku, Mas.”

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Hamid muncul dengan wajah tenang. Gita yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya, segera menghampiri dokter itu, “Dok, bagaimana kondisi Bapak saya? Apa benar-benar parah? Apakah bapak saya bisa pulih sepenuhnya?”

Dokter itu menatap Gita dan menjelaskan. "Pak Hamid mengalami patah tulang di bagian kaki kanan, tepatnya di tulang kering. Pada usia seperti beliau, proses penyembuhan memang cenderung lebih lama dibandingkan pasien yang lebih muda.”

Gita mengangguk pelan, mendengarkan dengan saksama. “Jadi, apa yang harus kami lakukan, Dok?”

Dokter kemudian melanjutkan, “Pak Hamid perlu banyak beristirahat dan menghindari pekerjaan yang memberi tekanan pada kakinya. Perlu dipastikan ia tidak berdiri terlalu lama, apalagi mengangkat beban berat. Kami juga akan mengatur beberapa sesi fisioterapi untuk mempercepat pemulihan, tetapi itu akan memerlukan kesabaran dan ketelatenan.”

“Jadi, Bapak akan bisa berjalan normal lagi?” tanya Gita.

“Tentu, dengan perawatan yang tepat, harapan pemulihan tetap ada. Namun, Anda perlu memahami bahwa proses ini bisa memakan waktu. Kondisi Pak Hamid sudah stabil dan sudah boleh pulang.”

Sebelum pergi, dokter mengingatkan Gita tentang administrasi rumah sakit yang perlu segera diurus.

Saat Gita sedang mengurus administrasi di meja depan, Ferdi datang menghampirinya dengan ekspresi tak sabar. “Gita, aku perlu uang untuk kebutuhan Bapak dan… ya, buat makan juga,” katanya setengah berbisik, tapi tuntutannya begitu tegas.

Gita menarik napas dalam-dalam, membuka dompet, dan mengeluarkan sejumlah uang tunai yang ia miliki. “Ini, ada 500 ribu. Ambil ini dulu,” ujarnya, menyodorkan uang itu dengan harapan bisa memenuhi kebutuhan sementara.

Namun, Ferdi menatapnya dengan wajah tak puas, lalu mendesis, “Lima ratus ribu? Gita, segini nggak cukup! Kamu tahu kan, keluarga kita butuh lebih dari ini. Masa kamu pelit banget sama saudara sendiri?”

Gita merasakan ketegangan menjalari tubuhnya. Ia menekan perasaan terluka dan menjawab, “Mas, ini yang ada di dompetku. Lagian itu pasti cukup buat makan beberapa hari.”

Ferdi mencibir. “Hah, cukup buat bapak doang. Tapi aku kan juga butuh! Kamu itu sekarang istri orang kaya. Masa masih perhitungan buat keluarga sendiri?”

Gita merasa malu dengan suara Ferdi yang mulai meninggi, dan ia tahu beberapa orang di sekitar mereka mulai memperhatikan. “Ya sudah, nanti aku akan transfer. Tapi, jangan kamu habiskan buat hal-hal yang nggak penting lagi,” ucapnya sambil menegaskan, “Kamu jangan sampai main judi lagi.”

Rasa tersinggung membuat Ferdi semakin marah. Suaranya naik satu oktaf lagi, “Tinggal kasih doang, kenapa harus ribut sih? Kayak orang susah aja.”

Merasa harga dirinya mulai terkoyak di depan umum, Gita mengangguk dengan pasrah. “Iya, aku transfer, tapi kamu gak usah teriak-teriak,” katanya, menundukkan kepala dan menyadari betapa kondisi keluarganya kini seolah menjadi beban baru baginya.

Setelah memastikan semua urusan administrasi selesai, Gita mendekati ayahnya yang masih duduk lemah di kursi tunggu.

“Pak, aku pamit dulu ya. Nanti aku pulang buat lihat keadaan Bapak,” ujarnya sambil menggenggam tangan ayahnya sejenak.

Hamid tersenyum tipis, meski raut wajahnya terlihat lelah. “Hati-hati, Nak. Jangan terlalu dipikirin semua ini, bapak gak apa-apa kok,” ucapnya.

Gita mengangguk dan berusaha memasang senyum, meski dadanya terasa sesak. Begitu berbalik, pikirannya langsung melayang pada Adrian. Baru ia sadar bahwa ia bergegas ke rumah sakit tanpa sempat mengabari suaminya. Ia pun mempercepat langkahnya menuju parkiran, berharap bisa segera sampai rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zeevana Twain
lha ini kk benalu tidak tau malu! klg adikmu tidak wajib menafkahimu kerja jgn mengandalkan ipar kaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 7. Sisa Perhatian

    Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 8. Makin Menjauh

    Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 9. Harapan yang Menekan

    Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 10. Rumah Mertua

    Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 11. Hancur Perlahan

    Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 12. Di Balik Sorotan

    Pagi itu, Gita dan Adrian bersiap menghadiri acara peluncuran Platform Digital Kolaborasi antara Fortuna Media dan Luna Corp—proyek besar yang merupakan puncak dari kerja sama panjang Adrian dan Luna. Rima juga ikut serta sebagai bentuk dukungan keluarga. Ketiganya berangkat bersama dari rumah, suasana terasa penuh kebanggaan, terutama dari Adrian yang sudah mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.Begitu tiba di venue, mereka disambut suasana meriah dan karpet merah yang penuh dengan fotografer, media, rekan bisnis, dan karyawan dari kedua perusahaan. Flash kamera berkedip tak henti-henti, mengabadikan momen penting ini. Adrian dan Luna segera terserap dalam keramaian, sibuk menyapa para tamu undangan, berbincang dengan kolega, dan memberikan senyuman di depan lensa kamera. Mereka tampak begitu kompak, menarik perhatian banyak orang dengan keakraban yang terpancar dari setiap gestur dan senyum yang mereka bagi.Sementara itu, Gita dan Rima berdiri sedikit terpisah, mengamati da

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 13. Persimpangan Keputusan

    Setelah pertengkaran yang cukup sengit, Adrian merasa kelelahan. Emosi yang meluap-luap dalam diskusi tadi membuatnya butuh ruang untuk menenangkan diri. Tanpa menoleh ke arah Gita yang masih duduk di tepi ranjang, Adrian keluar dari kamar, membiarkan keheningan menggantikan suara-suara tinggi yang baru saja memenuhi ruangan.Begitu Adrian menutup pintu, ia mendapati ibunya, Rima, berdiri di ujung lorong. Wajah Rima menunjukkan raut serius, jelas bahwa ia telah mendengar sebagian besar pembicaraan di dalam kamar. Ia menyandarkan diri di dinding dengan sikap tenang.“Kalau kamu memang ada hubungan dengan Luna,” kata Rima tanpa basa-basi, “Mama tidak akan keberatan. Bahkan… Mama pikir Luna itu jauh lebih baik daripada Gita.”Mendengar ucapan itu, Adrian merasa terkejut. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya, ia langsung menegur, “Ma!” Suaranya bernada kaget dan sedikit tajam, seolah ingin menegaskan bahwa ucapannya tadi tidak sepatutnya keluar. Namun, Rima tetap tenang, menatapnya seola

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 14. Tak Ada Tempat Pulang

    Gita berbaring di ranjang kamarnya, memandang langit-langit yang familiar namun terasa asing dalam suasana hatinya yang kalut. Meski ia mencoba memejamkan mata, pikirannya terus dipenuhi bayangan-bayangan tentang rumah tangganya, rasa sakit dan penolakan yang ia rasakan, serta ucapan-ucapan yang begitu melukai hati.Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu, dan Hamid masuk membawa secangkir teh hangat. Dengan senyum lembut, ia mendekat dan meletakkan cangkir di meja samping. Gita duduk perlahan dan mengucapkan terima kasih, menatap wajah ayahnya yang penuh kasih sayang. Kehangatan itu memberinya sedikit kenyamanan, meski tidak sepenuhnya mampu mengusir rasa sakit di dadanya.Hamid duduk di tepi ranjang, menatap putri bungsunya dengan pandangan yang tenang namun penuh perhatian. Setelah hening beberapa saat, ia berkata dengan lembut, “Gita, bapak tahu hidupmu tidak mudah. Pernikahan memang penuh tantangan. Tapi… mungkin kamu bisa coba mempertimbangkan untuk k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06

Bab terbaru

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 90. Cara Melindungi

    Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 89. Konflik yang Memuncak

    Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 88. Mengatasi Masalah

    Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 87. Dampak Masalah Gosip

    Di ruang kerja rumahnya, Adrian duduk dengan wajah tegang, berhadapan dengan Hendri yang berdiri sambil memegang map dokumen. Hendri menarik napas panjang sebelum berbicara.“Pak Adrian, maaf kalau ini terdengar terlalu blak-blakan, tapi gosip yang beredar mulai berdampak serius pada perusahaan. Tiga klien utama kita mengajukan pertanyaan terkait berita itu. Mereka bilang, mereka butuh kepastian untuk tetap melanjutkan kerjasama,” ucap Hendri hati-hati, memperhatikan ekspresi Adrian.Adrian memejamkan matanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa detail yang mereka tanyakan?” suaranya terdengar berat, tapi tenang.“Mayoritas tentang isu hubungan pribadi itu, Pak. Mereka khawatir kredibilitas perusahaan kita terkena dampak, terutama di media sosial. Sudah ada dua unggahan anonim yang viral, menyebutkan bahwa perusahaan ini tidak lagi stabil,” jawab Hendri.Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kema

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 86. Guncangan dalam Hubungan

    Adrian duduk di kursi rodanya, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Tautan artikel itu masih terbuka, seolah menjadi duri yang menusuk hatinya. Judul provokatif itu terus bergema di pikirannya: “Dokter Kandungan atau Sahabat Lama? Rumor Kedekatan Istri Adrian dan Naufal Membuat Publik Bertanya-tanya.”Pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hendri telah memperingatkannya agar tetap tenang, tetapi perasaan cemburu dan terluka perlahan merayap masuk, mengguncang kendali yang coba ia pertahankan.Gita muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya penuh perhatian, senyumnya mencoba mencairkan suasana. “Teh buat kamu,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di samping Adrian. Namun, ia langsung menangkap kegelisahan di wajah suaminya.“Kamu terlihat tegang. Ada apa?” tanyanya lembut, matanya menatap Adrian penuh rasa cemas.Adrian menggeleng perlahan, berusaha menyembunyika

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 85. Luka yang Terungkap

    Pagi itu, suasana rumah terasa dingin. Gita mencoba mengalihkan pikiran dari pertengkaran semalam dengan rutinitasnya di dapur. Aroma kopi menguar lembut di udara, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hati yang penuh keraguan. Dia membawa nampan berisi sepiring roti, telur, dan secangkir kopi, lalu berjalan ke ruang makan tempat Adrian duduk dengan pandangan kosong di kursi rodanya.“Ini sarapannya, Dri,” ujar Gita, mencoba terdengar hangat.Adrian menoleh perlahan, matanya tajam namun tidak berkata-kata. Setelah beberapa saat, ia hanya menggeleng pelan. “Aku nggak lapar,” jawabnya singkat, menolak dengan suara datar.Gita terdiam sejenak, berusaha membaca suasana hati suaminya. Dia tahu, percakapan mereka semalam masih menyisakan luka yang belum sembuh. Menarik napas panjang, Gita menurunkan nampan ke meja lalu duduk di hadapan Adrian. Tangannya bertumpu pada meja, dan ia menatap Adrian dengan ekspresi penuh perhatian.“Adrian, kita

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status