Share

Bab 11. Hancur Perlahan

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 21:26:50

Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.

Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”

Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”

“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.

Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 12. Di Balik Sorotan

    Pagi itu, Gita dan Adrian bersiap menghadiri acara peluncuran Platform Digital Kolaborasi antara Fortuna Media dan Luna Corp—proyek besar yang merupakan puncak dari kerja sama panjang Adrian dan Luna. Rima juga ikut serta sebagai bentuk dukungan keluarga. Ketiganya berangkat bersama dari rumah, suasana terasa penuh kebanggaan, terutama dari Adrian yang sudah mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.Begitu tiba di venue, mereka disambut suasana meriah dan karpet merah yang penuh dengan fotografer, media, rekan bisnis, dan karyawan dari kedua perusahaan. Flash kamera berkedip tak henti-henti, mengabadikan momen penting ini. Adrian dan Luna segera terserap dalam keramaian, sibuk menyapa para tamu undangan, berbincang dengan kolega, dan memberikan senyuman di depan lensa kamera. Mereka tampak begitu kompak, menarik perhatian banyak orang dengan keakraban yang terpancar dari setiap gestur dan senyum yang mereka bagi.Sementara itu, Gita dan Rima berdiri sedikit terpisah, mengamati da

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 13. Persimpangan Keputusan

    Setelah pertengkaran yang cukup sengit, Adrian merasa kelelahan. Emosi yang meluap-luap dalam diskusi tadi membuatnya butuh ruang untuk menenangkan diri. Tanpa menoleh ke arah Gita yang masih duduk di tepi ranjang, Adrian keluar dari kamar, membiarkan keheningan menggantikan suara-suara tinggi yang baru saja memenuhi ruangan.Begitu Adrian menutup pintu, ia mendapati ibunya, Rima, berdiri di ujung lorong. Wajah Rima menunjukkan raut serius, jelas bahwa ia telah mendengar sebagian besar pembicaraan di dalam kamar. Ia menyandarkan diri di dinding dengan sikap tenang.“Kalau kamu memang ada hubungan dengan Luna,” kata Rima tanpa basa-basi, “Mama tidak akan keberatan. Bahkan… Mama pikir Luna itu jauh lebih baik daripada Gita.”Mendengar ucapan itu, Adrian merasa terkejut. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya, ia langsung menegur, “Ma!” Suaranya bernada kaget dan sedikit tajam, seolah ingin menegaskan bahwa ucapannya tadi tidak sepatutnya keluar. Namun, Rima tetap tenang, menatapnya seola

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 14. Tak Ada Tempat Pulang

    Gita berbaring di ranjang kamarnya, memandang langit-langit yang familiar namun terasa asing dalam suasana hatinya yang kalut. Meski ia mencoba memejamkan mata, pikirannya terus dipenuhi bayangan-bayangan tentang rumah tangganya, rasa sakit dan penolakan yang ia rasakan, serta ucapan-ucapan yang begitu melukai hati.Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu, dan Hamid masuk membawa secangkir teh hangat. Dengan senyum lembut, ia mendekat dan meletakkan cangkir di meja samping. Gita duduk perlahan dan mengucapkan terima kasih, menatap wajah ayahnya yang penuh kasih sayang. Kehangatan itu memberinya sedikit kenyamanan, meski tidak sepenuhnya mampu mengusir rasa sakit di dadanya.Hamid duduk di tepi ranjang, menatap putri bungsunya dengan pandangan yang tenang namun penuh perhatian. Setelah hening beberapa saat, ia berkata dengan lembut, “Gita, bapak tahu hidupmu tidak mudah. Pernikahan memang penuh tantangan. Tapi… mungkin kamu bisa coba mempertimbangkan untuk k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 15. Kenyataan Mengejutkan

    Pagi itu, suasana tenang di area kosan tiba-tiba dipecahkan oleh suara-suara panik dari beberapa penghuni yang berkumpul di depan bangunan. Mereka kaget melihat seorang wanita yang terbaring tak sadarkan diri di jalan, dan segera berkerumun, khawatir bahwa wanita itu mungkin mengalami kecelakaan atau terluka. Beberapa penghuni mencoba membangunkan Gita, namun tak ada respons. Di tengah kebingungan itu, suara mobil yang melambat membuat mereka menoleh. Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari kerumunan. Naufal, yang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, merasa ada sesuatu yang aneh melihat orang-orang berkumpul di depan kos-kosan pagi itu. Rasa penasaran membawanya turun dari mobil untuk mencari tahu. Ketika ia mendekat dan melihat lebih jelas, tubuhnya tiba-tiba menegang. “Gita?” Naufal bergumam, suaranya penuh keterkejutan. Mata Naufal tak lepas dari sosok wanita yang terbaring lemah di tengah kerumunan. Ia segera menyadari bahwa wanita yang pingsan itu adalah Gita. Rasa khawat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 16. Persimpangan Hati

    Gita duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, matanya menatap kosong ke luar jendela. Bayangan gedung-gedung di kejauhan tampak buram, terhalang oleh pikiran-pikirannya yang semakin berat. Pikirannya berkelana ke berbagai arah, mencoba mencari makna dari kenyataan yang baru saja menghantamnya. Kehamilan ini, yang seharusnya menjadi kabar gembira, justru membuatnya terombang-ambing di antara dua pilihan yang sama sulitnya.Perasaan bahagia menyelusup pelan saat ia memikirkan sosok kecil yang kini ada di dalam tubuhnya. Sejak awal pernikahannya dengan Adrian, memiliki anak adalah salah satu impian yang ia simpan erat di dalam hati, meskipun perjalanan ke arah sana selalu penuh tekanan dan tuntutan. Namun sekarang, di saat impian itu hampir terwujud, ia malah dihadapkan pada kenyataan pahit yang membuatnya ragu apakah ia ingin membawa anak ini ke dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian.Gita menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Di satu s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 17. Dukungan

    Di ruang rawat yang hening, Gita terbaring dengan pandangan kosong, pikirannya dipenuhi berbagai perasaan yang semakin membuatnya tertekan. Kondisinya yang belum pulih menjadi perhatian besar bagi Naufal, yang terus memantau perkembangan kesehatannya. Setiap kali ia memeriksa Gita, ia melihat bahwa kesehatan fisiknya seolah tertahan oleh kondisi emosional yang tak kunjung membaik.Suatu pagi, Naufal memasuki ruangan dengan membawa berkas pemeriksaan Gita. Ia melihat wajah Gita yang tampak letih dan penuh beban. Dengan nada lembut, ia duduk di samping tempat tidur, mencoba menarik perhatian sahabat lamanya.“Gita,” ucap Naufal pelan, berusaha berbicara dengan lembut. “Aku tahu ini semua sangat sulit untukmu, dan aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang kamu pikul sekarang. Tapi kamu harus ingat, kondisi emosional ini memengaruhi bayimu. Kamu nggak perlu berpura-pura bahagia, tapi setidaknya cobalah untuk lebih tenang.”Gita mengalihkan pand

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 18. Lebih Baik Berpisah

    Naufal duduk di samping tempat tidur Gita, menatap wajahnya yang penuh kebimbangan. Selama beberapa hari terakhir, ia menyaksikan Gita bergulat dengan perasaannya, mencoba mencari jawaban di tengah dilema yang rumit. Meskipun Naufal ingin memberikan dukungan tanpa mendorong ke arah tertentu, ia tahu bahwa situasi ini tak bisa berlanjut selamanya.Dengan nada hati-hati, Naufal akhirnya memutuskan untuk memberikan saran. “Gita, aku tahu ini sulit, tapi mungkin sebaiknya kamu coba menghubungi Adrian, setidaknya untuk memberi kabar bahwa kamu baik-baik saja. Kalau kamu terus menghilang tanpa jejak… Adrian bisa saja melaporkan kehilangan. Itu hanya akan membuat keadaan semakin rumit.”Gita menunduk, tatapannya tampak kosong. Saran Naufal masuk akal, tetapi ia masih merasa ada beban berat dalam hatinya. Baginya, menghubungi Adrian berarti menghadapi semua yang selama ini ia coba hindari, dan ia belum yakin siap untuk itu.Melihat kebimbangannya, Naufal me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 19. Luka Paling Menyakitkan: Kehilangan

    Setelah beberapa hari menjalani perawatan, Gita akhirnya diperbolehkan pulang. Naufal mengantarnya sampai ke depan rumah sakit. Saat mereka berdiri di sana, Naufal menatapnya cemas. “Gita, sekarang kamu mau ke mana? Apa kamu benar-benar tidak ingin kembali ke rumah… ke rumah suamimu?” Gita menghela napas panjang, menundukkan pandangannya. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, menimbulkan keraguan di hatinya. Ia tahu bahwa banyak yang harus ia pertimbangkan—bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang bayi yang kini ada di dalam kandungannya. Setelah beberapa saat hening, Gita mengangkat wajahnya dan menatap Naufal, meskipun sorot matanya tampak penuh kebimbangan. “Aku… aku belum siap untuk memutuskan sekarang. Banyak hal yang aku takuti. Rasanya seperti… aku butuh waktu untuk menenangkan diri dulu.” Naufal mengangguk, memahami perasaannya. “Aku paham. Kamu memang perlu waktu untuk diri sendiri. Jangan merasa tertekan untuk mengambil keputusan cepat.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09

Bab terbaru

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 63. Putus Asa

    Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 62. Menjenguk dari Kejauhan

    Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 61. Kenyataan Pahit

    Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 60. Nama Penyemangat

    Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 59. Status Istri

    Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 58. Keputusan Realistis

    Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 57. Parasit

    Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 56. Firasat

    Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 55. Penyesalan

    Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje

DMCA.com Protection Status