Naufal duduk di samping tempat tidur Gita, menatap wajahnya yang penuh kebimbangan. Selama beberapa hari terakhir, ia menyaksikan Gita bergulat dengan perasaannya, mencoba mencari jawaban di tengah dilema yang rumit. Meskipun Naufal ingin memberikan dukungan tanpa mendorong ke arah tertentu, ia tahu bahwa situasi ini tak bisa berlanjut selamanya.
Dengan nada hati-hati, Naufal akhirnya memutuskan untuk memberikan saran. “Gita, aku tahu ini sulit, tapi mungkin sebaiknya kamu coba menghubungi Adrian, setidaknya untuk memberi kabar bahwa kamu baik-baik saja. Kalau kamu terus menghilang tanpa jejak… Adrian bisa saja melaporkan kehilangan. Itu hanya akan membuat keadaan semakin rumit.”Gita menunduk, tatapannya tampak kosong. Saran Naufal masuk akal, tetapi ia masih merasa ada beban berat dalam hatinya. Baginya, menghubungi Adrian berarti menghadapi semua yang selama ini ia coba hindari, dan ia belum yakin siap untuk itu.Melihat kebimbangannya, Naufal meSetelah beberapa hari menjalani perawatan, Gita akhirnya diperbolehkan pulang. Naufal mengantarnya sampai ke depan rumah sakit. Saat mereka berdiri di sana, Naufal menatapnya cemas. “Gita, sekarang kamu mau ke mana? Apa kamu benar-benar tidak ingin kembali ke rumah… ke rumah suamimu?” Gita menghela napas panjang, menundukkan pandangannya. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, menimbulkan keraguan di hatinya. Ia tahu bahwa banyak yang harus ia pertimbangkan—bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang bayi yang kini ada di dalam kandungannya. Setelah beberapa saat hening, Gita mengangkat wajahnya dan menatap Naufal, meskipun sorot matanya tampak penuh kebimbangan. “Aku… aku belum siap untuk memutuskan sekarang. Banyak hal yang aku takuti. Rasanya seperti… aku butuh waktu untuk menenangkan diri dulu.” Naufal mengangguk, memahami perasaannya. “Aku paham. Kamu memang perlu waktu untuk diri sendiri. Jangan merasa tertekan untuk mengambil keputusan cepat.
Setelah sebulan penuh berjuang untuk pulih secara fisik dan emosional, Gita mulai merasa lebih kuat. Ia menyadari bahwa ia perlu melangkah ke depan dan membangun hidupnya sendiri. Gita mulai mencari pekerjaan melalui internet, berharap menemukan posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Tak lama, ia menemukan sebuah lowongan sebagai staf di salah satu perusahaan besar. Gita mengirimkan lamaran dan, tak disangka-sangka, menerima panggilan wawancara. Hari yang dinanti tiba. Gita datang ke perusahaan itu dengan perasaan gugup. Duduk di ruang tunggu bersama para pelamar lainnya, ia merasa sedikit asing. Dunia kerja ini adalah hal baru baginya, tetapi ia yakin bahwa inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa mandiri. Namun, di antara para pegawai yang berlalu-lalang, seorang pria tiba-tiba mengenalinya. Hardi salah satu teman dekat Adrian yang bekerja di perusahaan itu, terkejut saat melihat sosok Gita yang duduk dengan raut wajah tegang menunggu giliran wawancar
Bab 21. PertemuanMereka tiba di sebuah kafe dekat kantor Hardi. Adrian memilih meja yang sedikit tersembunyi. Begitu mereka duduk, Adrian menghela napas, mencoba menyusun kata-kata di kepalanya.“Gita,” Adrian memulai, “Aku tahu banyak hal yang selama ini aku abaikan. Mungkin… ini semua salahku, dan aku menyesal—”Belum selesai Adrian bicara, Rima tiba-tiba menyela dengan suara dingin, “Kamu hanya bisa menyesal sekarang, setelah istrimu membuat keluargamu khawatir dengan caranya sendiri.” Ia menoleh ke arah Gita, tatapannya tajam. Gita tertunduk, menelan sindiran pedas yang diarahkan padanya.“Ma, cukup!” tegur Adrian. Tapi Rima tak memedulikannya.“Gita, bisa-bisanya kamu pergi begitu saja selama lebih dari sebulan. Kamu gak memberi kabar, gak peduli sama Adrian! Anak saya terus-terusan nyari kamu, kamu malah malah sedang antre untuk wawancara kerja,” ucap Rima
Gita berjalan keluar dari kafe dengan langkah tergesa-gesa, perasaannya masih kacau. Keputusan untuk berpisah tidak mudah, tetapi ia merasa ini adalah langkah yang tepat demi menjaga harga dirinya dan kedamaian yang selama ini hilang. Namun, langkahnya terhenti saat suara langkah cepat di belakangnya mendekat. Adrian menyusulnya.“Gita,” ujar Adrian, meraih tangannya dengan cemas. “Aku mohon pikirkan dulu.”Gita menatapnya sejenak, menimbang perasaan yang telah lama ia simpan. Namun, ia tahu bahwa perasaannya bukanlah alasan untuk terus bertahan dalam hubungan yang membuatnya merasa terpinggirkan. Dengan tegas, ia berkata, “Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, maka aku yang akan ajukan gugatan.”Adrian tampak terpukul mendengar ketegasan itu. Gita melanjutkan dengan tenang, “Aku nggak akan menuntut apa pun darimu. Aku nggak butuh harta atau gono-gini. Aku cuma ingin berpisah, Dri. Bebas dari pernikahan yang bikin aku me
Menjelang sore, Naufal menyelesaikan pemeriksaan pasien terakhirnya. Ia memperhatikan catatan medis di layar komputer sambil berdiskusi singkat dengan suster yang mendampinginya.“Tekanan darah pasien sudah cukup stabil, ya,” ucap Naufal sambil mengetik catatan tambahan. “Pastikan ia datang minggu depan untuk kontrol, terutama karena ini masih trimester awal.”Suster mengangguk sambil mencatat instruksi Naufal di berkas pasien. “Baik, Dokter. Akan saya atur jadwal kontrolnya.”Setelah pasien keluar, suster mulai membereskan peralatan dan dokumen. Naufal menatapnya sebentar. “Kita sudah selesai untuk hari ini. Terima kasih, silakan pulang duluan,” ujarnya singkat.Suster tersenyum dan merapikan dokumen terakhirnya. “Terima kasih, Dokter. Sampai besok.”Setelah ruangan sepi, Naufal duduk kembali di kursinya. Ia membuka ponselnya untuk mengisi waktu setelah hari yang sibuk. Tanpa sadar, ia membuka media sosial dan melihat berita-berita di akun gosip yang ramai membahas kehidupan Adrian.
Setelah masuk ke dalam kontrakan, Naufal memperhatikan raut wajah Gita yang tampak lelah. Ia duduk di kursi seberang dan, tanpa bermaksud mengganggu, bertanya dengan nada lembut, “Dari mana kamu? Kok baru pulang malam begini?”Gita menghela napas, “Aku baru saja dari wawancara kerja di sebuah perusahaan.” Namun, ekspresinya mendadak berubah ketika ia menambahkan, “Tapi, tanpa sengaja aku bertemu Adrian dan mama mertua aku di sana.”Naufal terdiam sejenak, menangkap perubahan emosi di wajah Gita. Meskipun ia ingin tahu lebih lanjut, ia menahan diri agar tidak bertanya, khawatir justru memperburuk suasana hati Gita. Namun, tampaknya Gita ingin berbagi, dan setelah beberapa saat, ia melanjutkan dengan suara pelan.“Adrian masih ingin mempertahankan pernikahan kami,” kata Gita, senyum pahit tergurat di wajahnya. “Tapi aku... aku merasa pernikahan ini sudah nggak mungkin bisa dipertahankan lagi, Fal. Rasanya seperti sudah terlalu banyak yang hilang, terlalu banyak yang tidak bisa diperbaik
Setelah masuk ke kontrakan, Gita menutup pintu dan duduk di ruang tamu, berusaha menenangkan diri. Kata-kata para tetangga tadi masih berputar di kepalanya, mengganggu seperti gema yang sulit dihilangkan. Ia menarik napas dalam, mencoba menyingkirkan segala penilaian dan bisik-bisik yang terus menghantuinya.Mencari cara untuk mengalihkan pikirannya, Gita meraih ponsel di sakunya dan menyalakannya. Begitu layar menyala, rentetan pesan dari Adrian langsung muncul, notifikasi bertubi-tubi hingga memenuhi layarnya. Pesan-pesan itu seakan berusaha menyampaikan keputusasaan dan harapan Adrian, kata demi kata yang menandakan bahwa Adrian masih berupaya keras untuk meyakinkannya agar tidak berpisah.Gita menatap layar, namun hanya sesaat. Dengan napas berat, ia memutuskan untuk tidak membaca semua pesan itu. Perlahan, ia meletakkan ponsel di meja samping tanpa membuka satu pun pesan yang masuk, menyadari bahwa mungkin inilah saatnya ia memprioritaskan dirinya sendiri.Dengan langkah lelah, i
Di kantornya, Adrian sedang sibuk bekerja ketika pintu diketuk pelan, dan Luna muncul dengan senyum khasnya. “Hai, Adrian. Bagaimana kalau kita makan siang bareng? Aku rasa kita bisa sekalian bahas detail proyek kita,” tawarnya, nada suaranya santai dan akrab.Adrian mengangkat pandangan, tersenyum sambil menutup dokumen di mejanya. “Terima kasih, Luna, tapi hari ini aku lebih baik tetap di sini. Kalau ada hal mendesak soal proyek, kita bisa bahas di kantor saja.”Luna tampak sedikit terkejut mendengar penolakannya, namun ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum tipis. “Oh, baiklah. Hanya saja… aku pikir kita bisa mengobrol lebih santai di luar, seperti dulu,” ucapnya sambil mengangkat bahu ringan.Adrian tersenyum ramah, namun tetap pada pendiriannya. “Aku rasa lebih baik seperti ini, Luna. Kita bisa tetap produktif tanpa harus keluar,” jawabnya dengan nada tenang, menjaga agar suasana tetap profesional.Menyadari perubahan sikap Adrian, Luna mengangguk singkat. Meskipu
Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya
Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber
Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga
Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.
Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,
Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa
Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad
Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg
Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje