Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.
Adrian berjalan ke arah pintu.
“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.
Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.
Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin oleh ciuman singkat Adrian, sebuah sentuhan yang biasanya begitu berarti, tapi kini terasa kosong. Di balik senyuman yang tadi ia paksakan, hatinya perlahan hancur.
Dalam pikiran Gita, ucapan Mayang menggema. “Laki-laki mana yang betah di rumah tanpa suara anak kecil? Suatu saat nanti Adrian bisa saja mencari wanita lain kalau kamu tak juga bisa memberinya keturunan.”
Kata-kata itu telah lama menghantui pikirannya, namun hari ini, setelah semua yang ia alami, bayangannya terasa semakin nyata.
Gita menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang terus bermunculan. Namun, semakin ia melawan, semakin tajam rasa takut itu menusuk. Apa benar Adrian juga berpikir begitu? Apa benar semua usahanya selama ini tidak cukup?
Gita memutuskan kembali ke meja makan, duduk perlahan di kursi, menatap piring-piring penuh yang ia siapkan dengan harapan sederhana: bahwa suaminya akan duduk dan makan bersamanya. Bahwa mereka akan memulai hari seperti pasangan suami-istri yang bahagia, saling mendukung. Tapi kenyataan berkata lain. Usahanya terus-menerus terasa sia-sia, seolah dirinya tak pernah cukup untuk kebahagiaan Adrian, atau keluarga besar suaminya.
Kekecewaan yang semakin dalam membuat air matanya menetes perlahan. Apa aku yang salah? Pertanyaan itu semakin menguat di benaknya, membenamkan dirinya dalam kesedihan yang tak terucap. Setiap langkah yang ia tempuh untuk mempertahankan pernikahan mereka terasa seperti upaya yang sia-sia.
Gita mengingat janji pernikahan mereka yang baru saja dimulai setahun lalu. Saat itu, mereka begitu yakin bahwa cinta akan mengatasi segalanya. Namun sekarang, cinta yang dulu menguatkan mereka justru terasa melemah seiring dengan berjalannya waktu, ditambah dengan desakan keluarga Adrian yang menuntut kehadiran seorang anak.
Ia mengelus perutnya yang kosong, sebuah gestur yang ia lakukan tanpa sadar setiap kali pikirannya dipenuhi harapan dan ketakutan yang sama. Suara anak kecil, yang dulu hanya ia bayangkan dengan bahagia, kini terasa menjadi beban yang harus ia hadapi setiap hari. Dengan rasa cemas yang menggelayuti hatinya, Gita memutuskan untuk mendatangi rumah sakit. Ia ingin memeriksakan sendiri bagaimana kondisi rahimnya, mengingat ketakutannya bahwa mungkin saja kesalahan ada pada dirinya.
***
Gita menguatkan hati saat ia memasuki ruang tunggu rumah sakit, di mana beberapa ibu hamil duduk menunggu giliran, dengan tangan yang sesekali mengusap perut mereka yang membuncit. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sesak. Baginya, perjalanan ini bukan hanya sekadar pemeriksaan; ini adalah langkah penuh keberanian yang diambil seorang diri, tanpa Adrian di sisinya. Ia mencoba meredam kegelisahan, berharap bahwa semua yang ia alami hanyalah kekhawatiran yang tak berdasar. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa setiap tuduhan dan kata-kata tajam dari keluarga Adrian telah mengguncang kepercayaan dirinya.
Tak lama, nama Gita dipanggil. Ia menghela napas panjang dan bangkit, berjalan menuju ruangan pemeriksaan dengan langkah yang mantap meski hatinya gemetar. Begitu memasuki ruangan, ia tertegun. Yang berdiri di sana, menunggunya dengan senyum ramah, adalah Naufal, teman masa sekolah yang sudah lama tak ditemuinya.
“Gita? Ini beneran kamu?” Naufal tampak terkejut, lalu tersenyum lebar. “Sudah lama sekali, ya. Aku hampir tidak mengenalimu.”
“Naufal? Kamu jadi dokter kandungan, ternyata!” Gita membalas senyum Naufal, sedikit merasa lega melihat wajah yang familiar. Pertemuan ini seperti membawa secercah cahaya di tengah kekalutannya.
“Iya, hidup memang sering bawa kita ke jalur yang enggak kita duga, ya?” jawab Naufal sambil tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, gimana kabar kamu sekarang? Baik-baik aja, kan??”
“Iya, baik…” jawab Gita meski dia sedikit ragu dengan jawaban itu, tetapi Naufal bisa merasakan kegundahan di matanya.
“Kalau begitu, ada yang ingin kamu sampaikan tentang kesehatanmu? Apakah ada keluhan tertentu yang bikin kamu khawatir?” tanya Naufal pada akhirnya.
Gita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya, aku sudah menikah setahun, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku merasa ada yang tidak beres dan ingin memeriksakan kondisiku lebih lanjut.”
Naufal mengangguk, menunjukkan perhatian. “Baik, kita bisa melakukan pemeriksaan. Ini penting untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. Mari kita lakukan agar kamu bisa merasa lebih tenang.”
Gita segera berbaring di meja pemeriksaan, mencoba memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Naufal mulai melakukan pemeriksaan dengan hati-hati, lalu menyiapkan alat USG. Gita bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat seiring pergerakan alat di perutnya.
Setelah beberapa saat, Naufal menatap layar dengan cermat, mengamati setiap detail. “Gita, dari pemeriksaan awal ini, semuanya terlihat baik-baik saja. Rahim kamu sehat, dan tidak ada masalah yang tampak dari sini.”
Mata Gita melebar, tak percaya. Ia merasa lega, tapi sekaligus bingung. “Jadi… jadi, tidak ada yang salah denganku?”
Naufal mengangguk. “Tidak ada, Gita. Tubuh kamu sehat dan normal. Jadi, jangan terbebani oleh pikiran atau tekanan yang membuat kamu merasa seperti ada yang salah. Mungkin ada beberapa faktor lain, tapi itu bukan dari kondisi fisik kamu.”
Gita menarik napas dalam-dalam, merasa beban besar terangkat dari dadanya. Meski kabar ini melegakannya, ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang masih tertinggal dari sikap keluarga Adrian yang terus mempertanyakan dirinya. Namun, mendengar kabar dari Naufal memberinya kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi nanti.
“Terima kasih, ya,” ucap Gita tulus.
Naufal mengangguk. “Sama-sama, Gita. Jangan ragu untuk kembali kalau ada yang kamu ingin tanyakan.”
***
Gita bergegas pulang setelah selesai pemeriksaan. Hari ternyata sudah beranjak sore, dan ia masih harus menyiapkan makan malam untuk Adrian dan dirinya. Meski lelah, ada keinginan dalam hatinya untuk membuat suasana rumah terasa hangat, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengembalikan sedikit keakraban yang kian menjauh.
Ketika Gita tiba di rumah, ia mendapati bahwa Adrian sudah pulang lebih awal dan sedang berada di kamar mandi. Ia meletakkan tasnya, melepas sepatu, dan duduk di ruang tamu, menunggu Adrian selesai. Lelah yang ia rasakan seharian perlahan menyeretnya ke dalam kantuk, hingga tanpa disadari, ia tertidur.
Ketika ia terbangun, Gita melihat Adrian sudah keluar dari kamar mandi, tengah mengenakan kemeja bersih. Ia mengusap wajahnya sejenak untuk menghilangkan kantuk dan segera berdiri, menyambut Adrian dengan senyum yang masih lemah.
“Kamu dari mana? Kenapa seharian ini gak ada kabar?” tanya Adrian dengan nada datar, namun menunjukkan protesnya.
Gita tergagap sejenak. Ia berusaha merangkai kata-kata di benaknya, berusaha menghindari konflik, tapi akhirnya ia memutuskan untuk jujur. “Aku tadi ke dokter kandungan.”
Adrian menghentikan aktivitasnya mengancingkan kancing memeja sejenak, matanya menatap Gita dengan sorot yang sulit diartikan. Gita merasa sedikit terintimidasi, terutama ketika ia melihat raut wajah Adrian berubah menjadi sedikit tak senang.
“Kenapa kamu tidak bilang apa-apa dulu ke aku?” tanya Adrian.
Gita menunduk, merasa bersalah dan tak ingin menambah ketegangan di antara mereka. “Maaf.”
Adrian hanya menghela napas, lalu melanjutkan merapikan kerah kemejanya. Gita menatapnya dengan harapan bahwa Adrian akan merespons atau berkata sesuatu, tetapi pria itu hanya melirik jam di pergelangan tangannya sebelum berkata dengan suara yang nyaris tanpa ekspresi.
“Aku ada makan malam dengan rekan bisnis, jadi kamu tidak perlu menyiapkan makan malam untukku malam ini.”
Gita menelan ludah, menahan perasaan kecewanya yang muncul lagi.
Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian. Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, men
Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber
Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang
Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup
Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d
Pagi itu, Gita dan Adrian bersiap menghadiri acara peluncuran Platform Digital Kolaborasi antara Fortuna Media dan Luna Corp—proyek besar yang merupakan puncak dari kerja sama panjang Adrian dan Luna. Rima juga ikut serta sebagai bentuk dukungan keluarga. Ketiganya berangkat bersama dari rumah, suasana terasa penuh kebanggaan, terutama dari Adrian yang sudah mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.Begitu tiba di venue, mereka disambut suasana meriah dan karpet merah yang penuh dengan fotografer, media, rekan bisnis, dan karyawan dari kedua perusahaan. Flash kamera berkedip tak henti-henti, mengabadikan momen penting ini. Adrian dan Luna segera terserap dalam keramaian, sibuk menyapa para tamu undangan, berbincang dengan kolega, dan memberikan senyuman di depan lensa kamera. Mereka tampak begitu kompak, menarik perhatian banyak orang dengan keakraban yang terpancar dari setiap gestur dan senyum yang mereka bagi.Sementara itu, Gita dan Rima berdiri sedikit terpisah, mengamati da
Setelah pertengkaran yang cukup sengit, Adrian merasa kelelahan. Emosi yang meluap-luap dalam diskusi tadi membuatnya butuh ruang untuk menenangkan diri. Tanpa menoleh ke arah Gita yang masih duduk di tepi ranjang, Adrian keluar dari kamar, membiarkan keheningan menggantikan suara-suara tinggi yang baru saja memenuhi ruangan.Begitu Adrian menutup pintu, ia mendapati ibunya, Rima, berdiri di ujung lorong. Wajah Rima menunjukkan raut serius, jelas bahwa ia telah mendengar sebagian besar pembicaraan di dalam kamar. Ia menyandarkan diri di dinding dengan sikap tenang.“Kalau kamu memang ada hubungan dengan Luna,” kata Rima tanpa basa-basi, “Mama tidak akan keberatan. Bahkan… Mama pikir Luna itu jauh lebih baik daripada Gita.”Mendengar ucapan itu, Adrian merasa terkejut. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya, ia langsung menegur, “Ma!” Suaranya bernada kaget dan sedikit tajam, seolah ingin menegaskan bahwa ucapannya tadi tidak sepatutnya keluar. Namun, Rima tetap tenang, menatapnya seola
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per
Di ruang kerja rumahnya, Adrian duduk dengan wajah tegang, berhadapan dengan Hendri yang berdiri sambil memegang map dokumen. Hendri menarik napas panjang sebelum berbicara.“Pak Adrian, maaf kalau ini terdengar terlalu blak-blakan, tapi gosip yang beredar mulai berdampak serius pada perusahaan. Tiga klien utama kita mengajukan pertanyaan terkait berita itu. Mereka bilang, mereka butuh kepastian untuk tetap melanjutkan kerjasama,” ucap Hendri hati-hati, memperhatikan ekspresi Adrian.Adrian memejamkan matanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa detail yang mereka tanyakan?” suaranya terdengar berat, tapi tenang.“Mayoritas tentang isu hubungan pribadi itu, Pak. Mereka khawatir kredibilitas perusahaan kita terkena dampak, terutama di media sosial. Sudah ada dua unggahan anonim yang viral, menyebutkan bahwa perusahaan ini tidak lagi stabil,” jawab Hendri.Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kema
Adrian duduk di kursi rodanya, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Tautan artikel itu masih terbuka, seolah menjadi duri yang menusuk hatinya. Judul provokatif itu terus bergema di pikirannya: “Dokter Kandungan atau Sahabat Lama? Rumor Kedekatan Istri Adrian dan Naufal Membuat Publik Bertanya-tanya.”Pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hendri telah memperingatkannya agar tetap tenang, tetapi perasaan cemburu dan terluka perlahan merayap masuk, mengguncang kendali yang coba ia pertahankan.Gita muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya penuh perhatian, senyumnya mencoba mencairkan suasana. “Teh buat kamu,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di samping Adrian. Namun, ia langsung menangkap kegelisahan di wajah suaminya.“Kamu terlihat tegang. Ada apa?” tanyanya lembut, matanya menatap Adrian penuh rasa cemas.Adrian menggeleng perlahan, berusaha menyembunyika
Pagi itu, suasana rumah terasa dingin. Gita mencoba mengalihkan pikiran dari pertengkaran semalam dengan rutinitasnya di dapur. Aroma kopi menguar lembut di udara, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hati yang penuh keraguan. Dia membawa nampan berisi sepiring roti, telur, dan secangkir kopi, lalu berjalan ke ruang makan tempat Adrian duduk dengan pandangan kosong di kursi rodanya.“Ini sarapannya, Dri,” ujar Gita, mencoba terdengar hangat.Adrian menoleh perlahan, matanya tajam namun tidak berkata-kata. Setelah beberapa saat, ia hanya menggeleng pelan. “Aku nggak lapar,” jawabnya singkat, menolak dengan suara datar.Gita terdiam sejenak, berusaha membaca suasana hati suaminya. Dia tahu, percakapan mereka semalam masih menyisakan luka yang belum sembuh. Menarik napas panjang, Gita menurunkan nampan ke meja lalu duduk di hadapan Adrian. Tangannya bertumpu pada meja, dan ia menatap Adrian dengan ekspresi penuh perhatian.“Adrian, kita