Gita kembali ke rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sudah menjalani rangkaian pemeriksaan beberapa hari lalu, dan hari ini adalah momen penting—mendengarkan hasilnya. Suasana di ruang tunggu terasa ramai, tapi Gita seolah tak bisa fokus pada apa pun selain pikirannya sendiri. Jantungnya berdebar cepat, tangannya sedikit gemetar saat ia meremas ponsel di pangkuannya, berharap hasil yang akan didengar nanti memberi kelegaan.
Setelah beberapa menit menunggu, namanya dipanggil. Gita menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan Naufal. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada beban yang tak terlihat di setiap langkah. Sesampainya di pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk.
Naufal sudah duduk di balik mejanya, memeriksa hasil pemeriksaan Gita. Wajahnya tetap tenang, seperti seorang dokter yang siap memberikan penjelasan profesional. Saat melihat Gita masuk, Naufal tersenyum tipis. “Gita, silakan duduk.”
Gita duduk, berusaha menahan kegugupannya, menunggu apa yang akan dikatakan Naufal.
“Aku sudah punya hasil dari semua pemeriksaan yang kamu jalani sebelumnya.”
Gita duduk dengan perasaan tak menentu, matanya tertuju pada dokumen yang terletak di depan Naufal. “Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Naufal membuka dokumen tersebut, matanya beralih ke layar komputernya untuk memastikan detail hasil pemeriksaan. “Dari hasil USG dan tes darah yang kamu jalani, semuanya normal. Tidak ada tanda-tanda masalah pada ovarium atau rahimmu. Saluran tuba falopi juga tidak tersumbat berdasarkan hasil HSG kemarin. Secara keseluruhan, kondisi reproduksimu baik-baik saja.”
Gita menarik napas lega sejenak, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Jadi, aku... sehat?”
Naufal mengangguk sambil tersenyum. “Iya, dari hasil yang kami dapat, kamu sehat, Gita. Tidak ada masalah yang signifikan secara fisik yang bisa menjelaskan kenapa kamu belum hamil.”
Namun, meskipun lega mendengar hasil itu, perasaan bingung masih membayang di benak Gita. “Kalau begitu, kenapa sampai sekarang aku belum hamil? Sudah lima tahun...”
Naufal menyandarkan tubuhnya di kursi, suaranya lebih tenang dan penuh pengertian. “Banyak faktor yang bisa mempengaruhi kehamilan, Gita. Stres misalnya, bisa berdampak besar. Kadang tubuh wanita tidak merespon dengan baik kalau ada tekanan mental atau emosional yang tinggi. Ada juga kemungkinan faktor dari pasangan... Apakah Adrian sudah periksa juga?”
Gita terdiam sejenak, jelas ia belum membicarakan masalah ini dengan Adrian lebih jauh. “Belum,” jawabnya pelan. “Dia masih sibuk.”
Naufal mengangguk, tetap tenang dan profesional. “Memang lebih baik jika Adrian juga menjalani pemeriksaan. Kehamilan bukan hanya soal kondisi wanita, tapi juga pria. Kondisi sperma bisa menjadi salah satu faktor. Jika Adrian bersedia menjalani tes, itu akan membantu kita lebih memahami situasinya.”
Gita menatap Naufal dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lega mengetahui dirinya baik-baik saja, namun sekarang pertanyaan baru muncul. Jika dirinya sehat, lalu apa yang menyebabkan mereka belum juga dikaruniai anak?
“Aku tahu ini nggak mudah, Gita,” lanjut Naufal dengan nada lembut. “Tapi kadang kita harus sabar. Hasil yang baik ini sudah menunjukkan kalau kamu bisa hamil, hanya butuh waktu dan usaha yang tepat.”
Gita tersenyum tipis, meski hatinya masih penuh pertanyaan. “Terima kasih, Fal. Aku akan bicara dengan Adrian.”
***
Gita duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jam dinding yang terus bergerak perlahan. Malam semakin larut, dan sekali lagi, Adrian belum juga pulang. Perasaan yang familiar mengisi hatinya—kegelisahan bercampur dengan kelelahan emosional. Suara kendaraan di luar rumah akhirnya memecah keheningan, membuat Gita duduk lebih tegak. Beberapa detik kemudian, suara pintu depan terbuka perlahan.
Adrian melangkah masuk. Wajahnya tampak lelah, raut muka yang penuh dengan beban pekerjaan, namun tidak ada tanda-tanda kebahagiaan melihat rumah. Tidak ada senyum, hanya tatapan kosong dan langkah kaki yang berat seolah pulang bukan lagi hal yang dinantikan.
Gita berdiri, mencoba menyambutnya. “Adrian, aku mau bicara sebentar.”
Adrian mendesah, tanpa menatap Gita, dia berjalan melepas jasnya dan meletakkannya di kursi. “Bicara apa lagi? Aku capek, Gita.”
Gita menahan perasaannya dan mengikuti Adrian ke arah meja makan. “Aku baru dari rumah sakit, tadi dapat hasil pemeriksaan dari dokter. Aku... aku sehat. Nggak ada masalah dengan tubuhku.”
Adrian berhenti sejenak, lalu menatap Gita dengan dingin. “Sehat? Kalau kamu sehat, kenapa kita belum punya anak juga? Lima tahun, Gita. Lima tahun, dan nggak ada tanda-tanda apa pun.”
Gita merasa dadanya sesak, tapi ia tetap berusaha menjelaskan. “Dokter bilang mungkin ini karena stres. Dia juga bilang mungkin kita perlu periksa bareng, supaya kita bisa tahu kondisinya secara keseluruhan.”
Adrian mendadak membanting piring di meja, membuat Gita terkejut. “Jadi, kamu pikir ini salahku? Kamu pikir aku yang nggak normal?”
Gita menggeleng cepat, air matanya mulai menggenang. “Bukan begitu, Adrian. Aku cuma bilang, kita perlu periksa berdua. Ini bukan soal siapa yang salah.”
Adrian mendekat dengan mata berkilat penuh emosi. “Jadi kamu udah ketemu dokter dan sekarang kamu merasa lebih tahu soal ini? Kamu pikir aku yang harus disalahkan?”
“Adrian, tolong, aku nggak bilang gitu...”
“Tapi nyatanya kamu memang menyalahkan aku!” teriak Adrian, matanya menatap Gita dengan tajam. Ia membalikkan badan dengan marah, berjalan menuju kamar, dan membanting pintu keras-keras di belakangnya.
Gita terdiam, air mata mulai jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Namun, ia tak tahan membiarkan semuanya begitu saja. Gita berjalan pelan menuju kamar.
“Adrian...” Gita membuka pintu kamar perlahan dan masuk, meskipun dia tahu suasana di dalam tidak akan lebih baik dari yang ada di luar. Adrian berdiri di dekat jendela, membelakanginya, masih diam dan tidak ingin berbicara. Gita mendekat. “Aku minta maaf kalau aku tadi menyinggung kamu... aku nggak bermaksud bikin kamu marah.”
Adrian masih tidak merespons, tatapannya tetap tertuju ke luar jendela. Namun, Gita tidak menyerah. Dia menarik napas panjang, mencoba menjelaskan lebih lanjut. “Maksudku, mungkin kita butuh bantuan dokter. Ada terapi yang bisa kita jalani—terapi hormon, atau langkah lain yang bisa bantu kita punya anak. Aku hanya ingin kita bisa menghadapi ini bersama.”
Ada jeda, suasana hening sejenak. Gita merasa seperti berbicara pada tembok, tapi ia tahu Adrian mendengar setiap kata yang diucapkannya.
Dia kemudian mendekat lebih lagi, berdiri di samping Adrian. “Kita harus tetap berusaha, Adrian. Aku tahu ini berat, tapi kita bisa melewati ini kalau kita bersabar dan nggak saling menyalahkan.” Gita meletakkan tangannya di lengan Adrian, menyentuhnya dengan lembut, mencoba mencairkan suasana yang begitu dingin.
Adrian akhirnya menghela napas, masih memilih diam. Gita tahu dia menahan banyak hal, tapi dia tidak menyerah. Tangannya menyentuh lengan Adrian dengan lembut, mengusapnya perlahan. Tatapannya penuh harap, meskipun suasana masih terasa dingin.
“Adrian…” Gita mendekat, suaranya lembut. “Kita tetap bisa mencoba lagi… pelan-pelan, bersama-sama.”
Adrian tetap diam, tubuhnya kaku. Namun, Gita bisa merasakan sedikit perubahan dalam sikapnya. Dia tidak mundur, justru mendekat lebih lagi, membiarkan kehangatan sentuhannya menyentuh hati yang sudah lama terasa dingin. Perlahan, dinding yang Adrian bangun mulai runtuh. Meski tanpa kata, ada keinginan yang tidak lagi bisa ia tolak.
Setelah beberapa saat, Adrian akhirnya menyerah, membiarkan Gita mendekat. Suasana yang awalnya dingin mulai berubah. Mereka saling memahami tanpa perlu bicara panjang lebar, berusaha mengembalikan keintiman yang sempat hilang.
Gita memperbaiki rambutnya yang terurai, berusaha tetap tenang di balik gaun elegan berwarna merah marun yang dipilihkan oleh Adrian. Malam itu, mereka menghadiri acara ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian, sebuah pesta megah yang penuh dengan kemewahan. Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima, dan lantunan musik orkestra membalut ruangan dengan suasana glamor.Adrian tampak tenang di sampingnya, sesekali berbicara dengan kerabatnya tentang proyek bisnis terbaru. Di tengah keramaian ini, Gita merasa semakin kecil, berdiri sedikit menjauh sambil menahan perasaan asing yang mulai merayap di dadanya.“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Suara tajam itu datang dari Sarah— tante dari Adrian, wanita berusia 50-an dengan gaun berkilau. Tawanya terdengar lepas, tapi pertanyaannya menusuk tepat di hati Gita. “Buruan kasih anak buat Bima. Mamanya pasti sudah pengen punya cucu.”Senyuman kaku mengembang di wajah Gita, sebuah senyuman yan
Cahaya pagi menerobos jendela dapur, menerangi meja sarapan yang tertata rapi. Gita duduk di seberang Adrian, menatap piring rotinya yang nyaris tak tersentuh. Pikirannya terpusat pada satu hal yang telah ia pertimbangkan berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya.“Adrian,” Gita membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, “aku ingin kita bicara soal... rencana kita punya anak.”Adrian yang tengah membaca tablet sambil menyeruput kopi, melirik sekilas ke arahnya. “Hmm? Maksud kamu apa?” tanyanya, setengah tertarik namun lebih sibuk dengan berita bisnis di layar.Gita menelan rasa gugupnya. “Kita sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin kita bisa periksa ke dokter. Kita berdua. Bareng-bareng.”Adrian menghentikan aktivitasnya, menurunkan tablet, dan menatap Gita dengan sedikit heran. “Periksa? Kamu serius, Gita?”Gita mengangguk. “Iya. Aku pikir, ini langkah yang tepat. Kita ga
Gita tiba di rumah sakit, berjalan melewati koridor menuju bagian obstetri dan ginekologi. Tujuannya kali ini adalah dokter kandungan, bagian yang sudah lama ia pikirkan untuk dikunjungi namun selalu tertunda karena keraguan dan alasan-alasan lain. Ruangan itu dipenuhi oleh para wanita yang juga menunggu giliran, beberapa di antaranya tampak bersama pasangan mereka. Gita merasa sedikit canggung melihat suasana ini, terutama karena ia datang sendirian.Setelah mendaftar di loket, ia mengisi formulir pasien baru. Suasana di sekitarnya cukup sibuk, namun Gita mencoba fokus pada apa yang akan ia hadapi. Setelah menyerahkan formulir kepada petugas, Gita duduk di ruang tunggu, matanya mengamati layar yang menampilkan nomor antrian. Perasaan cemas kembali menghantuinya, terutama setelah diskusi tegang dengan Adrian pagi ini.Beberapa menit kemudian, namanya dipanggil oleh resepsionis. “Ibu Gita, silakan ke ruang pemeriksaan,” kata petugas dengan senyum ramah.Dengan perasaan campur aduk, Git
Adrian dan Silvy masuk ke sebuah kafe modern yang suasananya tenang, dengan meja-meja kecil berjejer rapi dan aroma kopi yang menyegarkan. Setelah memesan makanan, mereka duduk di pojok ruangan, agak jauh dari pengunjung lain, memberi sedikit privasi bagi percakapan mereka.Adrian tampak lebih rileks sekarang, meskipun pikirannya masih penuh dengan berbagai hal yang mengganggunya. Sementara itu, Silvy duduk dengan tenang, menatap Adrian dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Ia menyilangkan kakinya dengan anggun dan mulai berbicara.“Belakangan ini Bapak kelihatan sibuk banget,” ujar Silvy dengan nada lembut. “Kayak ada banyak yang dipikirkan. Saya bisa bantu apa, Pak?”Adrian menghela napas panjang, tersenyum tipis sebelum menjawab. “Iya, banyak hal. Bisnis, proyek, dan... ya, hal-hal lain di rumah,” jawabnya, seolah menyinggung sesuatu yang lebih dalam.Silvy menangkap nada itu, dan seperti biasa, ia tahu kapan harus berbicara dan kapan hanya mendengarkan. “Bapak bisa cerita, ka