Share

Bab 5. Baik Baik Saja

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-10-05 09:23:54

Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.

Adrian berjalan ke arah pintu.

“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.

Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin oleh ciuman singkat Adrian, sebuah sentuhan yang biasanya begitu berarti, tapi kini terasa kosong. Di balik senyuman yang tadi ia paksakan, hatinya perlahan hancur.

Dalam pikiran Gita, ucapan Mayang menggema. “Laki-laki mana yang betah di rumah tanpa suara anak kecil? Suatu saat nanti Adrian bisa saja mencari wanita lain kalau kamu tak juga bisa memberinya keturunan.”

Kata-kata itu telah lama menghantui pikirannya, namun hari ini, setelah semua yang ia alami, bayangannya terasa semakin nyata.

Gita menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang terus bermunculan. Namun, semakin ia melawan, semakin tajam rasa takut itu menusuk. Apa benar Adrian juga berpikir begitu? Apa benar semua usahanya selama ini tidak cukup?

Gita memutuskan kembali ke meja makan, duduk perlahan di kursi, menatap piring-piring penuh yang ia siapkan dengan harapan sederhana: bahwa suaminya akan duduk dan makan bersamanya. Bahwa mereka akan memulai hari seperti pasangan suami-istri yang bahagia, saling mendukung. Tapi kenyataan berkata lain. Usahanya terus-menerus terasa sia-sia, seolah dirinya tak pernah cukup untuk kebahagiaan Adrian, atau keluarga besar suaminya.

Kekecewaan yang semakin dalam membuat air matanya menetes perlahan. Apa aku yang salah? Pertanyaan itu semakin menguat di benaknya, membenamkan dirinya dalam kesedihan yang tak terucap. Setiap langkah yang ia tempuh untuk mempertahankan pernikahan mereka terasa seperti upaya yang sia-sia.

Gita mengingat janji pernikahan mereka yang baru saja dimulai setahun lalu. Saat itu, mereka begitu yakin bahwa cinta akan mengatasi segalanya. Namun sekarang, cinta yang dulu menguatkan mereka justru terasa melemah seiring dengan berjalannya waktu, ditambah dengan desakan keluarga Adrian yang menuntut kehadiran seorang anak.

Ia mengelus perutnya yang kosong, sebuah gestur yang ia lakukan tanpa sadar setiap kali pikirannya dipenuhi harapan dan ketakutan yang sama. Suara anak kecil, yang dulu hanya ia bayangkan dengan bahagia, kini terasa menjadi beban yang harus ia hadapi setiap hari. Dengan rasa cemas yang menggelayuti hatinya, Gita memutuskan untuk mendatangi rumah sakit. Ia ingin memeriksakan sendiri bagaimana kondisi rahimnya, mengingat ketakutannya bahwa mungkin saja kesalahan ada pada dirinya.

***

Gita menguatkan hati saat ia memasuki ruang tunggu rumah sakit, di mana beberapa ibu hamil duduk menunggu giliran, dengan tangan yang sesekali mengusap perut mereka yang membuncit. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sesak. Baginya, perjalanan ini bukan hanya sekadar pemeriksaan; ini adalah langkah penuh keberanian yang diambil seorang diri, tanpa Adrian di sisinya. Ia mencoba meredam kegelisahan, berharap bahwa semua yang ia alami hanyalah kekhawatiran yang tak berdasar. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa setiap tuduhan dan kata-kata tajam dari keluarga Adrian telah mengguncang kepercayaan dirinya.

Tak lama, nama Gita dipanggil. Ia menghela napas panjang dan bangkit, berjalan menuju ruangan pemeriksaan dengan langkah yang mantap meski hatinya gemetar. Begitu memasuki ruangan, ia tertegun. Yang berdiri di sana, menunggunya dengan senyum ramah, adalah Naufal, teman masa sekolah yang sudah lama tak ditemuinya.

“Gita? Ini beneran kamu?” Naufal tampak terkejut, lalu tersenyum lebar. “Sudah lama sekali, ya. Aku hampir tidak mengenalimu.”

“Naufal? Kamu jadi dokter kandungan, ternyata!” Gita membalas senyum Naufal, sedikit merasa lega melihat wajah yang familiar. Pertemuan ini seperti membawa secercah cahaya di tengah kekalutannya.

“Iya, hidup memang sering bawa kita ke jalur yang enggak kita duga, ya?” jawab Naufal sambil tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, gimana kabar kamu sekarang? Baik-baik aja, kan??”

“Iya, baik…” jawab Gita meski dia sedikit ragu dengan jawaban itu, tetapi Naufal bisa merasakan kegundahan di matanya.

“Kalau begitu, ada yang ingin kamu sampaikan tentang kesehatanmu? Apakah ada keluhan tertentu yang bikin kamu khawatir?” tanya Naufal pada akhirnya.

Gita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya, aku sudah menikah setahun, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku merasa ada yang tidak beres dan ingin memeriksakan kondisiku lebih lanjut.”

Naufal mengangguk, menunjukkan perhatian. “Baik, kita bisa melakukan pemeriksaan. Ini penting untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. Mari kita lakukan agar kamu bisa merasa lebih tenang.”

Gita segera berbaring di meja pemeriksaan, mencoba memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Naufal mulai melakukan pemeriksaan dengan hati-hati, lalu menyiapkan alat USG. Gita bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat seiring pergerakan alat di perutnya.

Setelah beberapa saat, Naufal menatap layar dengan cermat, mengamati setiap detail. “Gita, dari pemeriksaan awal ini, semuanya terlihat baik-baik saja. Rahim kamu sehat, dan tidak ada masalah yang tampak dari sini.”

Mata Gita melebar, tak percaya. Ia merasa lega, tapi sekaligus bingung. “Jadi… jadi, tidak ada yang salah denganku?”

Naufal mengangguk. “Tidak ada, Gita. Tubuh kamu sehat dan normal. Jadi, jangan terbebani oleh pikiran atau tekanan yang membuat kamu merasa seperti ada yang salah. Mungkin ada beberapa faktor lain, tapi itu bukan dari kondisi fisik kamu.”

Gita menarik napas dalam-dalam, merasa beban besar terangkat dari dadanya. Meski kabar ini melegakannya, ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang masih tertinggal dari sikap keluarga Adrian yang terus mempertanyakan dirinya. Namun, mendengar kabar dari Naufal memberinya kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi nanti.

“Terima kasih, ya,” ucap Gita tulus.

Naufal mengangguk. “Sama-sama, Gita. Jangan ragu untuk kembali kalau ada yang kamu ingin tanyakan.”

***

Gita bergegas pulang setelah selesai pemeriksaan. Hari ternyata sudah beranjak sore, dan ia masih harus menyiapkan makan malam untuk Adrian dan dirinya. Meski lelah, ada keinginan dalam hatinya untuk membuat suasana rumah terasa hangat, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengembalikan sedikit keakraban yang kian menjauh.

Ketika Gita tiba di rumah, ia mendapati bahwa Adrian sudah pulang lebih awal dan sedang berada di kamar mandi. Ia meletakkan tasnya, melepas sepatu, dan duduk di ruang tamu, menunggu Adrian selesai. Lelah yang ia rasakan seharian perlahan menyeretnya ke dalam kantuk, hingga tanpa disadari, ia tertidur.

Ketika ia terbangun, Gita melihat Adrian sudah keluar dari kamar mandi, tengah mengenakan kemeja bersih. Ia mengusap wajahnya sejenak untuk menghilangkan kantuk dan segera berdiri, menyambut Adrian dengan senyum yang masih lemah.

“Kamu dari mana? Kenapa seharian ini gak ada kabar?” tanya Adrian dengan nada datar, namun menunjukkan protesnya.

Gita tergagap sejenak. Ia berusaha merangkai kata-kata di benaknya, berusaha menghindari konflik, tapi akhirnya ia memutuskan untuk jujur. “Aku tadi ke dokter kandungan.”

Adrian menghentikan aktivitasnya mengancingkan kancing memeja sejenak, matanya menatap Gita dengan sorot yang sulit diartikan. Gita merasa sedikit terintimidasi, terutama ketika ia melihat raut wajah Adrian berubah menjadi sedikit tak senang.

“Kenapa kamu tidak bilang apa-apa dulu ke aku?” tanya Adrian.

Gita menunduk, merasa bersalah dan tak ingin menambah ketegangan di antara mereka. “Maaf.”

Adrian hanya menghela napas, lalu melanjutkan merapikan kerah kemejanya. Gita menatapnya dengan harapan bahwa Adrian akan merespons atau berkata sesuatu, tetapi pria itu hanya melirik jam di pergelangan tangannya sebelum berkata dengan suara yang nyaris tanpa ekspresi.

“Aku ada makan malam dengan rekan bisnis, jadi kamu tidak perlu menyiapkan makan malam untukku malam ini.”

Gita menelan ludah, menahan perasaan kecewanya yang muncul lagi. 

Related chapters

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 6. Beban Terpendam

    Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian. Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, men

    Last Updated : 2024-11-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 7. Sisa Perhatian

    Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber

    Last Updated : 2024-11-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 8. Makin Menjauh

    Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang

    Last Updated : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 9. Harapan yang Menekan

    Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon

    Last Updated : 2024-11-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 10. Rumah Mertua

    Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup

    Last Updated : 2024-11-03
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 11. Hancur Perlahan

    Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d

    Last Updated : 2024-11-04
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 12. Di Balik Sorotan

    Pagi itu, Gita dan Adrian bersiap menghadiri acara peluncuran Platform Digital Kolaborasi antara Fortuna Media dan Luna Corp—proyek besar yang merupakan puncak dari kerja sama panjang Adrian dan Luna. Rima juga ikut serta sebagai bentuk dukungan keluarga. Ketiganya berangkat bersama dari rumah, suasana terasa penuh kebanggaan, terutama dari Adrian yang sudah mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.Begitu tiba di venue, mereka disambut suasana meriah dan karpet merah yang penuh dengan fotografer, media, rekan bisnis, dan karyawan dari kedua perusahaan. Flash kamera berkedip tak henti-henti, mengabadikan momen penting ini. Adrian dan Luna segera terserap dalam keramaian, sibuk menyapa para tamu undangan, berbincang dengan kolega, dan memberikan senyuman di depan lensa kamera. Mereka tampak begitu kompak, menarik perhatian banyak orang dengan keakraban yang terpancar dari setiap gestur dan senyum yang mereka bagi.Sementara itu, Gita dan Rima berdiri sedikit terpisah, mengamati da

    Last Updated : 2024-11-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 13. Persimpangan Keputusan

    Setelah pertengkaran yang cukup sengit, Adrian merasa kelelahan. Emosi yang meluap-luap dalam diskusi tadi membuatnya butuh ruang untuk menenangkan diri. Tanpa menoleh ke arah Gita yang masih duduk di tepi ranjang, Adrian keluar dari kamar, membiarkan keheningan menggantikan suara-suara tinggi yang baru saja memenuhi ruangan.Begitu Adrian menutup pintu, ia mendapati ibunya, Rima, berdiri di ujung lorong. Wajah Rima menunjukkan raut serius, jelas bahwa ia telah mendengar sebagian besar pembicaraan di dalam kamar. Ia menyandarkan diri di dinding dengan sikap tenang.“Kalau kamu memang ada hubungan dengan Luna,” kata Rima tanpa basa-basi, “Mama tidak akan keberatan. Bahkan… Mama pikir Luna itu jauh lebih baik daripada Gita.”Mendengar ucapan itu, Adrian merasa terkejut. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya, ia langsung menegur, “Ma!” Suaranya bernada kaget dan sedikit tajam, seolah ingin menegaskan bahwa ucapannya tadi tidak sepatutnya keluar. Namun, Rima tetap tenang, menatapnya seola

    Last Updated : 2024-11-05

Latest chapter

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 63. Putus Asa

    Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 62. Menjenguk dari Kejauhan

    Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 61. Kenyataan Pahit

    Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 60. Nama Penyemangat

    Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 59. Status Istri

    Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 58. Keputusan Realistis

    Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 57. Parasit

    Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 56. Firasat

    Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 55. Penyesalan

    Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje

DMCA.com Protection Status