Setelah keributan di pesta keluarga Adrian, perjalanan pulang menjadi begitu sunyi. Dalam mobil yang melaju dalam gelap, hanya suara mesin yang terdengar, seolah ikut menjaga jarak di antara mereka. Adrian memfokuskan pandangannya ke jalan, sementara Gita memandangi jendela, mencoba menyatukan pikirannya yang terpecah.
Akhirnya, Gita menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memecah keheningan. "Adrian, gimana kalau kita coba ke dokter? Setidaknya, kita bisa tahu ada yang salah atau nggak, atau mungkin...," ucapnya ragu, takut respons yang akan ia dapatkan.
Sebelum Gita sempat melanjutkan, Adrian memotongnya dengan suara datar, “Gita, kita kan baru menikah setahun. Kenapa harus terburu-buru? Seperti yang aku bilang tadi, kita masih punya waktu.”
Jawaban Adrian menghantamnya seperti angin dingin. Dada Gita terasa sesak. “Jadi menurut kamu, nggak perlu, ya? Semua yang dikatakan orang di pesta tadi menurutmu nggak penting?” Suaranya lirih, getir, penuh dengan kekecewaan yang ia tahan.
Tanpa sedikit pun menoleh, Adrian hanya menatap lurus ke depan. “Itu bukan soal penting atau nggak penting. Aku cuma nggak mau kita terbawa suasana. Kita bisa jalanin ini tenang-tenang aja, tanpa pusingin omongan orang.”
Gita terdiam. Rasanya seperti usahanya sia-sia, pendapatnya seakan tidak berarti. Mobil berhenti di garasi, dan begitu mesin dimatikan, Gita turun tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adrian. Tanpa bicara, ia langsung masuk ke kamar, meninggalkan Adrian yang hanya berdiri sejenak, menatap kepergiannya dengan pandangan lelah.
Di kamar, Gita duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Percakapan tadi hanya membuatnya merasa semakin sendirian. Ia bertanya-tanya: Apakah aku berlebihan? Atau Adrian yang benar-benar nggak peduli?
**
Pagi itu, udara dingin menyelimuti mereka, menambah jarak yang entah bagaimana terasa makin lebar. Di tempat tidur, sisi Adrian tetap rapi. Sepanjang malam, ia menghabiskan waktu di ruang kerja, sementara Gita terjaga, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Di dapur, Gita mulai menyiapkan sarapan, mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menyiapkan omelet keju dan roti panggang, makanan favorit Adrian. Ia ingin sarapan ini menjadi momen untuk meredakan ketegangan, sekadar memulai percakapan. Dengan harap-harap cemas, Gita menyusun piring, secangkir kopi, dan napkin kecil di sampingnya, berharap Adrian bisa duduk dan bicara barang sejenak.
Tak lama, terdengar langkah kaki Adrian. Gita menoleh, hati berdebar-debar, tetapi Adrian sudah rapi dengan kemeja kerjanya, wajahnya terlihat sibuk dan penuh pikiran. Tanpa melirik sarapan yang disiapkan, ia meraih kopi yang disediakan Gita.
“Aku harus pergi, ada rapat penting pagi ini,” katanya singkat, matanya melirik jam di pergelangan tangannya, seakan-akan menit setiap detiknya terlalu berharga untuk disia-siakan.
Hati Gita mencelos. Semua perhatian yang ia curahkan terasa tak berarti. “Kenapa nggak sarapan dulu? Sebentar aja,” pintanya, nyaris dalam bisikan yang hampir tak terdengar.
Adrian hanya menggeleng pelan, menyeduh kopi seadanya. “Nanti pesan di kantor aja.”
Suara pintu yang tertutup membuat Gita tetap berdiri di dapur, memandang piring sarapan yang seakan jadi saksi kebisuan dan kecewa yang menumpuk di dadanya. Matanya panas. Rasa sayangnya yang ia tuangkan dalam sarapan itu tak satu pun disentuh. Perlahan, ia mengemasi makanan itu dalam kotak, perasaannya ikut terbungkus di dalamnya.
Dengan langkah pelan, Gita menuju kantor Adrian, kotak sarapan itu kini terasa berat di tangannya. Sesampainya di gedung kantor, ia menuju lantai tempat Adrian bekerja. Di depan lift, ia bertemu Hendri, asisten Adrian.
“Bu Gita … selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Hendri dengan nada sopan namun sedikit tergesa.
Gita tersenyum samar. "Pagi, Hendri. Pak Adrian ada di ruangannya?"
Raut Hendri tampak canggung sejenak sebelum menjawab. “Maaf, Bu. Pak Adrian sedang rapat di luar kantor, di restoran dekat sini bersama … klien.”
“Kok rapatnya di luar? Klien-nya siapa?” Gita bertanya, rasa ingin tahunya bercampur cemas.
Hendri menjawab pelan, “Kliennya, Bu Luna.”
Senyuman Gita memudar. Nama itu bukanlah nama yang asing, Luna wanita yang dulu sempat dianggap cocok oleh ibu Adrian untuk menjadi menantunya, sosok masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang dari pembicaraan keluarga Adrian.
Ingatannya melayang ke pesta tadi malam, saat ada bisik-bisik keluarga tentang Luna, bagaimana ia adalah sosok sempurna yang dulu sempat diharapkan sebagai pendamping Adrian. Satu hal yang tak pernah ia pikirkan menjadi masalah, kini mendadak terasa begitu nyata, begitu dekat.
“Luna?” tanya Gita tanpa sadar, suaranya nyaris tertelan oleh keraguannya sendiri.
Hendri mengangguk canggung. “Iya, Bu. Tapi … ini rapat bisnis, benar-benar rapat bisnis,” ucapnya, seolah memahami situasi yang pernah terjadi di keluarga bosnya itu.
Gita mengangguk kecil, tapi pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Mengapa harus bertemu Luna? Mengapa di luar kantor? Mungkinkah ada hal lain yang belum ia ketahui?
Ia berdiri diam di depan lift, menatap bungkusan sarapan yang ia bawa penuh harapan pagi tadi, kini terasa kosong, mewakili perasaannya yang sama hampa. Dilema mulai merambati benaknya, ingin sekali ia langsung bertanya pada Adrian, tapi ada sesuatu yang menahannya.
Rasa takut dan sakit hati bertumpuk dalam dirinya, namun Gita tetap berdiri di sana, menggenggam kotak sarapan yang ia siapkan dengan hati-hati, seakan menggenggam sisa-sisa harapan akan perhatian suaminya yang kini terasa semakin menjauh.
Setelah pulang dengan hati berat karena gagal bertemu Adrian di kantor, Gita akhirnya menepi di pos satpam kompleks. Pak Maman yang sedang berjaga menerima kotak sarapan yang sejak tadi digenggamnya dengan wajah penuh syukur.Namun, kehangatan kecil itu segera terhapus begitu Gita tiba di rumah. Di ruang tamu, ibunya, Rima, dan Mayang, sepupu Adrian, sudah menunggunya dengan tatapan dingin. Gita berusaha menahan perasaannya, tapi tatapan tajam Rima seakan menembus hatinya yang sudah rapuh.“Dari mana saja kamu?” Rima bertanya, suaranya sedingin es.Gita menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dari kantor Adrian, Ma. Saya tadi mengantarkan sarapan.”Mayang tertawa kecil, ada nada ejekan yang menyayat di balik suaranya. “Istri yang baik, ya. Tapi, Gita, dalam keluarga ini, peran seorang istri dianggap lengkap kalau sudah bisa memberi keturunan.”Kata-kata Mayang menusuk seperti pisau, membuat dada Gita terasa sesak. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan berakhir dengan tunt
Pagi itu, Gita terbangun lebih dahulu. Sisa kehangatan dari malam yang mereka lalui masih terasa, dan kini ia mendapati dirinya berada di samping Adrian, yang masih tertidur lelap. Dalam diam, Gita memperhatikan wajah Adrian—wajah yang selalu membuatnya merasa hangat. Gita mengagumi garis rahang tegas suaminya, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang, meski terkatup, menyiratkan senyuman samar. Ketampanan Adrian selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat Gita merasa beruntung sekaligus takut kehilangan.Saat sedang asyik memperhatikan, Adrian tiba-tiba bergerak dan mata Adrian perlahan terbuka. Ia tampak sedikit bingung, sejenak terdiam sebelum akhirnya tersadar di mana dirinya berada. “Gita?” bisiknya sambil terduduk, masih terlihat sedikit bingung.“Sudah bangun?” Gita menyapa dengan senyum kecil.Adrian mengerjapkan mata, kemudian bertanya dengan suara serak khas pagi hari, “Siapa yang mengantarku pulang tadi malam?”Gita menjawab lembut, “Hendri yang antar.”Mendengar jawaban
Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.Adrian berjalan ke arah pintu.“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin
Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian. Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, men
Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber
Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang
Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup
Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na
Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma
Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per