Cahaya pagi menerobos jendela dapur, menerangi meja sarapan yang tertata rapi. Gita duduk di seberang Adrian, menatap piring rotinya yang nyaris tak tersentuh. Pikirannya terpusat pada satu hal yang telah ia pertimbangkan berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya.
“Adrian,” Gita membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, “aku ingin kita bicara soal... rencana kita punya anak.”
Adrian yang tengah membaca tablet sambil menyeruput kopi, melirik sekilas ke arahnya. “Hmm? Maksud kamu apa?” tanyanya, setengah tertarik namun lebih sibuk dengan berita bisnis di layar.
Gita menelan rasa gugupnya. “Kita sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin kita bisa periksa ke dokter. Kita berdua. Bareng-bareng.”
Adrian menghentikan aktivitasnya, menurunkan tablet, dan menatap Gita dengan sedikit heran. “Periksa? Kamu serius, Gita?”
Gita mengangguk. “Iya. Aku pikir, ini langkah yang tepat. Kita gak pernah tahu kalau gak coba. Mungkin ada sesuatu yang harus diperiksa, atau setidaknya kita bisa tahu kondisi kita.”
Adrian menghela napas, meletakkan cangkir kopinya. “Aku sibuk, Gita. Kamu tahu itu. Jadwalku penuh dengan rapat, proyek, dan perjalanan bisnis. Aku gak punya waktu buat ke dokter untuk hal-hal yang... nggak perlu.”
Gita merasa dadanya mulai sesak. “Adrian, kalau kita serius ingin punya anak, harusnya ini jadi prioritas. Kalau kamu mau, pasti kamu bisa atur waktu untuk periksa bareng-bareng.”
Adrian tertawa kecil, meski tak ada humor di matanya. “Gita, kamu gak tahu aja betapa sibuknya aku. Setiap hari aku bekerja keras supaya kita bisa hidup nyaman. Kamu tahu, semua yang kita punya sekarang butuh pengorbanan. Dan sekarang kamu mau aku berhenti sejenak dari semua itu cuma buat periksa ke dokter yang belum tentu ada hasilnya?”
“Aku nggak minta kamu berhenti dari pekerjaan, Adrian,” Gita menjawab, suaranya mulai meninggi sedikit. “Aku cuma minta kamu meluangkan waktu. Kita berdua. Ini bukan cuma soal kamu atau aku. Ini soal kita berdua.”
Adrian menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya berubah dingin. “Lucu, ya. Jadi sekarang aku yang salah? Aku yang nggak berusaha cukup keras untuk ini?” tanyanya, nadanya berubah tajam. “Padahal selama ini, siapa yang sering sibuk ikut acara ini-itu? Siapa yang sering nggak di rumah? Kamu juga punya kesibukan sendiri, Gita. Jangan seolah-olah cuma aku yang nggak peduli.”
Gita tertegun, tak menyangka Adrian bisa membalikkan situasi secepat itu. “Aku bukan bilang kamu salah, tapi...”
“Tapi apa?” Adrian memotong. “Kalau kamu merasa ada yang salah, mungkin kamu yang perlu lebih introspeksi. Bukannya malah nyuruh aku periksa seolah ini semua tanggung jawabku.”
Gita merasakan perutnya mengencang karena kesal yang tertahan. “Adrian, aku nggak nyuruh kamu periksa sendirian. Aku mau kita periksa bareng-bareng. Ini masalah kita bersama.”
Adrian menyipitkan mata, menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat Gita merasa semakin kecil. “Dengar, Gita. Aku nggak ada waktu buat hal-hal yang nggak pasti kayak gini. Kalau kamu punya waktu luang buat mikirin ini, mungkin kamu yang kurang sibuk.”
Rasa bersalah tiba-tiba menyelimuti Gita, meskipun ia tahu seharusnya tidak begitu. Adrian dengan mudah memutar balikkan situasi, membuat seolah-olah Gita yang tidak memahami posisinya sebagai istri. Pagi yang awalnya tenang berubah menjadi sarapan yang penuh ketegangan.
Adrian kembali meneguk kopinya, seolah pembicaraan itu sudah selesai, lalu mengambil tablet lagi. “Aku harus pergi sekarang. Ada rapat penting,” katanya, bangkit dari kursinya dan meninggalkan Gita yang masih terpaku di meja, merasa semakin kecil dan tak berdaya.
Gita berdiri diam sejenak di depan meja makan setelah Adrian pergi. Suasana rumah terasa begitu sunyi, seolah-olah beban yang baru saja dilontarkan Adrian menghantamnya lebih keras daripada yang ia sangka. Dengan gerakan perlahan, Gita mulai mengemasi piring di meja. Setiap suara piring yang bertemu dengan porselen terdengar jelas di tengah keheningan yang menyesakkan.
Langkah kaki lembut mendekat dari arah dapur. Lasmi, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja bersama keluarga itu selama beberapa tahun. Melihat Gita yang mengemasi meja dengan wajah sendu, Lasmi pun segera menghampiri.
“Biarkan saya saja yang beresin, Bu Gita,” kata Lasmi dengan lembut, menawarkan diri untuk menggantikan Gita yang terlihat terlalu lelah secara emosional.
Gita tersenyum kecil, walau jelas penuh kepedihan. “Terima kasih, Lasmi. Tapi nggak apa-apa, biar aku saja yang beresin.”
Lasmi memperhatikan wajah majikannya sejenak, merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Gita. Setelah beberapa detik hening, Lasmi mendekati Gita, menawarkan kata-kata penghiburan yang sederhana namun tulus. “Soal anak, Mbak... kalau sudah rezekinya, pasti dikasih kok. Mungkin belum waktunya saja.”
Gita mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya walau hatinya masih terasa berat. “Iya, Lasmi... semoga begitu.” Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Kata-kata Lasmi memang baik dan tulus, namun rasanya tidak cukup untuk menghapus perasaan bersalah yang terus menghantuinya setelah percakapan dengan Adrian.
Setelah beberapa saat terdiam, Gita akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu. “Aku pamit dulu ya, Lasmi. Mau ke rumah sakit,” ujarnya, sambil merapikan sisa-sisa sarapan.
Lasmi mengangguk dengan penuh pengertian. “Iya, Mbak. Hati-hati di jalan,” jawabnya, memperhatikan majikannya berlalu dengan langkah yang tampak berat namun berusaha tegar.
Gita melangkah keluar dari rumah. Saat ia hendak masuk ke mobilnya, sebuah mobil lain muncul dan berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian, pintu belakang mobil dibuka oleh seorang sopir yang dengan penuh hormat mempersilakan penumpang keluar.
Rima, ibu Adrian, turun dari mobil dengan langkah tenang. Pakaian rapi dan elegannya selalu terlihat pas, tanpa berlebihan. Gita menunggu sejenak, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih gelisah setelah percakapan dengan Adrian pagi tadi.
“Mama,” sapa Gita, sedikit terkejut namun tetap sopan. “Tumben datang pagi-pagi?”
Rima menatap Gita sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kebetulan ada urusan dekat sini, jadi mampir sebentar,” jawabnya singkat. “Kamu sendiri, mau ke mana?” tanyanya.
Gita merapikan sedikit rambutnya yang tertiup angin, berusaha tetap tenang saat menjawab. “Aku rencana mau ke rumah sakit, Ma. Ke dokter kandungan. Sudah lama aku dan Adrian mencoba, tapi belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin lebih baik periksa untuk tahu apakah ada yang perlu diperhatikan, supaya aku bisa tahu penyebabnya.”
Gita tersenyum kecil, meskipun hatinya sedikit gugup. “Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”
Rima memandang Gita dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum lebih lebar namun dengan nada yang menusuk. “Oh? Ke rumah sakit? Ya sudah, pergi saja. Kamu memang harus berusaha semaksimal mungkin kalau ingin cepat punya anak.”
Gita terdiam sejenak, merasakan tekanan dari ucapan Rima. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat Gita merasa semakin kecil. Namun sebelum Gita bisa merespons, Rima melanjutkan, suaranya lebih rendah tapi tetap tajam.
“Adrian itu anak saya satu-satunya, Gita,” kata Rima, langkahnya mendekat sedikit ke arah Gita, meskipun senyumnya masih terpampang. “Dan saya sangat ingin punya cucu. Kamu sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Kalau kamu nggak bisa kasih cucu, lebih baik Adrian menceraikan kamu... dan menikah dengan wanita yang nggak mandul.”
Kata-kata Rima meluncur keluar dengan halus namun beracun. Gita merasakan dadanya sesak, seolah kalimat itu menekan seluruh oksigen dari paru-parunya. Ia tahu, Rima tidak main-main. Dalam keluarga besar Adrian, warisan dan keturunan adalah hal penting, dan ucapan ini seperti ultimatum yang dingin dan kejam.
Gita tiba di rumah sakit, berjalan melewati koridor menuju bagian obstetri dan ginekologi. Tujuannya kali ini adalah dokter kandungan, bagian yang sudah lama ia pikirkan untuk dikunjungi namun selalu tertunda karena keraguan dan alasan-alasan lain. Ruangan itu dipenuhi oleh para wanita yang juga menunggu giliran, beberapa di antaranya tampak bersama pasangan mereka. Gita merasa sedikit canggung melihat suasana ini, terutama karena ia datang sendirian.Setelah mendaftar di loket, ia mengisi formulir pasien baru. Suasana di sekitarnya cukup sibuk, namun Gita mencoba fokus pada apa yang akan ia hadapi. Setelah menyerahkan formulir kepada petugas, Gita duduk di ruang tunggu, matanya mengamati layar yang menampilkan nomor antrian. Perasaan cemas kembali menghantuinya, terutama setelah diskusi tegang dengan Adrian pagi ini.Beberapa menit kemudian, namanya dipanggil oleh resepsionis. “Ibu Gita, silakan ke ruang pemeriksaan,” kata petugas dengan senyum ramah.Dengan perasaan campur aduk, Git
Adrian dan Silvy masuk ke sebuah kafe modern yang suasananya tenang, dengan meja-meja kecil berjejer rapi dan aroma kopi yang menyegarkan. Setelah memesan makanan, mereka duduk di pojok ruangan, agak jauh dari pengunjung lain, memberi sedikit privasi bagi percakapan mereka.Adrian tampak lebih rileks sekarang, meskipun pikirannya masih penuh dengan berbagai hal yang mengganggunya. Sementara itu, Silvy duduk dengan tenang, menatap Adrian dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Ia menyilangkan kakinya dengan anggun dan mulai berbicara.“Belakangan ini Bapak kelihatan sibuk banget,” ujar Silvy dengan nada lembut. “Kayak ada banyak yang dipikirkan. Saya bisa bantu apa, Pak?”Adrian menghela napas panjang, tersenyum tipis sebelum menjawab. “Iya, banyak hal. Bisnis, proyek, dan... ya, hal-hal lain di rumah,” jawabnya, seolah menyinggung sesuatu yang lebih dalam.Silvy menangkap nada itu, dan seperti biasa, ia tahu kapan harus berbicara dan kapan hanya mendengarkan. “Bapak bisa cerita, ka
Gita kembali ke rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sudah menjalani rangkaian pemeriksaan beberapa hari lalu, dan hari ini adalah momen penting—mendengarkan hasilnya. Suasana di ruang tunggu terasa ramai, tapi Gita seolah tak bisa fokus pada apa pun selain pikirannya sendiri. Jantungnya berdebar cepat, tangannya sedikit gemetar saat ia meremas ponsel di pangkuannya, berharap hasil yang akan didengar nanti memberi kelegaan.Setelah beberapa menit menunggu, namanya dipanggil. Gita menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan Naufal. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada beban yang tak terlihat di setiap langkah. Sesampainya di pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk.Naufal sudah duduk di balik mejanya, memeriksa hasil pemeriksaan Gita. Wajahnya tetap tenang, seperti seorang dokter yang siap memberikan penjelasan profesional. Saat melihat Gita masuk, Naufal tersenyum tipis. “Gita, silakan duduk.”Gita duduk, berusaha me
Gita memperbaiki rambutnya yang terurai, berusaha tetap tenang di balik gaun elegan berwarna merah marun yang dipilihkan oleh Adrian. Malam itu, mereka menghadiri acara ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian, sebuah pesta megah yang penuh dengan kemewahan. Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima, dan lantunan musik orkestra membalut ruangan dengan suasana glamor.Adrian tampak tenang di sampingnya, sesekali berbicara dengan kerabatnya tentang proyek bisnis terbaru. Di tengah keramaian ini, Gita merasa semakin kecil, berdiri sedikit menjauh sambil menahan perasaan asing yang mulai merayap di dadanya.“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Suara tajam itu datang dari Sarah— tante dari Adrian, wanita berusia 50-an dengan gaun berkilau. Tawanya terdengar lepas, tapi pertanyaannya menusuk tepat di hati Gita. “Buruan kasih anak buat Bima. Mamanya pasti sudah pengen punya cucu.”Senyuman kaku mengembang di wajah Gita, sebuah senyuman yan