Share

Bab 2. Perdebatan di Meja Makan

Cahaya pagi menerobos jendela dapur, menerangi meja sarapan yang tertata rapi. Gita duduk di seberang Adrian, menatap piring rotinya yang nyaris tak tersentuh. Pikirannya terpusat pada satu hal yang telah ia pertimbangkan berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya.

“Adrian,” Gita membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, “aku ingin kita bicara soal... rencana kita punya anak.”

Adrian yang tengah membaca tablet sambil menyeruput kopi, melirik sekilas ke arahnya. “Hmm? Maksud kamu apa?” tanyanya, setengah tertarik namun lebih sibuk dengan berita bisnis di layar.

Gita menelan rasa gugupnya. “Kita sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin kita bisa periksa ke dokter. Kita berdua. Bareng-bareng.”

Adrian menghentikan aktivitasnya, menurunkan tablet, dan menatap Gita dengan sedikit heran. “Periksa? Kamu serius, Gita?”

Gita mengangguk. “Iya. Aku pikir, ini langkah yang tepat. Kita gak pernah tahu kalau gak coba. Mungkin ada sesuatu yang harus diperiksa, atau setidaknya kita bisa tahu kondisi kita.”

Adrian menghela napas, meletakkan cangkir kopinya. “Aku sibuk, Gita. Kamu tahu itu. Jadwalku penuh dengan rapat, proyek, dan perjalanan bisnis. Aku gak punya waktu buat ke dokter untuk hal-hal yang... nggak perlu.”

Gita merasa dadanya mulai sesak. “Adrian, kalau kita serius ingin punya anak, harusnya ini jadi prioritas. Kalau kamu mau, pasti kamu bisa atur waktu untuk periksa bareng-bareng.”

Adrian tertawa kecil, meski tak ada humor di matanya. “Gita, kamu gak tahu aja betapa sibuknya aku. Setiap hari aku bekerja keras supaya kita bisa hidup nyaman. Kamu tahu, semua yang kita punya sekarang butuh pengorbanan. Dan sekarang kamu mau aku berhenti sejenak dari semua itu cuma buat periksa ke dokter yang belum tentu ada hasilnya?”

“Aku nggak minta kamu berhenti dari pekerjaan, Adrian,” Gita menjawab, suaranya mulai meninggi sedikit. “Aku cuma minta kamu meluangkan waktu. Kita berdua. Ini bukan cuma soal kamu atau aku. Ini soal kita berdua.”

Adrian menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya berubah dingin. “Lucu, ya. Jadi sekarang aku yang salah? Aku yang nggak berusaha cukup keras untuk ini?” tanyanya, nadanya berubah tajam. “Padahal selama ini, siapa yang sering sibuk ikut acara ini-itu? Siapa yang sering nggak di rumah? Kamu juga punya kesibukan sendiri, Gita. Jangan seolah-olah cuma aku yang nggak peduli.”

Gita tertegun, tak menyangka Adrian bisa membalikkan situasi secepat itu. “Aku bukan bilang kamu salah, tapi...”

“Tapi apa?” Adrian memotong. “Kalau kamu merasa ada yang salah, mungkin kamu yang perlu lebih introspeksi. Bukannya malah nyuruh aku periksa seolah ini semua tanggung jawabku.”

Gita merasakan perutnya mengencang karena kesal yang tertahan. “Adrian, aku nggak nyuruh kamu periksa sendirian. Aku mau kita periksa bareng-bareng. Ini masalah kita bersama.”

Adrian menyipitkan mata, menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat Gita merasa semakin kecil. “Dengar, Gita. Aku nggak ada waktu buat hal-hal yang nggak pasti kayak gini. Kalau kamu punya waktu luang buat mikirin ini, mungkin kamu yang kurang sibuk.”

Rasa bersalah tiba-tiba menyelimuti Gita, meskipun ia tahu seharusnya tidak begitu. Adrian dengan mudah memutar balikkan situasi, membuat seolah-olah Gita yang tidak memahami posisinya sebagai istri. Pagi yang awalnya tenang berubah menjadi sarapan yang penuh ketegangan.

Adrian kembali meneguk kopinya, seolah pembicaraan itu sudah selesai, lalu mengambil tablet lagi. “Aku harus pergi sekarang. Ada rapat penting,” katanya, bangkit dari kursinya dan meninggalkan Gita yang masih terpaku di meja, merasa semakin kecil dan tak berdaya.

Gita berdiri diam sejenak di depan meja makan setelah Adrian pergi. Suasana rumah terasa begitu sunyi, seolah-olah beban yang baru saja dilontarkan Adrian menghantamnya lebih keras daripada yang ia sangka. Dengan gerakan perlahan, Gita mulai mengemasi piring di meja. Setiap suara piring yang bertemu dengan porselen terdengar jelas di tengah keheningan yang menyesakkan.

Langkah kaki lembut mendekat dari arah dapur. Lasmi, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja bersama keluarga itu selama beberapa tahun. Melihat Gita yang mengemasi meja dengan wajah sendu, Lasmi pun segera menghampiri.

“Biarkan saya saja yang beresin, Bu Gita,” kata Lasmi dengan lembut, menawarkan diri untuk menggantikan Gita yang terlihat terlalu lelah secara emosional.

Gita tersenyum kecil, walau jelas penuh kepedihan. “Terima kasih, Lasmi. Tapi nggak apa-apa, biar aku saja yang beresin.”

Lasmi memperhatikan wajah majikannya sejenak, merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Gita. Setelah beberapa detik hening, Lasmi mendekati Gita, menawarkan kata-kata penghiburan yang sederhana namun tulus. “Soal anak, Mbak... kalau sudah rezekinya, pasti dikasih kok. Mungkin belum waktunya saja.”

Gita mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya walau hatinya masih terasa berat. “Iya, Lasmi... semoga begitu.” Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Kata-kata Lasmi memang baik dan tulus, namun rasanya tidak cukup untuk menghapus perasaan bersalah yang terus menghantuinya setelah percakapan dengan Adrian.

Setelah beberapa saat terdiam, Gita akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu. “Aku pamit dulu ya, Lasmi. Mau ke rumah sakit,” ujarnya, sambil merapikan sisa-sisa sarapan.

Lasmi mengangguk dengan penuh pengertian. “Iya, Mbak. Hati-hati di jalan,” jawabnya, memperhatikan majikannya berlalu dengan langkah yang tampak berat namun berusaha tegar.

Gita melangkah keluar dari rumah. Saat ia hendak masuk ke mobilnya, sebuah mobil lain muncul dan berhenti tepat di depan rumah. Tak lama kemudian, pintu belakang mobil dibuka oleh seorang sopir yang dengan penuh hormat mempersilakan penumpang keluar.

Rima, ibu Adrian, turun dari mobil dengan langkah tenang. Pakaian rapi dan elegannya selalu terlihat pas, tanpa berlebihan. Gita menunggu sejenak, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih gelisah setelah percakapan dengan Adrian pagi tadi.

“Mama,” sapa Gita, sedikit terkejut namun tetap sopan. “Tumben datang pagi-pagi?”

Rima menatap Gita sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kebetulan ada urusan dekat sini, jadi mampir sebentar,” jawabnya singkat. “Kamu sendiri, mau ke mana?” tanyanya.

Gita merapikan sedikit rambutnya yang tertiup angin, berusaha tetap tenang saat menjawab. “Aku rencana mau ke rumah sakit, Ma. Ke dokter kandungan. Sudah lama aku dan Adrian mencoba, tapi belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin lebih baik periksa untuk tahu apakah ada yang perlu diperhatikan, supaya aku bisa tahu penyebabnya.”

Gita tersenyum kecil, meskipun hatinya sedikit gugup. “Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”

Rima memandang Gita dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum lebih lebar namun dengan nada yang menusuk. “Oh? Ke rumah sakit? Ya sudah, pergi saja. Kamu memang harus berusaha semaksimal mungkin kalau ingin cepat punya anak.”

Gita terdiam sejenak, merasakan tekanan dari ucapan Rima. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat Gita merasa semakin kecil. Namun sebelum Gita bisa merespons, Rima melanjutkan, suaranya lebih rendah tapi tetap tajam.

“Adrian itu anak saya satu-satunya, Gita,” kata Rima, langkahnya mendekat sedikit ke arah Gita, meskipun senyumnya masih terpampang. “Dan saya sangat ingin punya cucu. Kamu sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Kalau kamu nggak bisa kasih cucu, lebih baik Adrian menceraikan kamu... dan menikah dengan wanita yang nggak mandul.”

Kata-kata Rima meluncur keluar dengan halus namun beracun. Gita merasakan dadanya sesak, seolah kalimat itu menekan seluruh oksigen dari paru-parunya. Ia tahu, Rima tidak main-main. Dalam keluarga besar Adrian, warisan dan keturunan adalah hal penting, dan ucapan ini seperti ultimatum yang dingin dan kejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status