Gita tiba di rumah sakit, berjalan melewati koridor menuju bagian obstetri dan ginekologi. Tujuannya kali ini adalah dokter kandungan, bagian yang sudah lama ia pikirkan untuk dikunjungi namun selalu tertunda karena keraguan dan alasan-alasan lain. Ruangan itu dipenuhi oleh para wanita yang juga menunggu giliran, beberapa di antaranya tampak bersama pasangan mereka. Gita merasa sedikit canggung melihat suasana ini, terutama karena ia datang sendirian.
Setelah mendaftar di loket, ia mengisi formulir pasien baru. Suasana di sekitarnya cukup sibuk, namun Gita mencoba fokus pada apa yang akan ia hadapi. Setelah menyerahkan formulir kepada petugas, Gita duduk di ruang tunggu, matanya mengamati layar yang menampilkan nomor antrian. Perasaan cemas kembali menghantuinya, terutama setelah diskusi tegang dengan Adrian pagi ini.
Beberapa menit kemudian, namanya dipanggil oleh resepsionis. “Ibu Gita, silakan ke ruang pemeriksaan,” kata petugas dengan senyum ramah.
Dengan perasaan campur aduk, Gita berdiri dan berjalan menuju ruangan tersebut. Setiap langkahnya terasa berat, pikiran tentang apa yang akan dia hadapi terus berputar di kepalanya. Saat ia tiba di depan pintu yang bertuliskan “Ruang Pemeriksaan Dr. Naufal Aryasatya, Sp.OG,” ia menarik napas panjang dan mengetuk pintu dengan hati-hati.
Begitu pintu terbuka, pandangan Gita langsung tertuju pada sosok pria yang duduk di balik meja dokter. Ruangan itu terang, dengan beberapa alat medis dan poster-poster anatomi wanita di dinding. Namun, perhatian Gita terpusat pada wajah dokter yang kini menatapnya dengan ekspresi kaget yang sama.
“Naufal?” Gita bergumam tak percaya. Awalnya, dia berpikir ini hanya kebetulan—bahwa nama dokter tersebut kebetulan sama dengan seseorang yang ia kenal. Tapi saat dia menatap lebih dalam, dia menyadari bahwa pria itu memang Naufal Aryasatya—teman lamanya yang dulu begitu dekat dengannya saat mereka masih kuliah.
“Naufal... Aku kira kamu masih di luar negeri?” Gita melanjutkan, masih terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini.
Naufal yang juga tampak terkejut, tersenyum kecil. “Gita... Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini. Ini benar-benar kebetulan.”
Naufal bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan untuk menyapa Gita. “Sudah lama sekali, Gita. Kamu apa kabar?”
Gita tersenyum, meskipun perasaan canggung masih sedikit terasa. “Iya, sudah lama banget. Aku baik-baik saja... kamu sendiri gimana? Kapan balik ke sini?”
Mereka duduk, dan Naufal menatap Gita dengan senyum yang hangat namun sedikit kaku. “Aku baru balik beberapa bulan lalu. Setelah selesai program di luar negeri, aku langsung pulang ke sini.”
Mereka berbicara santai, mencoba mengejar ketertinggalan kabar satu sama lain. Gita merasa sedikit nostalgia, mengingat bagaimana mereka dulu pernah sangat dekat. Namun, ada sesuatu yang membuatnya teringat pada hari penting dalam hidupnya.
“Aku ingat, kamu ke luar negeri di hari yang sama dengan pernikahanku,” Gita tersenyum, meski ada sedikit nada kecewa dalam suaranya. “Aku sempat kecewa banget waktu tahu kamu nggak bisa datang.”
Naufal tersenyum, tapi senyumnya berbeda—ada kepahitan yang tak bisa disembunyikan. “Iya, hari itu memang... sibuk banget,” jawabnya dengan nada yang sedikit mengendur.
Gita memperhatikan ekspresi wajahnya dengan cermat. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak terucapkan di balik senyum itu. “Kamu nggak apa-apa, Naufal?”
Naufal cepat-cepat merapikan dirinya, mencoba menjaga kesan profesional. “Nggak apa-apa. Mungkin cuma capek dikit,” katanya, sedikit mengelak sambil melirik kertas di mejanya.
Setelah menarik napas panjang, Naufal akhirnya mengubah topik pembicaraan dengan sikap yang lebih profesional. “Jadi, Gita... Apa yang bisa aku bantu? Kamu datang ke sini, berarti ada yang mau kamu konsultasikan?”
Gita tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Iya... aku butuh konsultasi soal kehamilan. Aku dan Adrian sudah lima tahun menikah, tapi belum juga punya anak. Aku merasa ada yang perlu diperiksa.”
Naufal menatap Gita dengan penuh perhatian, mengangguk pelan, lalu mulai berbicara dengan nada lebih serius, “Kita mulai dengan beberapa pemeriksaan dasar dulu ya, biar aku bisa tahu apa yang mungkin jadi penyebabnya.”
***
Di balik meja besar di kantornya yang modern, Adrian tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa proposal terbaru dari proyek properti yang sedang dikembangkan perusahaannya. Berkas-berkas penuh diagram arsitektur, laporan keuangan, dan jadwal pembangunan terpampang di layar laptopnya. Tangannya dengan cekatan mengetik beberapa catatan penting untuk rapat sore nanti—negosiasi dengan investor yang tidak bisa ditunda.
Ketukan lembut terdengar dari pintu. “Masuk,” ujar Adrian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Pintu terbuka perlahan, dan Silvy, sekretarisnya, melangkah masuk membawa berkas-berkas yang perlu ditandatangani. “Pak Adrian, ini berkas yang tadi Bapak minta, termasuk laporan perkembangan proyek hunian di kawasan Bintaro,” katanya, meletakkan dokumen-dokumen tersebut di meja Adrian dengan sikap profesional.
Adrian mengangguk sambil melirik berkas yang disodorkan Silvy. “Oh, ini yang buat presentasi sama investor besok, ya?” katanya, sembari meraih laporan yang berisi gambar perencanaan area perumahan dan kompleks apartemen yang sedang mereka kembangkan.
“Iya, Pak. Semua data sudah siap, tinggal dicek sebelum rapat,” jawab Silvy dengan senyum kecil.
Adrian membaca cepat beberapa poin penting dan menandatangani beberapa halaman. “Terima kasih, Silvy,” ucapnya, masih fokus pada pekerjaannya.
Silvy berdiri sejenak di sisi meja, tampak menunggu dengan sabar. “Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?”
Adrian mendongak, akhirnya menatap Silvy dengan tatapan yang lebih lama dari biasanya. Sejenak, suasana terasa berubah—bukan lagi hubungan atasan dan bawahan yang kaku. Silvy tersenyum tipis, hampir tidak terlihat, namun cukup untuk membuat Adrian sadar ada sesuatu yang berbeda. Hening beberapa detik sebelum ia menjawab.
“Tidak... tidak ada lagi,” kata Adrian dengan nada yang lebih rendah, namun tidak langsung memalingkan pandangan. Matanya tetap terarah ke Silvy, seolah mencari sesuatu yang tak pernah diungkapkan di antara mereka.
Silvy, tanpa melepaskan senyum tipisnya, melangkah perlahan menuju pintu. Namun, sebelum tangannya mencapai gagang pintu, ia berhenti. Menoleh kembali ke Adrian, suaranya terdengar lebih lembut namun penuh makna. “Kalau Bapak berubah pikiran... saya selalu di sini.”
Silvy melangkah keluar dari ruangan, pintu tertutup dengan suara pelan. Adrian tetap duduk di kursinya, tatapannya tertuju pada dokumen-dokumen properti di depannya, namun pikirannya tak lagi fokus pada angka-angka dan peta proyek yang memenuhi layar laptopnya.
Senyap beberapa saat, lalu ia melirik ke arah pintu yang baru saja ditutup Silvy. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, yang tidak bisa ia abaikan.
Adrian melihat ke jam tangan di pergelangan tangannya, lalu menghela napas. “Waktu istirahat.”
Pandangannya kembali pada laptop. Namun, bukannya melanjutkan pekerjaan, ia menutup laptopnya perlahan. Tatapannya sekali lagi mengarah ke pintu, lalu ke ponselnya yang tergeletak di meja.
Adrian meraih ponselnya, menggulir daftar kontak hingga menemukan nama Silvy. Jarinya berhenti sejenak di atas layar, mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan. Namun, tanpa banyak keraguan lagi, ia mengetuk layar dan mulai mengetik.
“Makan siang bareng? Ada tempat bagus dekat sini.”
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya saat pesan terkirim. Ia menyandarkan tubuh di kursi, menunggu balasan yang tak perlu waktu lama untuk datang.
Adrian dan Silvy masuk ke sebuah kafe modern yang suasananya tenang, dengan meja-meja kecil berjejer rapi dan aroma kopi yang menyegarkan. Setelah memesan makanan, mereka duduk di pojok ruangan, agak jauh dari pengunjung lain, memberi sedikit privasi bagi percakapan mereka.Adrian tampak lebih rileks sekarang, meskipun pikirannya masih penuh dengan berbagai hal yang mengganggunya. Sementara itu, Silvy duduk dengan tenang, menatap Adrian dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Ia menyilangkan kakinya dengan anggun dan mulai berbicara.“Belakangan ini Bapak kelihatan sibuk banget,” ujar Silvy dengan nada lembut. “Kayak ada banyak yang dipikirkan. Saya bisa bantu apa, Pak?”Adrian menghela napas panjang, tersenyum tipis sebelum menjawab. “Iya, banyak hal. Bisnis, proyek, dan... ya, hal-hal lain di rumah,” jawabnya, seolah menyinggung sesuatu yang lebih dalam.Silvy menangkap nada itu, dan seperti biasa, ia tahu kapan harus berbicara dan kapan hanya mendengarkan. “Bapak bisa cerita, ka
Gita kembali ke rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sudah menjalani rangkaian pemeriksaan beberapa hari lalu, dan hari ini adalah momen penting—mendengarkan hasilnya. Suasana di ruang tunggu terasa ramai, tapi Gita seolah tak bisa fokus pada apa pun selain pikirannya sendiri. Jantungnya berdebar cepat, tangannya sedikit gemetar saat ia meremas ponsel di pangkuannya, berharap hasil yang akan didengar nanti memberi kelegaan.Setelah beberapa menit menunggu, namanya dipanggil. Gita menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan Naufal. Langkah kakinya terasa berat, seperti ada beban yang tak terlihat di setiap langkah. Sesampainya di pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk.Naufal sudah duduk di balik mejanya, memeriksa hasil pemeriksaan Gita. Wajahnya tetap tenang, seperti seorang dokter yang siap memberikan penjelasan profesional. Saat melihat Gita masuk, Naufal tersenyum tipis. “Gita, silakan duduk.”Gita duduk, berusaha me
Gita memperbaiki rambutnya yang terurai, berusaha tetap tenang di balik gaun elegan berwarna merah marun yang dipilihkan oleh Adrian. Malam itu, mereka menghadiri acara ulang tahun pernikahan emas kakek dan nenek Adrian, sebuah pesta megah yang penuh dengan kemewahan. Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima, dan lantunan musik orkestra membalut ruangan dengan suasana glamor.Adrian tampak tenang di sampingnya, sesekali berbicara dengan kerabatnya tentang proyek bisnis terbaru. Di tengah keramaian ini, Gita merasa semakin kecil, berdiri sedikit menjauh sambil menahan perasaan asing yang mulai merayap di dadanya.“Gita, kapan nih kamu kasih kabar bahagia ke kita?!” Suara tajam itu datang dari Sarah— tante dari Adrian, wanita berusia 50-an dengan gaun berkilau. Tawanya terdengar lepas, tapi pertanyaannya menusuk tepat di hati Gita. “Buruan kasih anak buat Bima. Mamanya pasti sudah pengen punya cucu.”Senyuman kaku mengembang di wajah Gita, sebuah senyuman yan
Cahaya pagi menerobos jendela dapur, menerangi meja sarapan yang tertata rapi. Gita duduk di seberang Adrian, menatap piring rotinya yang nyaris tak tersentuh. Pikirannya terpusat pada satu hal yang telah ia pertimbangkan berulang kali dalam beberapa minggu terakhir. Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakannya.“Adrian,” Gita membuka suara, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, “aku ingin kita bicara soal... rencana kita punya anak.”Adrian yang tengah membaca tablet sambil menyeruput kopi, melirik sekilas ke arahnya. “Hmm? Maksud kamu apa?” tanyanya, setengah tertarik namun lebih sibuk dengan berita bisnis di layar.Gita menelan rasa gugupnya. “Kita sudah lima tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Aku pikir mungkin kita bisa periksa ke dokter. Kita berdua. Bareng-bareng.”Adrian menghentikan aktivitasnya, menurunkan tablet, dan menatap Gita dengan sedikit heran. “Periksa? Kamu serius, Gita?”Gita mengangguk. “Iya. Aku pikir, ini langkah yang tepat. Kita ga