Setelah pulang dengan hati berat karena gagal bertemu Adrian di kantor, Gita akhirnya menepi di pos satpam kompleks. Pak Maman yang sedang berjaga menerima kotak sarapan yang sejak tadi digenggamnya dengan wajah penuh syukur.
Namun, kehangatan kecil itu segera terhapus begitu Gita tiba di rumah. Di ruang tamu, ibunya, Rima, dan Mayang, sepupu Adrian, sudah menunggunya dengan tatapan dingin. Gita berusaha menahan perasaannya, tapi tatapan tajam Rima seakan menembus hatinya yang sudah rapuh.
“Dari mana saja kamu?” Rima bertanya, suaranya sedingin es.
Gita menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dari kantor Adrian, Ma. Saya tadi mengantarkan sarapan.”
Mayang tertawa kecil, ada nada ejekan yang menyayat di balik suaranya. “Istri yang baik, ya. Tapi, Gita, dalam keluarga ini, peran seorang istri dianggap lengkap kalau sudah bisa memberi keturunan.”
Kata-kata Mayang menusuk seperti pisau, membuat dada Gita terasa sesak. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan berakhir dengan tuntutan yang sama.
Rima akhirnya bicara, suaranya penuh ketegasan. “Mayang, sudah biarkan saja. Kalau Gita mau memberi cucu atau tidak, itu haknya. Tapi, kalau tidak, saya sudah siap mencarikan Adrian istri lain yang bisa melanjutkan garis keturunan keluarga ini.”
Gita mencoba menguatkan diri, menahan air mata yang mulai menggenang. Merasa dirinya terpojok, ia akhirnya memberanikan diri menjawab, “Kecuali Adrian yang menginginkannya, saya akan tetap menjadi istrinya, Ma.”
Ruang tamu seketika berubah tegang. Rima memicingkan mata, tidak menyangka Gita berani menentangnya. “Apa kamu bilang?”
Gita menatap ibu mertuanya dengan tatapan penuh keteguhan. “Saya ini masih istri Adrian, Ma. Rasanya kurang bijak kalau mama bicara seperti itu.”
Wajah Rima mengeras, lalu dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan beberapa kotak jamu dari tasnya dan meletakkannya keras-keras di meja. “Ini alasan saya ke sini,” katanya, suaranya penuh sindiran. “Jamu khusus kesuburan. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kamu hamil.”
Gita tercekat, kata-kata itu menghujam hatinya. Namun, ia hanya bisa menunduk, berusaha menahan air matanya.
Rima memandangnya dengan tatapan tajam, seolah ingin menekankan setiap kalimat yang diucapkannya. “Gita, jangan sampai Adrian terpaksa mencari wanita lain hanya demi memberikan saya seorang cucu. Saya sudah cukup bersabar selama ini.”
Gita menelan ludah, mencoba menjawab dengan suara pelan, “Ma, saya juga ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga ini. Tapi semua ini di luar kendali saya.”
Namun, Rima mendengus kecil, tidak menunjukkan simpati sedikit pun. “Sudah cukup alasan itu, Gita. Kalau kamu benar-benar peduli pada Adrian dan keluarga ini, kamu tidak akan tinggal diam seperti ini,” katanya dengan nada ketus, sebelum menoleh ke Mayang yang duduk di sampingnya. “Ayo, Mayang, kita pergi. Sudah cukup waktuku di sini.”
Mayang menatap Gita dengan tatapan puas, bibirnya tersungging senyum sinis. Sebelum pergi, ia berkata, “Jangan lupa minum jamu itu, Gita. Mungkin saja bisa membantu.”
Dengan dingin, Rima dan Mayang bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Gita mengantar mereka dengan langkah berat, tetapi ketika mereka sudah di ambang pintu, Rima menoleh kembali, kali ini dengan ekspresi lebih serius.
“Ini peringatan, Gita,” katanya, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh tekanan. “Aku sudah cukup memberi kesempatan. Jangan sia-siakan posisimu sebagai istri Adrian, atau kamu akan menyesal.”
Tanpa menunggu jawaban, Rima berbalik dan melangkah pergi bersama Mayang, meninggalkan Gita yang terdiam di ambang pintu. Rasa sakit dan hinaan yang ia rasakan begitu dalam, seolah perannya di keluarga Adrian hanya sebatas pada kemampuan untuk memberikan keturunan.
Gita duduk terdiam, menatap kotak-kotak jamu di atas meja. Hatinya berdenyut nyeri, dipenuhi amarah yang tertahan dan keputusasaan yang sulit ia hilangkan. Kata-kata Rima dan Mayang masih terngiang, membuat dadanya sesak. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya tetap gelisah.
Tanpa terasa, matahari mulai terbenam, hening malam seakan memperparah kesepiannya, sementara Gita masih terpekur memandangi beberapa botol jamu dari Ibu mertuanya. Ketika suara deru mobil terdengar di luar, mengusik sunyi yang melingkupi rumah, Gita tersadar dari lamunannya.
Langkahnya ringan menuju pintu. Begitu ia membukanya, pemandangan Adrian yang lemah bersandar pada Hendri menyambutnya. Wajah Adrian tampak pucat dan lelah, dengan aroma alkohol yang kuat menyertai kehadirannya.
“Bu Gita, maaf … Pak Adrian mabuk,” kata Hendri ragu-ragu, tampak bingung.
Gita menatap Adrian yang tampak kacau, hatinya mencelos. “Ada apa, Hendri? Kenapa Adrian bisa mabuk?”
Hendri terdiam sesaat, tampak memilih kata dengan hati-hati. “Pak Adrian tadi bertemu klien, tapi mungkin pertemuan bisnisnya berlanjut …”
Gita menahan keresahan di hatinya. “Terima kasih sudah antar Pak Adrian pulang, Hendri. Maaf merepotkan.”
Setelah Hendri berpamitan, Gita dengan hati-hati memapah Adrian ke kamar. Ketika ia mulai membuka kemeja Adrian, tiba-tiba pria itu terbangun dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Tanpa sepatah kata, Adrian menarik Gita lebih dekat, mengecup bibirnya perlahan. Kecupan itu menyimpan rasa yang tak pernah terucap, memecah segala jarak yang selama ini mereka simpan.
Gita terdiam, membiarkan diri larut dalam sentuhan yang penuh kerinduan. Rasa sakit, cinta, dan pengampunan melebur menjadi satu.
“Aku merindukanmu, istriku.” Adrian bergerak kasar melucuti pakaian Gita, seolah tidak sabar menanti surga kenikmatan yang akan menjemputnya.
Dan Gita hanya pasrah, berharap kali ini akan ada hasil di rumah tangganya.
Malam ini, mereka menemukan kembali kemesraan yang pernah hilang, seolah mencoba memperbaiki keretakan yang ada di antara mereka.
Pagi itu, Gita terbangun lebih dahulu. Sisa kehangatan dari malam yang mereka lalui masih terasa, dan kini ia mendapati dirinya berada di samping Adrian, yang masih tertidur lelap. Dalam diam, Gita memperhatikan wajah Adrian—wajah yang selalu membuatnya merasa hangat. Gita mengagumi garis rahang tegas suaminya, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang, meski terkatup, menyiratkan senyuman samar. Ketampanan Adrian selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat Gita merasa beruntung sekaligus takut kehilangan.Saat sedang asyik memperhatikan, Adrian tiba-tiba bergerak dan mata Adrian perlahan terbuka. Ia tampak sedikit bingung, sejenak terdiam sebelum akhirnya tersadar di mana dirinya berada. “Gita?” bisiknya sambil terduduk, masih terlihat sedikit bingung.“Sudah bangun?” Gita menyapa dengan senyum kecil.Adrian mengerjapkan mata, kemudian bertanya dengan suara serak khas pagi hari, “Siapa yang mengantarku pulang tadi malam?”Gita menjawab lembut, “Hendri yang antar.”Mendengar jawaban
Adrian membalikkan tubuhnya, agak kaget melihat Gita berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Adrian segera mematikan sambungan telepon di tangannya. Gita berusaha menguasai diri, tersenyum meski hatinya terasa hancur setelah mendengar pembicaraan Adrian dengan Luna. Rasa penasaran dan cemas bercampur di dalam benaknya, namun ia memilih untuk menenangkan diri, menjaga agar emosinya tidak terlihat.Adrian berjalan ke arah pintu.“Sarapan sudah siap,” kata Gita lembut, menyembunyikan getaran dalam suaranya.Adrian meraih jas yang tergantung di dekat pintu. “Maaf, Gita. Aku gak sempat sarapan. Nanti aku sarapan di kantor saja,” ucapnya sambil memakai jasnya agak terburu-buru. Kata-katanya terkesan datar, dan tanpa menunggu jawaban, Adrian menutup pintu dan mengambil kunci mobil dari atas meja.Sebelum beranjak pergi, ia mendekat dan mengecup bibir Gita singkat. Setelah Adrian pergi, Gita tetap berdiri di depan pintu, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Bibirnya masih terasa dingin
Gita duduk di ruang makan yang hening, hanya ditemani detak samar suara jam dinding. Hidangan sederhana yang ia siapkan hanya untuk dirinya sudah tersisa setengah. Adrian sudah pergi sejak sore tadi untuk menghadiri makan malam dengan rekan bisnisnya. Piring-piring bersih yang ia tata sebelumnya seolah menertawakan dirinya yang akhirnya makan sendirian. Di samping piringnya, kotak kecil berisi jamu kesuburan yang Rima tinggalkan kemarin. Tangan Gita terulur, merasakan ujung kotak itu. Ia menghela napas pelan, mencoba mencari keberanian untuk menyeduhnya. “Mungkin ini akan membantu,” gumamnya pada diri sendiri, walau hatinya meragu. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan air panas. Aroma jamu yang menyengat menyeruak saat ia menuangkannya ke dalam cangkir. Sekilas, terlintas di benaknya rasa getir setiap kali Rima mengungkit soal pewaris untuk Adrian, tekanan yang seolah-olah hanya ia yang harus memikulnya. Namun, harapannya—walau tipis—membuatnya menyesap sedikit demi sedikit, men
Di tengah perjalanan pulang, Gita tak bisa menyingkirkan rasa cemas. Meski dokter sudah meyakinkannya bahwa Hamid hanya mengalami patah tulang tanpa cedera serius lain, kekhawatiran tetap menyelimuti pikirannya. Gita pun membuka ponselnya, berniat mengabari Adrian. Ia berharap Adrian mengerti alasannya pergi secara mendadak untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Gita mengetik pesan singkat, ‘Adrian, tadi aku pergi ke rumah sakit karena Bapak kecelakaan. Sekarang sudah dalam perjalanan pulang.’ Namun, pesan itu hanya menunjukkan tanda centang satu—pertanda bahwa ponselnya mungkin sedang tidak aktif. Seketika rasa cemasnya bertambah. Bagaimana jika Adrian sudah sampai di rumah dan tidak menemukan dirinya? Gita tahu, dalam situasi rumah tangga yang kian tegang, hal-hal kecil seperti ini sering kali menjadi pemicu perselisihan yang lebih besar. “Rudi, bisa lebih cepat lagi?” pinta Gita dengan nada cemas, sementara tangannya masih menggenggam ponsel. Ia telah mencoba menelepon Adrian ber
Gita duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, mengingat hari-hari di mana ia dan Adrian bisa tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan jarak di antara mereka. Namun kini, perbincangan hangat itu terasa semakin langka, tergantikan dengan kesibukan Adrian yang seakan tak ada habisnya. Setiap kali ada kesempatan untuk berbincang, Adrian selalu tenggelam dalam layar tablet atau ponselnya, sibuk dengan pekerjaan yang entah kapan usainya.Gita memutuskan bahwa kali ini ia harus berbicara lebih serius dengan Adrian, menyinggung hasil pemeriksaannya di dokter dan membicarakan harapan yang ingin mereka bangun. Ketika Gita mulai membahas ini dengan Adrian, suaminya tampak tak sepenuhnya mendengarkan. Matanya sesekali menatap layar tablet yang terus menyala, membuat Gita merasa ia hanya berbicara sendiri.“Adrian…” suara Gita terdengar pelan. “Aku harap kamu bisa lebih serius menanggapi ini. Kita berdua sudah membahas rencana punya anak sejak lama.”Adrian menghela napas, menutup tablet di pang
Pagi itu, Gita sudah menyiapkan sarapan untuk Adrian—nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat. Ia berharap hari ini mereka bisa menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Saat Adrian turun ke meja makan, Gita menyambutnya dengan senyum.“Pagi, Dri,” sapanya penuh harap. “Hari ini kamu santai aja, kan? Gimana kalau kita jalan-jalan?”Adrian tersenyum kecil, “Boleh, udah lama nggak ada waktu buat berdua.”Gita merasa lega mendengar jawaban itu. Ia duduk di seberang Adrian dan mereka mulai menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Adrian berdering, memecah kehangatan yang sempat tercipta di antara mereka. Adrian memandang layar ponsel itu sesaat, sebelum mengangkat panggilan. “Halo?” Adrian menjawab, wajahnya semakin serius. Gita hanya bisa mendengar sebagian pembicaraan, tetapi cukup untuk menyadari siapa yang menelepon.“Iya, keadaan Mama sekarang gimana?” suara Adrian mulai terdengar cemas, membuat Gita ikut tegang.Setelah beberapa detik di telepon
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Rima diizinkan pulang. Adrian dan Gita segera membantu kepulangannya, memastikan semuanya sudah siap di rumah, terutama kamar dan segala kebutuhannya. Sesuai permintaan Rima sebelumnya, Adrian dan Gita telah memindahkan beberapa barang mereka, bersiap untuk tinggal sementara di rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Rima, suasana rumah tampak hening. Gita membantu Rima masuk ke kamarnya dengan perlahan, membantunya duduk di tempat tidur.“Gimana, Ma? Ada yang kurang nyaman?” Gita bertanya dengan lembut.Rima menggeleng, namun wajahnya datar. “Enggak, ini sudah cukup, Gita.”Adrian masuk kamar setelah mengambil segelas air untuk Rima. “Minumnya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung bilang, ya.”Rima mengangguk, menyesap air hangat itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, Adrian mendapat telepon dari kantornya. Ia tampak mendengarkan serius, lalu mengangguk berkali-kali sambil berkata, “Iya, baik, saya akan segera ke sana.”Setelah menutup
Gita terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, menyadari Adrian sudah tidak ada. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berharap bisa melihat suaminya untuk menyapanya pagi ini.Di lorong, ia berpapasan dengan Rima yang tengah berjalan santai dengan cangkir teh di tangan. Rima menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis, nada suaranya terdengar halus tapi menyiratkan sindiran, “Wah, akhirnya bangun juga. Adrian tadi sudah bangun pagi-pagi, lho. Langsung siap-siap.”Gita tersentak, menunduk sedikit sambil berusaha tersenyum. “Iya, Ma… maaf saya bangun kesiangan. Saya agak kurang sehat.”“Oh, iya?” Rima menatapnya singkat sebelum tersenyum tipis. “Ya, yang penting sekarang kamu sudah bangun, kan?” katanya, lalu berjalan menuju ruang tengah.Gita menelan perasaan tidak enaknya, lalu melangkah menuju dapur dengan niat membuat kopi dan sarapan untuk Adrian. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat Adrian sudah duduk di sofa d
Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya
Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber
Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga
Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.
Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,
Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa
Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad
Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg
Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje