All Chapters of Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir: Chapter 41 - Chapter 50

63 Chapters

Bab 41. Rencana Rima

Rima duduk di ruang tamunya dengan perasaan resah yang belum juga mereda. Merasa tidak ada yang bisa memahami kekesalannya terhadap situasi yang terjadi dengan Adrian dan Gita, Rima akhirnya mengambil ponselnya dan menekan nomor Luna. Dalam hitungan detik, telepon tersambung.“Luna, apa kamu sibuk?” tanya Rima dengan nada yang tampak menahan emosi.“Tidak, Tante. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Luna dengan perhatian.Rima langsung menghela napas panjang. “Adrian… dia benar-benar keras kepala. Dia tetap ingin mempertahankan Gita, meskipun tante sudah katakan berkali-kali kalau wanita itu hanya membawa masalah.”Luna mendengarkan dengan seksama. “Sabar, Tante. Adrian mungkin terlalu terbawa perasaan. Apalagi dengan keadaan Gita yang sekarang… tante bilang kan Gita hamil, kehamilan itu sepertinya membuatnya merasa harus bertanggung jawab.”Nada suara Rima semakin getir. “Dari awal, tante tak pernah yakin anak itu benar-benar darah daging Adrian.”Luna mendesah pelan, seolah ikut prihati
last updateLast Updated : 2024-11-30
Read more

Bab 42. Tindakan Nyata

Mobil Luna berhenti tepat di depan gerbang rumah Adrian. Joko yang sudah mengenal Luna dengan baik, segera membukakan pintu gerbang dan menyambutnya dengan sopan.“Selamat sore, Mbak Luna,” sapa Joko sambil tersenyum ramah.“Selamat sore, Mas Joko,” balas Luna dengan senyum elegan, sambil melangkah keluar dari mobil. Di tangannya ia membawa kantong kertas berisi oleh-oleh untuk Rima.Di dalam rumah, Rima yang mendengar suara mobil segera berdiri, melangkah cepat ke depan pintu. Begitu melihat Luna, senyumnya mengembang, menyiratkan rasa senang yang tidak ia sembunyikan.“Luna! Kamu bawa apa itu?” tanya Rima dengan suara ramah dan penuh antusias.“Oh, ini cuma oleh-oleh kecil, Tante,” jawab Luna sambil menyerahkan kantong itu. “Tadi pulang kerja, saya sempat mampir beli kue-kue yang Tante suka.”Rima menerima kantong itu dengan senang hati. “Kamu ini selalu perhatian,” pujinya dengan lembut. “Ayo, ayo masuk. Kita duduk di ruang tengah saja.”Rima menggandeng Luna ke dalam, memandu lang
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 43. Bertahan di Tengah Hinaan

Sore itu, Gita duduk di depan meja kecil yang sudah dipenuhi kue-kue dan camilan yang tertata rapi di depan rumah kontrakannya. Bolu kukus berwarna cerah, roti goreng, dan camilan anak-anak dalam kantong plastik kecil tersusun dengan apik. Gita menatap hasil jualannya dengan perasaan lega, senyumnya merekah ketika beberapa anak kecil di sekitar kontrakan mulai mendekat, tertarik melihat makanan yang menggiurkan di atas meja.Melihat mata anak-anak yang berbinar, Gita tersenyum lebar dan menyapa mereka dengan ramah, “Mau yang bolu kukus warna pink, atau roti gorengnya?” Salah satu anak menunjuk bolu kukus sambil tersenyum malu-malu, “Yang warna pink, Kak!” Gita tertawa kecil dan mengulurkan bolu itu, “Bolu pink ya! Boleh.”Anak-anak lain juga berseru, “Aku juga mau bolu yang itu, Kak!!”Gita memberikan bolu. “Boleh, sabar ya, dibungkus dulu.”Anak-anak itu terkikik senang, menyerahkan uang yang mereka kumpulkan, sambil mengobrol kecil satu sama lain. Gita melayani mereka dengan senyu
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Bab 44. Tak Ingin Kehilangan

Rima merogoh tas tangannya, mengambil segepok uang dan melemparkannya ke arah Gita dengan gerakan tajam. “Kalau kamu hanya mengharapkan uang, ambil ini!” katanya dengan nada dingin. Uang itu berhamburan, beberapa lembar jatuh tepat di depan Gita, dan satu dua lembar menimpa wajahnya, seolah menambah kehinaan yang sudah terasa menyesakkan.Para ibu-ibu di sekitar, yang sejak awal memandang Gita dengan curiga, kini semakin terpicu. Melihat uang bertebaran di tanah, mereka seolah tersulut emosi, menambahkan caci maki mereka dengan semangat. Salah seorang di antara mereka mengejek, “Lihat tuh! Seperti itu saja sudah puas, kan? Sudah jelas dia hanya mau uang!”“Perempuan tak tahu malu!” seru yang lain dengan geram. “Sudah ada main dengan pria lain, masih tidak mau pisah sama suaminya.”“Alasan hamil biar suami gak tega ninggalin dia, memalukan!”Komentar-komentar itu hanya semakin memperkeruh suasana, membuat beberapa ibu-ibu dengan kasar mengacak-acak dagangan kecil Gita. Mereka merobek k
last updateLast Updated : 2024-12-03
Read more

Bab 45. Bayinya Selamat

Di ruang gawat darurat, suasana tampak sibuk namun terkendali. Naufal, dengan sigap memimpin timnya menangani kondisi Gita yang tengah mengalami pendarahan. Di tengah proses itu, Gita, yang berbaring lemah dengan wajah cemas, memandang Naufal. “Fal, aku gak keguguran, kan? Bayiku selamat, kan?” tanya Gita dengan suara yang hampir berbisik, penuh rasa takut.Naufal menatapnya penuh perhatian, lalu menggenggam tangan Gita untuk memberinya ketenangan. “Bayimu masih bertahan, Gita. Kamu juga harus kuat, ya?” jawabnya menenangkan. Seorang perawat mengatur alat monitor dan mesin detak jantung bayi di samping tempat tidur Gita. Suara detak jantung yang kecil namun stabil terdengar, membuat Gita menarik napas lega. Naufal tetap memegang tangan Gita, memberi tanda bahwa kondisinya masih stabil. "Dengar itu?" katanya pelan, sembari menepuk tangan Gita. “Dia kuat, Gita. Jadi kamu juga harus kuat.”Setelah memasang infus dan memberikan obat yang diperlukan, Naufal terus memantau keadaan Gita da
last updateLast Updated : 2024-12-04
Read more

Bab 46. Memberi Ruang

Adrian tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa, langsung menuju ruang rawat di mana Gita beristirahat. Sesampainya di sana, ia mendapati Gita masih tertidur dengan wajah yang tampak lemah. Naufal duduk di sampingnya, memperhatikannya dengan penuh perhatian, seolah menjaga agar tidak ada yang mengganggunya.Melihat Adrian datang, Naufal berdiri. Dengan sikap tenang, ia mengisyaratkan Adrian untuk berbicara di luar, agar tidak mengganggu istirahat Gita. Adrian, yang sudah dipenuhi perasaan bersalah, hanya bisa mengangguk, mengikuti Naufal tanpa berkata-kata.Begitu mereka berada di luar ruangan, suasana langsung berubah. Wajah Naufal yang semula tenang kini menunjukkan ekspresi yang jauh berbeda—penuh kemarahan yang ditahan. “Berapa lama lagi kamu pikir Gita bisa bertahan seperti ini, Adrian?” kata Naufal dengan nada tajam, mengawali pembicaraan tanpa basa-basi. “Ini bukan pertama kalinya dia harus dirawat di rumah sakit karena tekanan yang dia alami, karena keluargamu!” Naufal
last updateLast Updated : 2024-12-05
Read more

Bab 47. Takut Kehilangan

Adrian melaju di jalan dengan kecepatan yang tak biasa. Kedua tangannya mencengkeram setir, dan tatapannya tertuju lurus ke depan, tapi bukan pandangan penuh perhatian—lebih seperti kosong dan hampa, tenggelam dalam pikiran yang tidak ada ujungnya. Ia tidak benar-benar memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang, lampu jalan yang menyala redup, atau pejalan kaki yang sesekali melintas. Di kepalanya, berputar satu per satu bayangan dari peristiwa-peristiwa yang baru saja ia alami.Sorot lampu jalan berpendar melintasi wajahnya yang penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Gita yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Hatinya terasa hancur, dan rasa bersalah seolah menusuknya berulang kali. Seandainya ia bisa memperbaiki keadaan, atau setidaknya bisa membiarkan Gita hidup dengan damai tanpa terjerat masalah yang terus menghantuinya. "Apa yang selama ini aku lakukan?" bisiknya dengan getir.Di balik semua penyesalan itu, ada kemarahan terhadap ibunya. Ia benar-benar tidak habis pikir,
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 48. Bahu untuk Bersandar

Naufal kembali ke kamar rawat Gita dengan langkah pelan, matanya tertumbuk pada sosok Gita yang sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya tampak serius, pandangannya lurus ke depan seolah sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Naufal memperhatikan raut wajahnya, lalu bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sudah bangun sejak tadi?”Gita mengangguk perlahan, sorot matanya sedikit sayu, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Naufal segera menyadari, mungkin Gita sudah mendengar percakapan emosionalnya dengan Adrian di luar tadi.Nafas Naufal tertahan sejenak, rasa bersalah menyelinap di wajahnya. Ia menunduk sebelum berkata dengan hati-hati, “Maaf… kalau tindakanku aku terlalu jauh, sampai mengusir Adrian tadi.” Ia menghela napas dalam-dalam, memilih kata-katanya. “Aku hanya… nggak ingin ada yang membuatmu tertekan lagi, terutama sekarang, saat kesehatan kamu dan bayimu harus benar-benar harus dijaga.”Gita tetap diam, tak menyela sedikit pun. Ekspresinya sulit ditebak, tapi sorot m
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Bab 49. Tangis Keputusan

Pagi hari sebelum ke kantor, Adrian berjalan menuju rumah sakit dengan langkah yang berat. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah keranjang buah-buahan, hadiah kecil untuk Gita yang terbaring di rumah sakit. Setibanya di depan pintu kamar rawat Gita, ia berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang mengisi setiap sudut hatinya. Tatapannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, tetapi ia ragu untuk masuk. Ada sesuatu yang menghalanginya, perasaan bersalah dan kebimbangan yang menghantuinya. Haruskah ia segera masuk dan menemui Gita? Ataukah ia harus menunggu sejenak, memberi ruang bagi Gita untuk mengatur perasaannya terlebih dahulu?Beberapa detik berlalu, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki sesekali dari orang-orang yang lewat. Lalu, tiba-tiba, suara Gita terdengar dengan lembut dari dalam kamar.“Dri?”Adrian tersentak, sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Ia menoleh dengan cepat, dan melihat Git
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

Bab 50. Keputusan Bercerai

Adrian berjalan masuk ke rumah dengan langkah berat, wajahnya terlihat lelah dan kusam setelah apa yang baru saja ia lalui. Melihat putranya pulang lebih awal dan tanpa mengenakan setelan kerjanya seperti biasa, Rima yang tengah duduk di ruang tamu langsung menatapnya dengan heran.“Kamu nggak jadi ke kantor, Adrian?” tanyanya sambil memperhatikan raut wajah putranya yang tampak tidak seperti biasanya.Adrian hanya menggeleng pelan, tak berhenti melangkah menuju kamarnya. “Aku capek, Ma. Mau istirahat sebentar,” jawabnya singkat, nyaris tanpa menatap ibunya.Rima memperhatikan langkah Adrian yang gontai, merasa ada yang tidak beres. “Kamu sakit? Nggak biasanya kamu tiba-tiba absen dari kantor begini,” lanjutnya, nada suaranya mencerminkan sedikit kekhawatiran.Adrian berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab tanpa berbalik. “Nggak, cuma capek,” ujarnya pelan. Rima akhirnya mengangguk, seolah mengiyakan keputusannya untuk membiarkan Adrian beristirahat. Namun, begitu Ad
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status