Naufal kembali ke kamar rawat Gita dengan langkah pelan, matanya tertumbuk pada sosok Gita yang sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya tampak serius, pandangannya lurus ke depan seolah sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Naufal memperhatikan raut wajahnya, lalu bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sudah bangun sejak tadi?”Gita mengangguk perlahan, sorot matanya sedikit sayu, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Naufal segera menyadari, mungkin Gita sudah mendengar percakapan emosionalnya dengan Adrian di luar tadi.Nafas Naufal tertahan sejenak, rasa bersalah menyelinap di wajahnya. Ia menunduk sebelum berkata dengan hati-hati, “Maaf… kalau tindakanku aku terlalu jauh, sampai mengusir Adrian tadi.” Ia menghela napas dalam-dalam, memilih kata-katanya. “Aku hanya… nggak ingin ada yang membuatmu tertekan lagi, terutama sekarang, saat kesehatan kamu dan bayimu harus benar-benar harus dijaga.”Gita tetap diam, tak menyela sedikit pun. Ekspresinya sulit ditebak, tapi sorot m
Pagi hari sebelum ke kantor, Adrian berjalan menuju rumah sakit dengan langkah yang berat. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah keranjang buah-buahan, hadiah kecil untuk Gita yang terbaring di rumah sakit. Setibanya di depan pintu kamar rawat Gita, ia berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang mengisi setiap sudut hatinya. Tatapannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, tetapi ia ragu untuk masuk. Ada sesuatu yang menghalanginya, perasaan bersalah dan kebimbangan yang menghantuinya. Haruskah ia segera masuk dan menemui Gita? Ataukah ia harus menunggu sejenak, memberi ruang bagi Gita untuk mengatur perasaannya terlebih dahulu?Beberapa detik berlalu, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki sesekali dari orang-orang yang lewat. Lalu, tiba-tiba, suara Gita terdengar dengan lembut dari dalam kamar.“Dri?”Adrian tersentak, sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Ia menoleh dengan cepat, dan melihat Git
Adrian berjalan masuk ke rumah dengan langkah berat, wajahnya terlihat lelah dan kusam setelah apa yang baru saja ia lalui. Melihat putranya pulang lebih awal dan tanpa mengenakan setelan kerjanya seperti biasa, Rima yang tengah duduk di ruang tamu langsung menatapnya dengan heran.“Kamu nggak jadi ke kantor, Adrian?” tanyanya sambil memperhatikan raut wajah putranya yang tampak tidak seperti biasanya.Adrian hanya menggeleng pelan, tak berhenti melangkah menuju kamarnya. “Aku capek, Ma. Mau istirahat sebentar,” jawabnya singkat, nyaris tanpa menatap ibunya.Rima memperhatikan langkah Adrian yang gontai, merasa ada yang tidak beres. “Kamu sakit? Nggak biasanya kamu tiba-tiba absen dari kantor begini,” lanjutnya, nada suaranya mencerminkan sedikit kekhawatiran.Adrian berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab tanpa berbalik. “Nggak, cuma capek,” ujarnya pelan. Rima akhirnya mengangguk, seolah mengiyakan keputusannya untuk membiarkan Adrian beristirahat. Namun, begitu Ad
Pagi itu, Gita bersiap-siap untuk pulang dari rumah sakit dengan ditemani Naufal. Ia sudah mengenakan pakaian kasual yang sederhana namun rapi, meski terlihat masih agak pucat. Gita berjalan menuju pintu keluar rumah sakit bersama Naufal yang sigap mendampinginya. Saat mereka keluar menuju halaman rumah sakit, Naufal tampak ragu, sesaat menatap Gita. Sambil berjalan, ia akhirnya mengutarakan kegelisahannya. “Gita,” panggilnya, “bagaimana kalau kita cari kontrakan lain saja?”Gita menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh, menatap Naufal yang serius, namun hanya tersenyum tipis. “Kenapa, Fal? Kontrakan itu nyaman kok.”Naufal balas menatapnya, mencoba mencari keberanian untuk menegaskan niatnya. “Gita, aku cuma khawatir… tetanggamu di sana sudah terlalu keterlaluan. Aku nggak ingin kamu harus menghadapi perlakuan seperti itu lagi. Stresnya bisa berdampak pada kondisi kamu dan bayimu,” ujarnya. Gita tahu niat baik Naufal, tetap menggeleng pelan. "Nggak usah, Fal. Aku baik-baik saja,
Hari demi hari, Adrian semakin tenggelam dalam pekerjaannya, seolah ingin menghilang dari dunia yang terasa semakin menyesakkan. Ia selalu berangkat pagi dan pulang larut malam, tak pernah menghiraukan jam, membuat dirinya terlihat letih dan kuyu setiap kali tiba di rumah. Rima yang memperhatikan perubahan drastis pada putranya, merasa ada yang tidak beres. Suatu malam, saat Adrian baru saja menutup pintu dan meletakkan tas kerjanya, Rima menghampirinya. “Kenapa kamu terus-terusan menyibukkan diri seperti ini, Adrian? Kamu tidak perlu memaksakan diri sampai segitunya,” ujar Rima, nada suaranya terdengar cemas, tapi Adrian bisa merasakan sedikit tekanan di balik kalimat itu.Adrian mengangkat wajahnya yang lelah dan hanya menjawab singkat, “Aku hanya ingin fokus pada pekerjaan, Ma. Biar gak terus-terusan mikirin masalahku.”Rima menyipitkan mata, lalu mendesah sinis, merasa tidak puas dengan jawaban Adrian. “Masalah apa, sih, yang sampai perlu kamu lupakan? Perceraian yang tak kunjung
Di tengah kesibukan di Instalasi Gawat Darurat, pintu ambulans terbuka dengan cepat, dan petugas medis menurunkan Adrian yang tubuhnya berlumuran darah. Dalam diam yang penuh ketegangan, para dokter dan perawat langsung membawa Adrian masuk, merasakan urgensi di setiap detik yang berlalu. Dengan raut wajah yang cemas, mereka memindahkan Adrian ke ruang tindakan darurat, menempatkannya di ranjang dan memulai pemeriksaan cepat di sekitar luka-luka parah yang terlihat jelas di kepala, dada, dan kakinya.“Pasien mengalami trauma kepala berat, periksa jantungnya!” ujar salah satu dokter dengan suara tegas namun terburu-buru. Perawat segera menempelkan elektroda ke tubuh Adrian, dan detik itu juga layar monitor menunjukkan detak jantung yang sangat tidak stabil, mendekati fibrilasi ventrikel.Tanpa banyak bicara, tim medis segera menyiapkan defibrillator, berharap bisa mengembalikan ritme jantungnya yang kacau. “Siapkan 200 joule… Beri jarak!” kata dokter sambil mengarahkan alat. Listrik me
Gita sibuk melayani anak-anak kecil yang mengerumuni lapak jajanan sederhananya. Setiap anak datang dengan mata berbinar, tertarik pada aneka jajanan yang tertata rapi di atas meja.“Mbak Gita, aku mau yang ini, yang warna pink sama biru, sama yang cokelat!” kata seorang anak perempuan sambil menunjuk dua kue manis berwarna cerah.Gita menatapnya sambil tersenyum lembut, lalu berkata, “Tiga? Banyak sekali, loh. Emang bisa ngabisin? Jangan kebanyakan jajan, nanti sakit gigi. Kalau sakit gigi, nggak bisa makan enak, loh. Satu aja, ya?”Anak perempuan itu cemberut sebenar, tapi kemudian mengangguk dan memilih satu kue. “Iya deh, Mbak Gita. Aku ambil yang pink aja, soalnya ini kesukaanku!”“Nah, gitu dong. Yang penting jajan secukupnya, ya. Habis makan manis, nanti jangan lupa gosok gigi biar giginya nggak…” Gita sengaja menghentikan kalimatnya, menunggu respon dari anak-anak.“Bolooong!” jawab beberapa anak serempak dengan nada penuh semangat.Gita tertawa kecil mendengar respons kompak
Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje
Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na
Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma
Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per