Adrian melaju di jalan dengan kecepatan yang tak biasa. Kedua tangannya mencengkeram setir, dan tatapannya tertuju lurus ke depan, tapi bukan pandangan penuh perhatian—lebih seperti kosong dan hampa, tenggelam dalam pikiran yang tidak ada ujungnya. Ia tidak benar-benar memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang, lampu jalan yang menyala redup, atau pejalan kaki yang sesekali melintas. Di kepalanya, berputar satu per satu bayangan dari peristiwa-peristiwa yang baru saja ia alami.Sorot lampu jalan berpendar melintasi wajahnya yang penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Gita yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Hatinya terasa hancur, dan rasa bersalah seolah menusuknya berulang kali. Seandainya ia bisa memperbaiki keadaan, atau setidaknya bisa membiarkan Gita hidup dengan damai tanpa terjerat masalah yang terus menghantuinya. "Apa yang selama ini aku lakukan?" bisiknya dengan getir.Di balik semua penyesalan itu, ada kemarahan terhadap ibunya. Ia benar-benar tidak habis pikir,
Naufal kembali ke kamar rawat Gita dengan langkah pelan, matanya tertumbuk pada sosok Gita yang sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya tampak serius, pandangannya lurus ke depan seolah sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Naufal memperhatikan raut wajahnya, lalu bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sudah bangun sejak tadi?”Gita mengangguk perlahan, sorot matanya sedikit sayu, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Naufal segera menyadari, mungkin Gita sudah mendengar percakapan emosionalnya dengan Adrian di luar tadi.Nafas Naufal tertahan sejenak, rasa bersalah menyelinap di wajahnya. Ia menunduk sebelum berkata dengan hati-hati, “Maaf… kalau tindakanku aku terlalu jauh, sampai mengusir Adrian tadi.” Ia menghela napas dalam-dalam, memilih kata-katanya. “Aku hanya… nggak ingin ada yang membuatmu tertekan lagi, terutama sekarang, saat kesehatan kamu dan bayimu harus benar-benar harus dijaga.”Gita tetap diam, tak menyela sedikit pun. Ekspresinya sulit ditebak, tapi sorot m
Pagi hari sebelum ke kantor, Adrian berjalan menuju rumah sakit dengan langkah yang berat. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah keranjang buah-buahan, hadiah kecil untuk Gita yang terbaring di rumah sakit. Setibanya di depan pintu kamar rawat Gita, ia berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang mengisi setiap sudut hatinya. Tatapannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, tetapi ia ragu untuk masuk. Ada sesuatu yang menghalanginya, perasaan bersalah dan kebimbangan yang menghantuinya. Haruskah ia segera masuk dan menemui Gita? Ataukah ia harus menunggu sejenak, memberi ruang bagi Gita untuk mengatur perasaannya terlebih dahulu?Beberapa detik berlalu, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki sesekali dari orang-orang yang lewat. Lalu, tiba-tiba, suara Gita terdengar dengan lembut dari dalam kamar.“Dri?”Adrian tersentak, sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Ia menoleh dengan cepat, dan melihat Git
Adrian berjalan masuk ke rumah dengan langkah berat, wajahnya terlihat lelah dan kusam setelah apa yang baru saja ia lalui. Melihat putranya pulang lebih awal dan tanpa mengenakan setelan kerjanya seperti biasa, Rima yang tengah duduk di ruang tamu langsung menatapnya dengan heran.“Kamu nggak jadi ke kantor, Adrian?” tanyanya sambil memperhatikan raut wajah putranya yang tampak tidak seperti biasanya.Adrian hanya menggeleng pelan, tak berhenti melangkah menuju kamarnya. “Aku capek, Ma. Mau istirahat sebentar,” jawabnya singkat, nyaris tanpa menatap ibunya.Rima memperhatikan langkah Adrian yang gontai, merasa ada yang tidak beres. “Kamu sakit? Nggak biasanya kamu tiba-tiba absen dari kantor begini,” lanjutnya, nada suaranya mencerminkan sedikit kekhawatiran.Adrian berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab tanpa berbalik. “Nggak, cuma capek,” ujarnya pelan. Rima akhirnya mengangguk, seolah mengiyakan keputusannya untuk membiarkan Adrian beristirahat. Namun, begitu Ad
Pagi itu, Gita bersiap-siap untuk pulang dari rumah sakit dengan ditemani Naufal. Ia sudah mengenakan pakaian kasual yang sederhana namun rapi, meski terlihat masih agak pucat. Gita berjalan menuju pintu keluar rumah sakit bersama Naufal yang sigap mendampinginya. Saat mereka keluar menuju halaman rumah sakit, Naufal tampak ragu, sesaat menatap Gita. Sambil berjalan, ia akhirnya mengutarakan kegelisahannya. “Gita,” panggilnya, “bagaimana kalau kita cari kontrakan lain saja?”Gita menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh, menatap Naufal yang serius, namun hanya tersenyum tipis. “Kenapa, Fal? Kontrakan itu nyaman kok.”Naufal balas menatapnya, mencoba mencari keberanian untuk menegaskan niatnya. “Gita, aku cuma khawatir… tetanggamu di sana sudah terlalu keterlaluan. Aku nggak ingin kamu harus menghadapi perlakuan seperti itu lagi. Stresnya bisa berdampak pada kondisi kamu dan bayimu,” ujarnya. Gita tahu niat baik Naufal, tetap menggeleng pelan. "Nggak usah, Fal. Aku baik-baik saja,
Hari demi hari, Adrian semakin tenggelam dalam pekerjaannya, seolah ingin menghilang dari dunia yang terasa semakin menyesakkan. Ia selalu berangkat pagi dan pulang larut malam, tak pernah menghiraukan jam, membuat dirinya terlihat letih dan kuyu setiap kali tiba di rumah. Rima yang memperhatikan perubahan drastis pada putranya, merasa ada yang tidak beres. Suatu malam, saat Adrian baru saja menutup pintu dan meletakkan tas kerjanya, Rima menghampirinya. “Kenapa kamu terus-terusan menyibukkan diri seperti ini, Adrian? Kamu tidak perlu memaksakan diri sampai segitunya,” ujar Rima, nada suaranya terdengar cemas, tapi Adrian bisa merasakan sedikit tekanan di balik kalimat itu.Adrian mengangkat wajahnya yang lelah dan hanya menjawab singkat, “Aku hanya ingin fokus pada pekerjaan, Ma. Biar gak terus-terusan mikirin masalahku.”Rima menyipitkan mata, lalu mendesah sinis, merasa tidak puas dengan jawaban Adrian. “Masalah apa, sih, yang sampai perlu kamu lupakan? Perceraian yang tak kunjung
Di tengah kesibukan di Instalasi Gawat Darurat, pintu ambulans terbuka dengan cepat, dan petugas medis menurunkan Adrian yang tubuhnya berlumuran darah. Dalam diam yang penuh ketegangan, para dokter dan perawat langsung membawa Adrian masuk, merasakan urgensi di setiap detik yang berlalu. Dengan raut wajah yang cemas, mereka memindahkan Adrian ke ruang tindakan darurat, menempatkannya di ranjang dan memulai pemeriksaan cepat di sekitar luka-luka parah yang terlihat jelas di kepala, dada, dan kakinya.“Pasien mengalami trauma kepala berat, periksa jantungnya!” ujar salah satu dokter dengan suara tegas namun terburu-buru. Perawat segera menempelkan elektroda ke tubuh Adrian, dan detik itu juga layar monitor menunjukkan detak jantung yang sangat tidak stabil, mendekati fibrilasi ventrikel.Tanpa banyak bicara, tim medis segera menyiapkan defibrillator, berharap bisa mengembalikan ritme jantungnya yang kacau. “Siapkan 200 joule… Beri jarak!” kata dokter sambil mengarahkan alat. Listrik me
Gita sibuk melayani anak-anak kecil yang mengerumuni lapak jajanan sederhananya. Setiap anak datang dengan mata berbinar, tertarik pada aneka jajanan yang tertata rapi di atas meja.“Mbak Gita, aku mau yang ini, yang warna pink sama biru, sama yang cokelat!” kata seorang anak perempuan sambil menunjuk dua kue manis berwarna cerah.Gita menatapnya sambil tersenyum lembut, lalu berkata, “Tiga? Banyak sekali, loh. Emang bisa ngabisin? Jangan kebanyakan jajan, nanti sakit gigi. Kalau sakit gigi, nggak bisa makan enak, loh. Satu aja, ya?”Anak perempuan itu cemberut sebenar, tapi kemudian mengangguk dan memilih satu kue. “Iya deh, Mbak Gita. Aku ambil yang pink aja, soalnya ini kesukaanku!”“Nah, gitu dong. Yang penting jajan secukupnya, ya. Habis makan manis, nanti jangan lupa gosok gigi biar giginya nggak…” Gita sengaja menghentikan kalimatnya, menunggu respon dari anak-anak.“Bolooong!” jawab beberapa anak serempak dengan nada penuh semangat.Gita tertawa kecil mendengar respons kompak
Adrian terbaring di tempat tidur rumah sakit, tubuhnya terlihat lebih stabil, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Beberapa minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu, namun setiap harinya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pandangannya kosong, tertuju pada langit-langit kamar tanpa tanda-tanda kehidupan dalam tatapannya. Di meja kecil di sebelah ranjangnya, segelas air mineral yang diberikan sejak pagi masih utuh. Sebuah nampan makanan baru diletakkan di meja oleh perawat beberapa menit lalu, tapi Adrian bahkan tidak meliriknya. Ketika perawat bertanya apakah ia butuh sesuatu, Adrian hanya menggeleng singkat tanpa suara. Perawat itu menghela napas kecil sebelum meninggalkan ruangan.Selimut yang menutupi tubuh Adrian terlihat berantakan, seperti tidak tersentuh sepanjang malam. Remote untuk mengatur tempat tidur tergeletak di pinggir kasur, tak pernah ia gunakan untuk menyesuaikan kenyamanannya. Bahkan lampu di dekat tempat tidurnya, yang biasanya
Gita sedang sibuk melayani anak-anak kecil yang berdiri di depan meja jualannya. Beberapa dari mereka berteriak riang, menyebutkan pilihan mereka. Namun, di balik senyumnya saat memberikan kembalian atau membungkus jajanan, pikirannya melayang jauh. Sorot matanya yang biasanya hangat terlihat suram. Dalam diam, Gita merasa bersalah. Bagaimanapun, Adrian adalah suaminya—setidaknya hingga saat ini—dan ia merasa harus berada di sisinya saat ini. Tapi kehadiran Rima yang seperti tembok besar membuatnya terhalang untuk melakukan itu. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan menggerogoti hatinya.“Mbak, aku boleh beli dua permen ini, kan?” tanya seorang anak kecil, menarik ujung bajunya. Gita terlonjak dari lamunannya.“Oh, boleh, sayang. Dua permen, ya? Jadi seribu,” jawab Gita, tersenyum sambil menerima uang receh dari tangan mungil itu. Ia kembali mencoba fokus pada dagangannya, tetapi bayangan Adrian tak bisa hilang dari benaknya.Beber
Adrian terbangun pagi itu di ruang perawatan biasa. Suasana ruangan yang tenang dan steril terasa seperti selimut dingin yang menekan dadanya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mengangkat kakinya, tetapi tak ada respons. Perasaan cemas merayap masuk. Ia mencoba sekali lagi, lebih keras, namun tetap saja kakinya tak bergerak."Ma..." panggil Adrian dengan nada panik, memecah keheningan. Rima yang sedang duduk di sofa dekat tempat tidurnya segera bangkit, ekspresi wajahnya berubah."Kenapa?" jawab Rima, mendekat dengan langkah tergesa.Adrian menatap ibunya dengan sorot mata penuh kecemasan, napasnya sedikit memburu. "Kenapa aku gak bisa gerakin kaki aku?" tanyanya, suaranya bergetar, memohon jawaban.Rima terdiam sejenak. Wajahnya berusaha tenang, tetapi kilatan panik di matanya tak bisa disembunyikan. Ia duduk di samping tempat tidur, meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat, seperti mencari kekuatan. "Adrian, kamu pasti bisa pulih," katanya, mencoba terdenga
Gita berlari-lari kecil menuju meja resepsionis rumah sakit, wajahnya tampak cemas. Ia menghampiri petugas dengan napas sedikit terengah, berusaha mengendalikan kegelisahan yang sudah memenuhi pikirannya.“Permisi, Bu,” sapa Gita dengan nada cemas. “Adrian... Adrian Wirawan. Suami saya dirawat di sini. Bisakah saya tahu di mana ruangannya?”Petugas resepsionis memeriksa data di komputer dengan tenang, lalu mengangguk. “Suami Anda dirawat di ICU,” jawabnya.Gita terdiam sesaat, rasa khawatir semakin memenuhi dirinya mendengar kata "ICU." “Saya… bisa menjenguknya, kan?” tanyanya hati-hati.Petugas itu mengangguk kembali. “Ibu bisa, namun ICU memiliki prosedur khusus. Demi menjaga kondisi pasien, kami hanya mengizinkan waktu kunjungan tertentu dan Ibu harus mengenakan pakaian pelindung selama di dalam. Ini demi menjaga sterilitas ruangan,” jelasnya sambil menunjuk ke arah ruang persiapan.
Luna mengemudi mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kekecewaan dan kejengkelan tampak jelas di wajahnya, seolah pikirannya masih terus mengulang percakapan dengan Rima sebelumnya. Di tengah keheningan itu, layar pada sistem hands-free mobilnya tiba-tiba menyala, menampilkan nama ‘Tante Rima’ yang muncul di sana. Luna menatapnya sejenak, menghela napas panjang, tampak enggan menjawab.Dengan sedikit ragu, ia menyentuh tombol di perangkat hands-free mobilnya, mengaktifkan panggilan tanpa harus mengalihkan perhatian dari kemudi. “Ada apa, Tante?” sapanya dengan nada dingin, berusaha kekesalannya.Rima langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Luna, Tante kecewa sekali sama kamu," ucapnya dengan nada berat. "Kamu seolah ingin lepas tangan dari Adrian. Ini bukan sikap yang Tante harapkan dari kamu.”Luna merasakan nada penilaian dalam ucapan Rima dan menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Tante, tolong mengerti,
Di dalam ruang rapat kantor yang penuh dengan meja dan layar presentasi, Rima berjalan dan duduk di kursi utama, berusaha menampilkan ketenangan meski dalam hatinya ada beban yang berat. Di seberangnya, duduk Luna bersama beberapa rekan tim dari Fortuna Media. Mereka menyambut Rima dengan senyuman, menyadari posisinya sebagai sosok penting di perusahaan.Setelah perkenalan singkat, rapat segera dimulai, dengan salah satu anggota tim membuka pembicaraan, “Baik, sesuai agenda hari ini, kita akan membahas progres platform digital yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan.”Luna menambahkan, “Kami baru saja menyelesaikan tahap uji coba untuk beberapa fitur baru, dan sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Kami ingin mendengar pendapat Ibu Rima mengenai perkembangan ini.”Rima mengangguk pelan, menatap layar presentasi yang menampilkan data uji coba. “Ya, saya sempat mendengar laporan dari Adrian sebelumnya. Sepertinya, fitur ini akan membawa
Rima melangkah keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat. Wajahnya terlihat kelelahan, tanda dari malam-malam tanpa tidur untuk menjaga Adrian. Di lorong rumah sakit yang sepi, ia berhenti, memandang sekitar dengan tatapan kosong, hingga akhirnya melihat Hendri, asisten setia Adrian, berjalan cepat ke arahnya.Hendri menatap Rima dengan sorot penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat jelas kelelahan dan kecemasan di wajahnya, namun memilih untuk diam, menunggu Rima membuka percakapan.“Hendri,” Rima memulai dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap Hendri tajam. “Saya ingin memastikan satu hal,” lanjutnya sambil menarik napas dalam. “Jaga agar kondisi Adrian tetap dirahasiakan dari media. Saya tidak mau ada satu pun wartawan atau orang luar tahu soal ini.”Hendri mengangguk mantap. “Baik, Bu. Saya akan pastikan semua informasi terkunci rapat. Saya akan instruksikan kepada semua pihak rumah sakit untuk menjaga privasi Pak Ad
Gita berusaha menahan cemas yang terus merayapi pikirannya. Berkali-kali ia menelepon Adrian, tapi tak satu pun panggilan berbalas. “Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih gelisah.Ia ingin mencoba menelepon sekali lagi, tapi tangannya yang sedikit gemetar membuat ponsel itu terlepas dari genggamannya. “Aduh!” serunya panik, buru-buru memungutnya dari lantai. Begitu dilihat, layar ponselnya retak parah dan tak mau menyala lagi. “Ya ampun… rusak di saat begini,” desahnya sambil mengusap ponsel yang kini tak berfungsi.Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Gita menaruh ponsel rusaknya di atas meja. Ia duduk sejenak, lalu tangannya perlahan mengusap perutnya yang sudah mulai membesar. Bayinya mulai aktif, sesekali menendang lembut dari dalam. “Kamu ikut gelisah, ya, Nak?” bisiknya lembut, mencoba menenangkan diri meski hatinya masih resah.“Yuk, kita cari kegiatan biar ngg
Rima duduk di samping Adrian yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Tatapannya tak lepas dari wajah putranya yang kini terlihat begitu lemah, seolah terbaring di antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam tangan Adrian erat, berharap sentuhannya mampu mengembalikan kesadaran sang putra.Rima membungkukkan diri sedikit, mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Adrian... Mama mohon, bertahanlah.” Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. “Apapun kondisimu nanti, Mama akan menerima,” lanjutnya, suaranya semakin bergetar, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai membasahi pipi.Ia mengusap tangan Adrian perlahan, berharap sentuhan itu mampu menyampaikan penyesalannya yang mendalam. "Maafkan Mama... selama ini Mama terlalu memaksa, terlalu keras. Mama sadar Mama sudah egois dan selalu menuntut kamu untuk hidup sesuai keinginan Mama."Rima berhenti seje