Share

Bab 41. Rencana Rima

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-11-30 10:58:57

Rima duduk di ruang tamunya dengan perasaan resah yang belum juga mereda. Merasa tidak ada yang bisa memahami kekesalannya terhadap situasi yang terjadi dengan Adrian dan Gita, Rima akhirnya mengambil ponselnya dan menekan nomor Luna. Dalam hitungan detik, telepon tersambung.

“Luna, apa kamu sibuk?” tanya Rima dengan nada yang tampak menahan emosi.

“Tidak, Tante. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Luna dengan perhatian.

Rima langsung menghela napas panjang. “Adrian… dia benar-benar keras kepala. Dia tetap ingin mempertahankan Gita, meskipun tante sudah katakan berkali-kali kalau wanita itu hanya membawa masalah.”

Luna mendengarkan dengan seksama. “Sabar, Tante. Adrian mungkin terlalu terbawa perasaan. Apalagi dengan keadaan Gita yang sekarang… tante bilang kan Gita hamil, kehamilan itu sepertinya membuatnya merasa harus bertanggung jawab.”

Nada suara Rima semakin getir. “Dari awal, tante tak pernah yakin anak itu benar-benar darah daging Adrian.”

Luna mendesah pelan, seolah ikut prihati
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 42. Tindakan Nyata

    Mobil Luna berhenti tepat di depan gerbang rumah Adrian. Joko yang sudah mengenal Luna dengan baik, segera membukakan pintu gerbang dan menyambutnya dengan sopan.“Selamat sore, Mbak Luna,” sapa Joko sambil tersenyum ramah.“Selamat sore, Mas Joko,” balas Luna dengan senyum elegan, sambil melangkah keluar dari mobil. Di tangannya ia membawa kantong kertas berisi oleh-oleh untuk Rima.Di dalam rumah, Rima yang mendengar suara mobil segera berdiri, melangkah cepat ke depan pintu. Begitu melihat Luna, senyumnya mengembang, menyiratkan rasa senang yang tidak ia sembunyikan.“Luna! Kamu bawa apa itu?” tanya Rima dengan suara ramah dan penuh antusias.“Oh, ini cuma oleh-oleh kecil, Tante,” jawab Luna sambil menyerahkan kantong itu. “Tadi pulang kerja, saya sempat mampir beli kue-kue yang Tante suka.”Rima menerima kantong itu dengan senang hati. “Kamu ini selalu perhatian,” pujinya dengan lembut. “Ayo, ayo masuk. Kita duduk di ruang tengah saja.”Rima menggandeng Luna ke dalam, memandu lang

    Last Updated : 2024-12-01
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 43. Bertahan di Tengah Hinaan

    Sore itu, Gita duduk di depan meja kecil yang sudah dipenuhi kue-kue dan camilan yang tertata rapi di depan rumah kontrakannya. Bolu kukus berwarna cerah, roti goreng, dan camilan anak-anak dalam kantong plastik kecil tersusun dengan apik. Gita menatap hasil jualannya dengan perasaan lega, senyumnya merekah ketika beberapa anak kecil di sekitar kontrakan mulai mendekat, tertarik melihat makanan yang menggiurkan di atas meja.Melihat mata anak-anak yang berbinar, Gita tersenyum lebar dan menyapa mereka dengan ramah, “Mau yang bolu kukus warna pink, atau roti gorengnya?” Salah satu anak menunjuk bolu kukus sambil tersenyum malu-malu, “Yang warna pink, Kak!” Gita tertawa kecil dan mengulurkan bolu itu, “Bolu pink ya! Boleh.”Anak-anak lain juga berseru, “Aku juga mau bolu yang itu, Kak!!”Gita memberikan bolu. “Boleh, sabar ya, dibungkus dulu.”Anak-anak itu terkikik senang, menyerahkan uang yang mereka kumpulkan, sambil mengobrol kecil satu sama lain. Gita melayani mereka dengan senyu

    Last Updated : 2024-12-02
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 44. Tak Ingin Kehilangan

    Rima merogoh tas tangannya, mengambil segepok uang dan melemparkannya ke arah Gita dengan gerakan tajam. “Kalau kamu hanya mengharapkan uang, ambil ini!” katanya dengan nada dingin. Uang itu berhamburan, beberapa lembar jatuh tepat di depan Gita, dan satu dua lembar menimpa wajahnya, seolah menambah kehinaan yang sudah terasa menyesakkan.Para ibu-ibu di sekitar, yang sejak awal memandang Gita dengan curiga, kini semakin terpicu. Melihat uang bertebaran di tanah, mereka seolah tersulut emosi, menambahkan caci maki mereka dengan semangat. Salah seorang di antara mereka mengejek, “Lihat tuh! Seperti itu saja sudah puas, kan? Sudah jelas dia hanya mau uang!”“Perempuan tak tahu malu!” seru yang lain dengan geram. “Sudah ada main dengan pria lain, masih tidak mau pisah sama suaminya.”“Alasan hamil biar suami gak tega ninggalin dia, memalukan!”Komentar-komentar itu hanya semakin memperkeruh suasana, membuat beberapa ibu-ibu dengan kasar mengacak-acak dagangan kecil Gita. Mereka merobek k

    Last Updated : 2024-12-03
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 45. Bayinya Selamat

    Di ruang gawat darurat, suasana tampak sibuk namun terkendali. Naufal, dengan sigap memimpin timnya menangani kondisi Gita yang tengah mengalami pendarahan. Di tengah proses itu, Gita, yang berbaring lemah dengan wajah cemas, memandang Naufal. “Fal, aku gak keguguran, kan? Bayiku selamat, kan?” tanya Gita dengan suara yang hampir berbisik, penuh rasa takut.Naufal menatapnya penuh perhatian, lalu menggenggam tangan Gita untuk memberinya ketenangan. “Bayimu masih bertahan, Gita. Kamu juga harus kuat, ya?” jawabnya menenangkan. Seorang perawat mengatur alat monitor dan mesin detak jantung bayi di samping tempat tidur Gita. Suara detak jantung yang kecil namun stabil terdengar, membuat Gita menarik napas lega. Naufal tetap memegang tangan Gita, memberi tanda bahwa kondisinya masih stabil. "Dengar itu?" katanya pelan, sembari menepuk tangan Gita. “Dia kuat, Gita. Jadi kamu juga harus kuat.”Setelah memasang infus dan memberikan obat yang diperlukan, Naufal terus memantau keadaan Gita da

    Last Updated : 2024-12-04
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 46. Memberi Ruang

    Adrian tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa, langsung menuju ruang rawat di mana Gita beristirahat. Sesampainya di sana, ia mendapati Gita masih tertidur dengan wajah yang tampak lemah. Naufal duduk di sampingnya, memperhatikannya dengan penuh perhatian, seolah menjaga agar tidak ada yang mengganggunya.Melihat Adrian datang, Naufal berdiri. Dengan sikap tenang, ia mengisyaratkan Adrian untuk berbicara di luar, agar tidak mengganggu istirahat Gita. Adrian, yang sudah dipenuhi perasaan bersalah, hanya bisa mengangguk, mengikuti Naufal tanpa berkata-kata.Begitu mereka berada di luar ruangan, suasana langsung berubah. Wajah Naufal yang semula tenang kini menunjukkan ekspresi yang jauh berbeda—penuh kemarahan yang ditahan. “Berapa lama lagi kamu pikir Gita bisa bertahan seperti ini, Adrian?” kata Naufal dengan nada tajam, mengawali pembicaraan tanpa basa-basi. “Ini bukan pertama kalinya dia harus dirawat di rumah sakit karena tekanan yang dia alami, karena keluargamu!” Naufal

    Last Updated : 2024-12-05
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 47. Takut Kehilangan

    Adrian melaju di jalan dengan kecepatan yang tak biasa. Kedua tangannya mencengkeram setir, dan tatapannya tertuju lurus ke depan, tapi bukan pandangan penuh perhatian—lebih seperti kosong dan hampa, tenggelam dalam pikiran yang tidak ada ujungnya. Ia tidak benar-benar memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang, lampu jalan yang menyala redup, atau pejalan kaki yang sesekali melintas. Di kepalanya, berputar satu per satu bayangan dari peristiwa-peristiwa yang baru saja ia alami.Sorot lampu jalan berpendar melintasi wajahnya yang penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Gita yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Hatinya terasa hancur, dan rasa bersalah seolah menusuknya berulang kali. Seandainya ia bisa memperbaiki keadaan, atau setidaknya bisa membiarkan Gita hidup dengan damai tanpa terjerat masalah yang terus menghantuinya. "Apa yang selama ini aku lakukan?" bisiknya dengan getir.Di balik semua penyesalan itu, ada kemarahan terhadap ibunya. Ia benar-benar tidak habis pikir,

    Last Updated : 2024-12-06
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 48. Bahu untuk Bersandar

    Naufal kembali ke kamar rawat Gita dengan langkah pelan, matanya tertumbuk pada sosok Gita yang sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya tampak serius, pandangannya lurus ke depan seolah sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Naufal memperhatikan raut wajahnya, lalu bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sudah bangun sejak tadi?”Gita mengangguk perlahan, sorot matanya sedikit sayu, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Naufal segera menyadari, mungkin Gita sudah mendengar percakapan emosionalnya dengan Adrian di luar tadi.Nafas Naufal tertahan sejenak, rasa bersalah menyelinap di wajahnya. Ia menunduk sebelum berkata dengan hati-hati, “Maaf… kalau tindakanku aku terlalu jauh, sampai mengusir Adrian tadi.” Ia menghela napas dalam-dalam, memilih kata-katanya. “Aku hanya… nggak ingin ada yang membuatmu tertekan lagi, terutama sekarang, saat kesehatan kamu dan bayimu harus benar-benar harus dijaga.”Gita tetap diam, tak menyela sedikit pun. Ekspresinya sulit ditebak, tapi sorot m

    Last Updated : 2024-12-07
  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 49. Tangis Keputusan

    Pagi hari sebelum ke kantor, Adrian berjalan menuju rumah sakit dengan langkah yang berat. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah keranjang buah-buahan, hadiah kecil untuk Gita yang terbaring di rumah sakit. Setibanya di depan pintu kamar rawat Gita, ia berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang mengisi setiap sudut hatinya. Tatapannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, tetapi ia ragu untuk masuk. Ada sesuatu yang menghalanginya, perasaan bersalah dan kebimbangan yang menghantuinya. Haruskah ia segera masuk dan menemui Gita? Ataukah ia harus menunggu sejenak, memberi ruang bagi Gita untuk mengatur perasaannya terlebih dahulu?Beberapa detik berlalu, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki sesekali dari orang-orang yang lewat. Lalu, tiba-tiba, suara Gita terdengar dengan lembut dari dalam kamar.“Dri?”Adrian tersentak, sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Ia menoleh dengan cepat, dan melihat Git

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 96. Manipulasi

    Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 95. Kunjungan Tak Diundang

    Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 90. Cara Melindungi

    Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 89. Konflik yang Memuncak

    Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 88. Mengatasi Masalah

    Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status