Rima merogoh tas tangannya, mengambil segepok uang dan melemparkannya ke arah Gita dengan gerakan tajam. “Kalau kamu hanya mengharapkan uang, ambil ini!” katanya dengan nada dingin. Uang itu berhamburan, beberapa lembar jatuh tepat di depan Gita, dan satu dua lembar menimpa wajahnya, seolah menambah kehinaan yang sudah terasa menyesakkan.Para ibu-ibu di sekitar, yang sejak awal memandang Gita dengan curiga, kini semakin terpicu. Melihat uang bertebaran di tanah, mereka seolah tersulut emosi, menambahkan caci maki mereka dengan semangat. Salah seorang di antara mereka mengejek, “Lihat tuh! Seperti itu saja sudah puas, kan? Sudah jelas dia hanya mau uang!”“Perempuan tak tahu malu!” seru yang lain dengan geram. “Sudah ada main dengan pria lain, masih tidak mau pisah sama suaminya.”“Alasan hamil biar suami gak tega ninggalin dia, memalukan!”Komentar-komentar itu hanya semakin memperkeruh suasana, membuat beberapa ibu-ibu dengan kasar mengacak-acak dagangan kecil Gita. Mereka merobek k
Di ruang gawat darurat, suasana tampak sibuk namun terkendali. Naufal, dengan sigap memimpin timnya menangani kondisi Gita yang tengah mengalami pendarahan. Di tengah proses itu, Gita, yang berbaring lemah dengan wajah cemas, memandang Naufal. “Fal, aku gak keguguran, kan? Bayiku selamat, kan?” tanya Gita dengan suara yang hampir berbisik, penuh rasa takut.Naufal menatapnya penuh perhatian, lalu menggenggam tangan Gita untuk memberinya ketenangan. “Bayimu masih bertahan, Gita. Kamu juga harus kuat, ya?” jawabnya menenangkan. Seorang perawat mengatur alat monitor dan mesin detak jantung bayi di samping tempat tidur Gita. Suara detak jantung yang kecil namun stabil terdengar, membuat Gita menarik napas lega. Naufal tetap memegang tangan Gita, memberi tanda bahwa kondisinya masih stabil. "Dengar itu?" katanya pelan, sembari menepuk tangan Gita. “Dia kuat, Gita. Jadi kamu juga harus kuat.”Setelah memasang infus dan memberikan obat yang diperlukan, Naufal terus memantau keadaan Gita da
Adrian tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa, langsung menuju ruang rawat di mana Gita beristirahat. Sesampainya di sana, ia mendapati Gita masih tertidur dengan wajah yang tampak lemah. Naufal duduk di sampingnya, memperhatikannya dengan penuh perhatian, seolah menjaga agar tidak ada yang mengganggunya.Melihat Adrian datang, Naufal berdiri. Dengan sikap tenang, ia mengisyaratkan Adrian untuk berbicara di luar, agar tidak mengganggu istirahat Gita. Adrian, yang sudah dipenuhi perasaan bersalah, hanya bisa mengangguk, mengikuti Naufal tanpa berkata-kata.Begitu mereka berada di luar ruangan, suasana langsung berubah. Wajah Naufal yang semula tenang kini menunjukkan ekspresi yang jauh berbeda—penuh kemarahan yang ditahan. “Berapa lama lagi kamu pikir Gita bisa bertahan seperti ini, Adrian?” kata Naufal dengan nada tajam, mengawali pembicaraan tanpa basa-basi. “Ini bukan pertama kalinya dia harus dirawat di rumah sakit karena tekanan yang dia alami, karena keluargamu!” Naufal
Adrian melaju di jalan dengan kecepatan yang tak biasa. Kedua tangannya mencengkeram setir, dan tatapannya tertuju lurus ke depan, tapi bukan pandangan penuh perhatian—lebih seperti kosong dan hampa, tenggelam dalam pikiran yang tidak ada ujungnya. Ia tidak benar-benar memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang, lampu jalan yang menyala redup, atau pejalan kaki yang sesekali melintas. Di kepalanya, berputar satu per satu bayangan dari peristiwa-peristiwa yang baru saja ia alami.Sorot lampu jalan berpendar melintasi wajahnya yang penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Gita yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Hatinya terasa hancur, dan rasa bersalah seolah menusuknya berulang kali. Seandainya ia bisa memperbaiki keadaan, atau setidaknya bisa membiarkan Gita hidup dengan damai tanpa terjerat masalah yang terus menghantuinya. "Apa yang selama ini aku lakukan?" bisiknya dengan getir.Di balik semua penyesalan itu, ada kemarahan terhadap ibunya. Ia benar-benar tidak habis pikir,
Naufal kembali ke kamar rawat Gita dengan langkah pelan, matanya tertumbuk pada sosok Gita yang sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya tampak serius, pandangannya lurus ke depan seolah sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Naufal memperhatikan raut wajahnya, lalu bertanya dengan nada khawatir, “Kamu sudah bangun sejak tadi?”Gita mengangguk perlahan, sorot matanya sedikit sayu, tapi ada ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Naufal segera menyadari, mungkin Gita sudah mendengar percakapan emosionalnya dengan Adrian di luar tadi.Nafas Naufal tertahan sejenak, rasa bersalah menyelinap di wajahnya. Ia menunduk sebelum berkata dengan hati-hati, “Maaf… kalau tindakanku aku terlalu jauh, sampai mengusir Adrian tadi.” Ia menghela napas dalam-dalam, memilih kata-katanya. “Aku hanya… nggak ingin ada yang membuatmu tertekan lagi, terutama sekarang, saat kesehatan kamu dan bayimu harus benar-benar harus dijaga.”Gita tetap diam, tak menyela sedikit pun. Ekspresinya sulit ditebak, tapi sorot m
Pagi hari sebelum ke kantor, Adrian berjalan menuju rumah sakit dengan langkah yang berat. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah keranjang buah-buahan, hadiah kecil untuk Gita yang terbaring di rumah sakit. Setibanya di depan pintu kamar rawat Gita, ia berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang mengisi setiap sudut hatinya. Tatapannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, tetapi ia ragu untuk masuk. Ada sesuatu yang menghalanginya, perasaan bersalah dan kebimbangan yang menghantuinya. Haruskah ia segera masuk dan menemui Gita? Ataukah ia harus menunggu sejenak, memberi ruang bagi Gita untuk mengatur perasaannya terlebih dahulu?Beberapa detik berlalu, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki sesekali dari orang-orang yang lewat. Lalu, tiba-tiba, suara Gita terdengar dengan lembut dari dalam kamar.“Dri?”Adrian tersentak, sedikit terkejut mendengar panggilan itu. Ia menoleh dengan cepat, dan melihat Git
Adrian berjalan masuk ke rumah dengan langkah berat, wajahnya terlihat lelah dan kusam setelah apa yang baru saja ia lalui. Melihat putranya pulang lebih awal dan tanpa mengenakan setelan kerjanya seperti biasa, Rima yang tengah duduk di ruang tamu langsung menatapnya dengan heran.“Kamu nggak jadi ke kantor, Adrian?” tanyanya sambil memperhatikan raut wajah putranya yang tampak tidak seperti biasanya.Adrian hanya menggeleng pelan, tak berhenti melangkah menuju kamarnya. “Aku capek, Ma. Mau istirahat sebentar,” jawabnya singkat, nyaris tanpa menatap ibunya.Rima memperhatikan langkah Adrian yang gontai, merasa ada yang tidak beres. “Kamu sakit? Nggak biasanya kamu tiba-tiba absen dari kantor begini,” lanjutnya, nada suaranya mencerminkan sedikit kekhawatiran.Adrian berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab tanpa berbalik. “Nggak, cuma capek,” ujarnya pelan. Rima akhirnya mengangguk, seolah mengiyakan keputusannya untuk membiarkan Adrian beristirahat. Namun, begitu Ad
Pagi itu, Gita bersiap-siap untuk pulang dari rumah sakit dengan ditemani Naufal. Ia sudah mengenakan pakaian kasual yang sederhana namun rapi, meski terlihat masih agak pucat. Gita berjalan menuju pintu keluar rumah sakit bersama Naufal yang sigap mendampinginya. Saat mereka keluar menuju halaman rumah sakit, Naufal tampak ragu, sesaat menatap Gita. Sambil berjalan, ia akhirnya mengutarakan kegelisahannya. “Gita,” panggilnya, “bagaimana kalau kita cari kontrakan lain saja?”Gita menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh, menatap Naufal yang serius, namun hanya tersenyum tipis. “Kenapa, Fal? Kontrakan itu nyaman kok.”Naufal balas menatapnya, mencoba mencari keberanian untuk menegaskan niatnya. “Gita, aku cuma khawatir… tetanggamu di sana sudah terlalu keterlaluan. Aku nggak ingin kamu harus menghadapi perlakuan seperti itu lagi. Stresnya bisa berdampak pada kondisi kamu dan bayimu,” ujarnya. Gita tahu niat baik Naufal, tetap menggeleng pelan. "Nggak usah, Fal. Aku baik-baik saja,
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se
Adrian tiba di rumah sakit dengan napas yang masih memburu, wajahnya jelas menunjukkan kecemasan. Begitu keluar dari mobil dibantu Rudi, ia segera masuk ke lobi utama, matanya langsung mencari sosok yang dikenalinya. Di sudut ruang tunggu, ia melihat Rima duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, kepalanya tertunduk. Adrian mempercepat laju kursi rodanya, ekspresinya berubah dari cemas menjadi serius.“Ma,” panggil Adrian dengan nada tegas, menghentikan langkah Rima yang mendongak dengan ekspresi gugup. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Gita bisa sampai di rumah sakit?”Rima membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mama... Mama enggak sengaja. Kami sempat berdebat tadi di rumah.”Adrian menatap Rima dengan tajam, alisnya berkerut. “Berdebat tentang apa, Ma? Apa yang Mama lakukan sampai Gita harus dibawa ke rumah sakit?&rd
Hari itu Adrian sedang berada di kantor, sibuk menangani krisis yang belum juga mereda. Sementara itu, Gita, seperti biasa, tinggal di rumah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan rumah, Musik lembut mengalun dari ponselnya, sedikit mengisi keheningan rumah.Namun, ketukan pintu yang mendadak memecah rutinitasnya. Gita menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke pintu dengan rasa penasaran. Begitu pintu terbuka, ia mendapati Rima berdiri di sana dengan wajah yang tampak tegang dan tidak bersahabat.“Mama? Kok nggak ngabarin mau datang?” tanya Gita dengan suara lembut, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar. Ia tahu, kedatangan Rima jarang membawa kabar baik.Tanpa menjawab, Rima melangkah masuk begitu saja, mengabaikan sapaan Gita. Gerakannya kaku dan penuh determinasi, membuat atmosfer rumah mendadak terasa lebih dingin. "Kamu ini ya, Gita," kata Rima, suaranya bergetar antara amarah dan rasa frustrasi, "memang enggak pernah bikin hi
Adrian duduk di meja ruang makan, memandangi layar ponselnya yang dipenuhi dengan notifikasi tentang laporan-laporan perusahaan. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya mencerminkan tekad yang perlahan bangkit. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa menangani semua ini, meski kondisi fisiknya tak lagi seperti dulu.Gita mendekatinya dengan segelas air di tangan. Perutnya yang semakin besar membatasi gerakannya, tetapi perhatian dan kekhawatirannya pada Adrian tetap terasa kuat. "Kamu kelihatan sibuk banget. Ada masalah lagi?" tanyanya lembut sambil meletakkan gelas di meja.Adrian mendongak, tersenyum tipis meski lelah. "Bukan cuma masalah lagi, Git. Ini sudah seperti badai besar.” Adrian memandang tangan Gita, lalu menghela napas. "Aku harus pergi ke kantor hari ini. Situasinya makin buruk, dan aku nggak bisa tinggal diam."Gita mengerutkan kening. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.Adrian menatapnya, sedikit terkejut oleh nada tegas itu. "Gita, kamu nggak per
Di ruang kerja rumahnya, Adrian duduk dengan wajah tegang, berhadapan dengan Hendri yang berdiri sambil memegang map dokumen. Hendri menarik napas panjang sebelum berbicara.“Pak Adrian, maaf kalau ini terdengar terlalu blak-blakan, tapi gosip yang beredar mulai berdampak serius pada perusahaan. Tiga klien utama kita mengajukan pertanyaan terkait berita itu. Mereka bilang, mereka butuh kepastian untuk tetap melanjutkan kerjasama,” ucap Hendri hati-hati, memperhatikan ekspresi Adrian.Adrian memejamkan matanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa detail yang mereka tanyakan?” suaranya terdengar berat, tapi tenang.“Mayoritas tentang isu hubungan pribadi itu, Pak. Mereka khawatir kredibilitas perusahaan kita terkena dampak, terutama di media sosial. Sudah ada dua unggahan anonim yang viral, menyebutkan bahwa perusahaan ini tidak lagi stabil,” jawab Hendri.Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kema
Adrian duduk di kursi rodanya, matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Tautan artikel itu masih terbuka, seolah menjadi duri yang menusuk hatinya. Judul provokatif itu terus bergema di pikirannya: “Dokter Kandungan atau Sahabat Lama? Rumor Kedekatan Istri Adrian dan Naufal Membuat Publik Bertanya-tanya.”Pikirannya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hendri telah memperingatkannya agar tetap tenang, tetapi perasaan cemburu dan terluka perlahan merayap masuk, mengguncang kendali yang coba ia pertahankan.Gita muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya penuh perhatian, senyumnya mencoba mencairkan suasana. “Teh buat kamu,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil di samping Adrian. Namun, ia langsung menangkap kegelisahan di wajah suaminya.“Kamu terlihat tegang. Ada apa?” tanyanya lembut, matanya menatap Adrian penuh rasa cemas.Adrian menggeleng perlahan, berusaha menyembunyika
Pagi itu, suasana rumah terasa dingin. Gita mencoba mengalihkan pikiran dari pertengkaran semalam dengan rutinitasnya di dapur. Aroma kopi menguar lembut di udara, tapi tidak cukup untuk menghangatkan hati yang penuh keraguan. Dia membawa nampan berisi sepiring roti, telur, dan secangkir kopi, lalu berjalan ke ruang makan tempat Adrian duduk dengan pandangan kosong di kursi rodanya.“Ini sarapannya, Dri,” ujar Gita, mencoba terdengar hangat.Adrian menoleh perlahan, matanya tajam namun tidak berkata-kata. Setelah beberapa saat, ia hanya menggeleng pelan. “Aku nggak lapar,” jawabnya singkat, menolak dengan suara datar.Gita terdiam sejenak, berusaha membaca suasana hati suaminya. Dia tahu, percakapan mereka semalam masih menyisakan luka yang belum sembuh. Menarik napas panjang, Gita menurunkan nampan ke meja lalu duduk di hadapan Adrian. Tangannya bertumpu pada meja, dan ia menatap Adrian dengan ekspresi penuh perhatian.“Adrian, kita