Semua Bab 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT: Bab 31 - Bab 40

96 Bab

Bab 31 : Sambutan Yang Tidak Ramah

Di balik Bukit Sarang Merpati ada sebuah lembah yang ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan obat. Di sinilah tempat berdirinya perguruan Teratai Jingga, salah satu perguruan silat yang cukup disegani dan memiliki nama yang tersohor.Janaloka sekarang berdiri di hadapan pintu gerbang perguruan tersebut. Dia datang dengan membawa sebuah pesan dari Ki Nawasena, yaitu ajakan persatuan kepada seluruh pendekar aliran putih untuk melawan huru-hara di dunia persilatan.Empat orang murid yang menjaga pintu gerbang lalu menghampiri Janaloka. Salah satu dari mereka bertanya, “Siapa kau, Orang Tua? Ada urusan apa datang kemari?”Murid perguruan itu bertanya dengan nada kasar, tapi Janaloka menjawabnya dengan tenang, “Namaku Janaloka. Aku adalah teman dari mendiang guru besar kalian, Nyai Maheswari. Aku datang hendak bertemu penerus perguruan ini. Ada hal penting yang mesti aku sampaikan.”Murid itu bertanya lagi, “Darimana kautahu bahwa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-30
Baca selengkapnya

Bab 32 : Cupik Emas

Alindra pagi itu sedang sibuk menyirami tanaman obat, dia dibuat terkejut karena mendengar suara keribuatan yang bersumber dari arah pintu gerbang. Abirama lalu muncul dan berjalan menghampirinya, tampaknya sang kakak itu juga mendengar suara yang sama.“Sepertinya sesuatu telah terjadi di depan sana,” kata Abirama kepada Alindra.“Ayo kita coba lihat ke sana, Kakang” ajak Alindra, dia lalu meletakkan di tanah gayung yang tadi dipakainya untuk menyirami tanaman.Mereka berdua segera bergegas mendatangi sumber keributan itu. Hanya baru beberapa langkah keduanya berjalan, tiba-tiba Janaloka pun muncul di hadapan mereka. Alindra dan Abirama merasa asing dengan tamu yang datang ini.Janaloka menjura hormat kepada keduanya. Sambil tersenyum, dia pun berkata, “Maafkanlah aku yang sudah membuat keributan di tempat ini. Aku terpaksa memberi sedikit pelajaran pada empat murid yang tadi menghalangiku. Perkenalkan, namaku Janaloka, aku
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-30
Baca selengkapnya

Bab 33 : Seseorang di Balik Argani

Janaloka mengusap jengkot putihnya yang panjang. Dia berkata, “Kalau begitu, ini memang sudah saatnya akan terjadi peperangan besar antara kebaikan melawan kejahatan. Tugas kita adalah mempersiapkan diri. Cepat atau lambat, musuh pasti akan menyerang kita semua.”“Mungkin itu saja pesan yang bisa kusampaikan dari gusti prabu kepada kalian,” ujar Senopati Taraka kepada Abirama dan juga Alindra, ini sebagai tanda kalau dia masih harus mendatangi perguruan yang lain. “Jika kalian sudah punya waktu luang, aku harap segera menghadap ke istana dan menemui gusti Prabu Surya Buana.”Janaloka bertanya, “Setelah ini Tuan Senopati akan pergi kemana?”“Mungkin aku akan ke padepokan Lenggo Geni di seberang Sungai Pinang Muda. Aku hendak menemui Datuk Ancala Raya untuk menyampaikan pesan yang serupa kepadanya,” jawab Senopati Taraka. “Datuk Ancala Raya? Apakah pendekar sepuh itu masih hidup hingga hari ini?” Janaloka mengernyitkan kulit dahinya.“Iya, beliau masih hidup sampai sekarang walau umurn
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-31
Baca selengkapnya

Bab 34 : Tiga Sumpah Yang Tak Boleh Dillanggar

Dalam sebuah desa di seberang Sungai Pinang Muda, Patrioda tengah melatih anak-anak murid padepokan Lenggo Geni. Ada empat puluhan orang yang sedang berlatih siang itu, sebagiannya lagi sedang beristirahat, dan sisanya yang ain menjalankan tugas menjaga gerbang padepokan.Patrioda berjalan di antara para murid, membimbing mereka dalam melakukan sikap kuda-kuda, membetulkan posisi tangan dan juga posisi mereka berdiri. Dia menguji kekokohan kuda-kuda setiap anak didiknya dengan menendang kaki mereka satu persatu.Di bawah terik mentari yang membakar kulit, murid-murid padepokan Lenggo Geni tetap semangat dan tidak manja. Mereka sadar kalau sebentar lagi akan ada perang besar antara aliran putih dan aliran hitam, sebab berita munculnya Persaudaraan Iblis telah sampai ke telinga Datuk Ancala, maka sedari sekaranglah padepokan Lenggo Geni membuat persiapan.Datuk Ancala Raya berdiri di depan pintu rumahnya. Dia mengenakan baju warna merah hati dan ikat kepala berwarna coklat. Pendekar sep
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-01
Baca selengkapnya

Bab 35 : Kegaduhan di Padepokan Lenggo Geni

Celeng Ireng mengamuk seganas-ganasnya di area depan padepokan Lenggo Geni. Siluman berkepala babi itu membantai para murid tanpa belas kasihan. Siapa pun yang berani maju, langsung akan dia bunuh dengan tombak trisula miliknya yang bermata runcing.Di antara para murid ada yang coba melarikan diri, tapi Celeng Ireng bergerak sangat cepat, dengan sekali lompatan saja tubuhnya mampu melayang, dia lalu menendang satu persatu kepala setiap murid yang hendak kabur itu.Enam belas orang yang murid yang siap bertempur kemudian muncul dengan membawa golok, mereka berusaha menahan Celeng Ireng dengan berkeliling membentuk lingkaran. Inilah formasi yang dinamakan Lingkaran Naga Melilit Gunung.Bagi Celeng Ireng sangat mudah menghancurkan kepungan tersebut, diayunkannyalah tongkat trisula dengan kedua tangan seraya memutar badan, lalu deburan angin pun muncul dan membuat semua murid itu terpelanting.Empat puluh orang murid yang lain datang lagi dengan membawa senjata bambu runcing. Mereka hend
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-01
Baca selengkapnya

Bab 36 : Jurus Moncong Naga Menyambar Danau

Semua anak murid bergerak menepi dan tidak lagi ikut campur. Ini adalah waktunya bagi guru besar mereka dan si kakak senior untuk menampilkan kebolehan bermain silat. Pertarungan dua lawan dua sebentar lagi akan dimulai, yaitu antara Datuk Ancala Raya dan Patrioda menghadapi dua pendekar dari Persaudaraan Iblis.Datuk Ancala Raya membuka gaya dengan gerakan bunga dan langkah silat khas dari aliran Lenggo Geni. Sementara di seberangnya, Jimbalang Loreng bersiap bagai seekor macan yang sedang mengawasi mangsa.Dalam waktu sejenak keduanya saling melempar tatapan, berbagi ketajaman sorot mata, seolah berusaha saling membaca dan menilai tingkat ketangguhan satu sama lain.Jimbalang Loreng pun mengawali serangan. Dia melompat ke depan, tangan kirinya terulur hendak mencengkram ke leher lawan. Jari-jarinya itu berhasil menyambar tepat sasaran dan mencekik kuat Datuk Ancala Raya. Inilah jurus Cakar Besi, teknik yang kerap dia gunakan untuk memutus aliran nafas lawannya. Tapi Datuk Ancala Ra
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-01
Baca selengkapnya

Bab 37 : Perubahan Wujud Jimbalang Loreng

Di tempat yang tidak jauh dari ledakan besar tadi, Patrioda juga dengan gagahnya sedang menghadapi Celeng Ireng. Sudah beberapa kali ujung tongkat trisula yang bercabang tiga itu menyambar ke muka Patrioda, ke perut, dan juga ke lehernya, tapi dia bisa selamat tanpa terluka sedikit pun.Celeng Ireng dari semula memang sangat serius, ternyata dia adalah lawan yang seimbang untuk Patrioda. Keganasan siluman babi ini tidak bisa disepelekan, sebab tongkat trisula yang dia genggam seakan-akan memang haus darah dan hendak memburu nyawa. “Sudah cukup main-mainnya, Bocah Kunyuk!” bentak Celeng Ireng karena kesal. Dengan nada tinggi dia bertanya, “Mengapa dari tadi kau hanya menghindar dan tidak balik menyerang? Apa kau takut?”“Aku hanya ingin mengukur dahulu kehebatanmu,” jawab Patrioda, dia berucap demikian bermaksud untuk memancing amarah siluman babi itu. “Sekarang aku tahu, rupanya kau memang tidak mengerti ilmu silat
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-02
Baca selengkapnya

Bab 38 : Dendalam Lama Dewa Kalajengking

Argani Bhadrika mendatangi puncak Gunung Ratri sendirian. Siang hari ini dia hendak menemui seorang tokoh aliran hitam yang bernama Kertabalakosa, karena Tongkat Tembaga Merah tidak mungkin bisa direbut dari tangan Nyai Parmadita jika hanya mengandalkan kekuatan Bayu Halimun dan Manik Maya saja.Argani sadar kalau dirinya sendiri juga tidak sanggup mengimbangi kesaktian Nyai Parmadita, hanya Kertabalakosa yang dapat membantunya dalam hal ini.Orang yang akan ditemui oleh Argani itu terkenal dengan julukan sebagai Dewa Kalajengking, dia bersembunyi di Gua Sarang Siluman yang dahulu pernah jadi tempat kediaman Iblis Hitam. Si Dewa Kalajengking ini sangat sadis, jahat, dan juga tidak punya rasa belas kasihan.Ketika telah sampai di depan pintu gua, Argani pun berseru, “Keluarlah kau, wahai Penyihir Kegelapan! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Seorang pria tua yang bermata sayu dan berkulit keriput kemudian keluar dari dalam gua itu.Dia berjalan lambat sambil memakai tong
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-02
Baca selengkapnya

Bab 39 : Masih Muda, Tapi Haus Kedudukan.

Janaloka dan Senopati Taraka akhirnya sampai di depan pintu gerbang padepokan Lenggo Geni. Mereka tidak ada melihat satu murid pun yang menjaga di gerbang itu, hal ini tentu menurut keduanya adalah sesuatu yang tidak biasa.“Aneh sekali, kemana para murid padepokan ini? Apa mereka semuanya sedang berada di dalam?” Janaloka berbicara pada Senopati Taraka sambil memandang jauh ke depan.“Entahlah, Ki. Ayo kita masuk saja ke dalam kalau begitu dan langsung menemui Datuk Ancala Raya,” usul Senopati Taraka.Janaloka mengangguk setuju. “Ayo, mari!”Sesampainya mereka di halaman rumah Datuk Ancala Raya, tampaklah sejumlah murid sedang berkumpul di sana. Tapi yang mengherankan bagi mereka adalah kenapa semua murid itu wajahnya lebam seperti habis kena pukul.Yang lebih mengejutkannya lagi, Janaloka dan Senopati Taraka melihat kalau ada banyak mayat-mayat yang disusun berbaris, dan pada bagian di paling depan ada satu mayat yang berselimut kain putih.Patrioda yang melihat kedatangan dua orang
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-02
Baca selengkapnya

Bab 40 : Perjalanan ke Gunung Payoda

Di sore hari yang cerah awan jingga mempesona menghiasi langit, rumput ilalang di tepian sungai bergoyang diterpa angin bak para penari yang mengikuti irama musik, sekawanan burung telah selesai mencari makan dan terbang berbondong untuk pulang ke sarang mereka, suasana begitu tenang, dan seorang pengembala terlihat sedang membawa kambing-kambing peliharannya kembali dari padang rumput.Giandra saat itu tengah berkuda dalam perjalanan. Dari tempat ini dia sudah bisa melihat wujud Gunung Payoda yang tinggi menjulang di sebelah Barat. Karena berpapasan dengan seorang pengembala di jalan, Giandra pun berhenti sejenak untuk bertanya. Si pengembala ini tampak masih remaja, umurnya mungkin baru belasan tahun, dia mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Pengembala itu mendongak dan memandang kepada Giandra yang duduk di atas kuda putih."Maaf, Kisanak, saya mau numpang bertanya. Apakah ada jalur yang cepat dan tidak terhalang hutan untuk menuju ke gunung itu.” Giandra menunjuk ke a
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-03
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status