Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 35 : Kegaduhan di Padepokan Lenggo Geni

Share

Bab 35 : Kegaduhan di Padepokan Lenggo Geni

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-11-01 15:34:45

Celeng Ireng mengamuk seganas-ganasnya di area depan padepokan Lenggo Geni. Siluman berkepala babi itu membantai para murid tanpa belas kasihan. Siapa pun yang berani maju, langsung akan dia bunuh dengan tombak trisula miliknya yang bermata runcing.

Di antara para murid ada yang coba melarikan diri, tapi Celeng Ireng bergerak sangat cepat, dengan sekali lompatan saja tubuhnya mampu melayang, dia lalu menendang satu persatu kepala setiap murid yang hendak kabur itu.

Enam belas orang yang murid yang siap bertempur kemudian muncul dengan membawa golok, mereka berusaha menahan Celeng Ireng dengan berkeliling membentuk lingkaran. Inilah formasi yang dinamakan Lingkaran Naga Melilit Gunung.

Bagi Celeng Ireng sangat mudah menghancurkan kepungan tersebut, diayunkannyalah tongkat trisula dengan kedua tangan seraya memutar badan, lalu deburan angin pun muncul dan membuat semua murid itu terpelanting.

Empat puluh orang murid yang lain datang lagi dengan membawa senjata bambu runcing. Mereka hend
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 36 : Jurus Moncong Naga Menyambar Danau

    Semua anak murid bergerak menepi dan tidak lagi ikut campur. Ini adalah waktunya bagi guru besar mereka dan si kakak senior untuk menampilkan kebolehan bermain silat. Pertarungan dua lawan dua sebentar lagi akan dimulai, yaitu antara Datuk Ancala Raya dan Patrioda menghadapi dua pendekar dari Persaudaraan Iblis.Datuk Ancala Raya membuka gaya dengan gerakan bunga dan langkah silat khas dari aliran Lenggo Geni. Sementara di seberangnya, Jimbalang Loreng bersiap bagai seekor macan yang sedang mengawasi mangsa.Dalam waktu sejenak keduanya saling melempar tatapan, berbagi ketajaman sorot mata, seolah berusaha saling membaca dan menilai tingkat ketangguhan satu sama lain.Jimbalang Loreng pun mengawali serangan. Dia melompat ke depan, tangan kirinya terulur hendak mencengkram ke leher lawan. Jari-jarinya itu berhasil menyambar tepat sasaran dan mencekik kuat Datuk Ancala Raya. Inilah jurus Cakar Besi, teknik yang kerap dia gunakan untuk memutus aliran nafas lawannya. Tapi Datuk Ancala Ra

    Last Updated : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 37 : Perubahan Wujud Jimbalang Loreng

    Di tempat yang tidak jauh dari ledakan besar tadi, Patrioda juga dengan gagahnya sedang menghadapi Celeng Ireng. Sudah beberapa kali ujung tongkat trisula yang bercabang tiga itu menyambar ke muka Patrioda, ke perut, dan juga ke lehernya, tapi dia bisa selamat tanpa terluka sedikit pun.Celeng Ireng dari semula memang sangat serius, ternyata dia adalah lawan yang seimbang untuk Patrioda. Keganasan siluman babi ini tidak bisa disepelekan, sebab tongkat trisula yang dia genggam seakan-akan memang haus darah dan hendak memburu nyawa.“Sudah cukup main-mainnya, Bocah Kunyuk!” bentak Celeng Ireng karena kesal. Dengan nada tinggi dia bertanya, “Mengapa dari tadi kau hanya menghindar dan tidak balik menyerang? Apa kau takut?”“Aku hanya ingin mengukur dahulu kehebatanmu,” jawab Patrioda, dia berucap demikian bermaksud untuk memancing amarah siluman babi itu. “Sekarang aku tahu, rupanya kau memang tidak mengerti ilmu silat

    Last Updated : 2024-11-02
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 38 : Dendalam Lama Dewa Kalajengking

    Argani Bhadrika mendatangi puncak Gunung Ratri sendirian. Siang hari ini dia hendak menemui seorang tokoh aliran hitam yang bernama Kertabalakosa, karena Tongkat Tembaga Merah tidak mungkin bisa direbut dari tangan Nyai Parmadita jika hanya mengandalkan kekuatan Bayu Halimun dan Manik Maya saja.Argani sadar kalau dirinya sendiri juga tidak sanggup mengimbangi kesaktian Nyai Parmadita, hanya Kertabalakosa yang dapat membantunya dalam hal ini.Orang yang akan ditemui oleh Argani itu terkenal dengan julukan sebagai Dewa Kalajengking, dia bersembunyi di Gua Sarang Siluman yang dahulu pernah jadi tempat kediaman Iblis Hitam. Si Dewa Kalajengking ini sangat sadis, jahat, dan juga tidak punya rasa belas kasihan.Ketika telah sampai di depan pintu gua, Argani pun berseru, “Keluarlah kau, wahai Penyihir Kegelapan! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Seorang pria tua yang bermata sayu dan berkulit keriput kemudian keluar dari dalam gua itu.Dia berjalan lambat sambil memakai tong

    Last Updated : 2024-11-02
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 39 : Masih Muda, Tapi Haus Kedudukan.

    Janaloka dan Senopati Taraka akhirnya sampai di depan pintu gerbang padepokan Lenggo Geni. Mereka tidak ada melihat satu murid pun yang menjaga di gerbang itu, hal ini tentu menurut keduanya adalah sesuatu yang tidak biasa.“Aneh sekali, kemana para murid padepokan ini? Apa mereka semuanya sedang berada di dalam?” Janaloka berbicara pada Senopati Taraka sambil memandang jauh ke depan.“Entahlah, Ki. Ayo kita masuk saja ke dalam kalau begitu dan langsung menemui Datuk Ancala Raya,” usul Senopati Taraka.Janaloka mengangguk setuju. “Ayo, mari!”Sesampainya mereka di halaman rumah Datuk Ancala Raya, tampaklah sejumlah murid sedang berkumpul di sana. Tapi yang mengherankan bagi mereka adalah kenapa semua murid itu wajahnya lebam seperti habis kena pukul.Yang lebih mengejutkannya lagi, Janaloka dan Senopati Taraka melihat kalau ada banyak mayat-mayat yang disusun berbaris, dan pada bagian di paling depan ada satu mayat yang berselimut kain putih.Patrioda yang melihat kedatangan dua orang

    Last Updated : 2024-11-02
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 40 : Perjalanan ke Gunung Payoda

    Di sore hari yang cerah awan jingga mempesona menghiasi langit, rumput ilalang di tepian sungai bergoyang diterpa angin bak para penari yang mengikuti irama musik, sekawanan burung telah selesai mencari makan dan terbang berbondong untuk pulang ke sarang mereka, suasana begitu tenang, dan seorang pengembala terlihat sedang membawa kambing-kambing peliharannya kembali dari padang rumput.Giandra saat itu tengah berkuda dalam perjalanan. Dari tempat ini dia sudah bisa melihat wujud Gunung Payoda yang tinggi menjulang di sebelah Barat. Karena berpapasan dengan seorang pengembala di jalan, Giandra pun berhenti sejenak untuk bertanya. Si pengembala ini tampak masih remaja, umurnya mungkin baru belasan tahun, dia mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Pengembala itu mendongak dan memandang kepada Giandra yang duduk di atas kuda putih."Maaf, Kisanak, saya mau numpang bertanya. Apakah ada jalur yang cepat dan tidak terhalang hutan untuk menuju ke gunung itu.” Giandra menunjuk ke a

    Last Updated : 2024-11-03
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 41 : Cambuk Penarik Daya

    Surya di barat sudah hampir terbenam, tapi kuda putih itu masih perkasa dan kuat berlari, jembatan gantung dan perkampungan telah dilewati, dan kini belantara yang liar hadir terbentang di hadapan Giandra.Semakin dia masuk ke dalam hutan itu, maka semakin terasalah keangkeran suasananya mulai menyapa batin Giandra. Apakah nanti akan muncul dedemit, hantu, atau bahkan siluman, semua harus Giandra hadapi bila dia tetap ingin meneruskan perjalanan ini.Jika memang sudah takdirnya akan bertemu rintangan, maka tak jua bisa dielakkan, begitulah yang Giandra yakini. Kengerian yang saat ini berbisik di hatinya bukanlah ketakutan terhadap makhluk halus, melainkan ancaman dari binatang buas yang lapar di malam hari, itulah yang lebih berbahaya.Matahari pun akhirnya semakin turun dan hampir menyentuh kaki cakrawala, warna pucat kini mendekap seluruh langit, menandakan kalau senja tak lama lagi akan berganti malam. Setelah cukup jauh menyusuri hutan seorang diri, Giandra pun akhirnya menemukan

    Last Updated : 2024-11-03
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 42 : Negeri Siluman Ular Kipas

    “Laki-laki ini harus dihukum! Ayo kita bawa dia ke istana,” kata gadis yang memegang cambuk itu pada kawan-kawannya.Para wanita cantik itu pun melompat dari dalam air dan terbang, Giandra juga ikut ditarik bersama dengan mereka. Sekarang Giandra bisa melihat kalau rupanya gadis-gadis itu hanya berwujud manusia sebatas dada saja, sedangkan ke bawahnya lagi tubuh mereka adalah ular.Batin Giandra penuh rasa campur aduk saat dirinya dibawa pergi dari danau itu, ada gugup, khawatir, aneh, dan juga seakan tidak percaya, sebab baru kali ini dia mendapatkan pengalaman diajak melayang tinggi melintasi langit seperti seekor burung.Perjalanan menuju Istana Ular Kipas bagaikan sebuah mimpi. Deburan angin kencang menerpa tubuh Giandra dan bergemuruh di telinganya. Dari ketinggian ini dia hanya bisa menyaksikan kegelapan hutan di bawah sana, dia sadar kalau sekarang tubuhnya melayang sekitar lima puluh tombak dari bumi.Akhirnya sampailah mereka di suatu

    Last Updated : 2024-11-04
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 43 : Putusnya Cambuk Panglima Gandari

    Giandra dan Panglima Gandari hanya diam menunggu keputusan dari sang puteri. Setelah wanita itu selesai menyapukan pandangannya ke segala bagian dari diri Giandra, dia pun penasaran, dia ingin tahu seberapa tangguhkah Giandra jika seandainya berduel dengan Gandari.Puteri Nilam Sari bangkit dari singgasananya dan berjalan menuruni tiga anak tangga. Dia berkata pada Giandra, “Kau terlihat perkasa dan tangguh. Apakah kau seorang pendekar?”“Apakah aku ini pendekar atau pun tidak, hal itu tidak dapat dibuktikan dengan jawaban lisan,” jawab Giandra.Alis puteri Nilam Sari yang lurus itu pun bergerak ke depan. Dengan sedikit tersenyum dia bertanya, “Oh, jadi kau ingin menantang panglimaku ini dengan sebuah pertarungan? Begitukah maksudmu?”Giandra menjura hormat dan berkata, “Hamba tidak menantang siapa pun, Tuan Puteri. Hamba hanya menjawab pertanyaan tuan puteri barusan.”Puteri Nilam Sari membalik badan. Dengan anggun dia berjalan meniti kembali anak tangga, lalu berputar dan duduk lagi

    Last Updated : 2024-11-04

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 112 : Mengobati Sang Prabu

    Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 111 : Terciduk di Dapur

    Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 110 : Terpaksa Tunduk

    Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 109 : Sihir Kabut Hitam Delapan Penjuru

    Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 108 : Ada Yang Diam-diam Menguping

    Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 107 : Tewasnya Celeng Ireng

    Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 106 : Sihir Tipuan

    Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 105 : Berakhirnya Buruk Rupa Argani Bhadrika

    Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status