Di tempat yang tidak jauh dari ledakan besar tadi, Patrioda juga dengan gagahnya sedang menghadapi Celeng Ireng. Sudah beberapa kali ujung tongkat trisula yang bercabang tiga itu menyambar ke muka Patrioda, ke perut, dan juga ke lehernya, tapi dia bisa selamat tanpa terluka sedikit pun.Celeng Ireng dari semula memang sangat serius, ternyata dia adalah lawan yang seimbang untuk Patrioda. Keganasan siluman babi ini tidak bisa disepelekan, sebab tongkat trisula yang dia genggam seakan-akan memang haus darah dan hendak memburu nyawa.“Sudah cukup main-mainnya, Bocah Kunyuk!” bentak Celeng Ireng karena kesal. Dengan nada tinggi dia bertanya, “Mengapa dari tadi kau hanya menghindar dan tidak balik menyerang? Apa kau takut?”“Aku hanya ingin mengukur dahulu kehebatanmu,” jawab Patrioda, dia berucap demikian bermaksud untuk memancing amarah siluman babi itu. “Sekarang aku tahu, rupanya kau memang tidak mengerti ilmu silat
Argani Bhadrika mendatangi puncak Gunung Ratri sendirian. Siang hari ini dia hendak menemui seorang tokoh aliran hitam yang bernama Kertabalakosa, karena Tongkat Tembaga Merah tidak mungkin bisa direbut dari tangan Nyai Parmadita jika hanya mengandalkan kekuatan Bayu Halimun dan Manik Maya saja.Argani sadar kalau dirinya sendiri juga tidak sanggup mengimbangi kesaktian Nyai Parmadita, hanya Kertabalakosa yang dapat membantunya dalam hal ini.Orang yang akan ditemui oleh Argani itu terkenal dengan julukan sebagai Dewa Kalajengking, dia bersembunyi di Gua Sarang Siluman yang dahulu pernah jadi tempat kediaman Iblis Hitam. Si Dewa Kalajengking ini sangat sadis, jahat, dan juga tidak punya rasa belas kasihan.Ketika telah sampai di depan pintu gua, Argani pun berseru, “Keluarlah kau, wahai Penyihir Kegelapan! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Seorang pria tua yang bermata sayu dan berkulit keriput kemudian keluar dari dalam gua itu.Dia berjalan lambat sambil memakai tong
Janaloka dan Senopati Taraka akhirnya sampai di depan pintu gerbang padepokan Lenggo Geni. Mereka tidak ada melihat satu murid pun yang menjaga di gerbang itu, hal ini tentu menurut keduanya adalah sesuatu yang tidak biasa.“Aneh sekali, kemana para murid padepokan ini? Apa mereka semuanya sedang berada di dalam?” Janaloka berbicara pada Senopati Taraka sambil memandang jauh ke depan.“Entahlah, Ki. Ayo kita masuk saja ke dalam kalau begitu dan langsung menemui Datuk Ancala Raya,” usul Senopati Taraka.Janaloka mengangguk setuju. “Ayo, mari!”Sesampainya mereka di halaman rumah Datuk Ancala Raya, tampaklah sejumlah murid sedang berkumpul di sana. Tapi yang mengherankan bagi mereka adalah kenapa semua murid itu wajahnya lebam seperti habis kena pukul.Yang lebih mengejutkannya lagi, Janaloka dan Senopati Taraka melihat kalau ada banyak mayat-mayat yang disusun berbaris, dan pada bagian di paling depan ada satu mayat yang berselimut kain putih.Patrioda yang melihat kedatangan dua orang
Di sore hari yang cerah awan jingga mempesona menghiasi langit, rumput ilalang di tepian sungai bergoyang diterpa angin bak para penari yang mengikuti irama musik, sekawanan burung telah selesai mencari makan dan terbang berbondong untuk pulang ke sarang mereka, suasana begitu tenang, dan seorang pengembala terlihat sedang membawa kambing-kambing peliharannya kembali dari padang rumput.Giandra saat itu tengah berkuda dalam perjalanan. Dari tempat ini dia sudah bisa melihat wujud Gunung Payoda yang tinggi menjulang di sebelah Barat. Karena berpapasan dengan seorang pengembala di jalan, Giandra pun berhenti sejenak untuk bertanya. Si pengembala ini tampak masih remaja, umurnya mungkin baru belasan tahun, dia mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Pengembala itu mendongak dan memandang kepada Giandra yang duduk di atas kuda putih."Maaf, Kisanak, saya mau numpang bertanya. Apakah ada jalur yang cepat dan tidak terhalang hutan untuk menuju ke gunung itu.” Giandra menunjuk ke a
Surya di barat sudah hampir terbenam, tapi kuda putih itu masih perkasa dan kuat berlari, jembatan gantung dan perkampungan telah dilewati, dan kini belantara yang liar hadir terbentang di hadapan Giandra.Semakin dia masuk ke dalam hutan itu, maka semakin terasalah keangkeran suasananya mulai menyapa batin Giandra. Apakah nanti akan muncul dedemit, hantu, atau bahkan siluman, semua harus Giandra hadapi bila dia tetap ingin meneruskan perjalanan ini.Jika memang sudah takdirnya akan bertemu rintangan, maka tak jua bisa dielakkan, begitulah yang Giandra yakini. Kengerian yang saat ini berbisik di hatinya bukanlah ketakutan terhadap makhluk halus, melainkan ancaman dari binatang buas yang lapar di malam hari, itulah yang lebih berbahaya.Matahari pun akhirnya semakin turun dan hampir menyentuh kaki cakrawala, warna pucat kini mendekap seluruh langit, menandakan kalau senja tak lama lagi akan berganti malam. Setelah cukup jauh menyusuri hutan seorang diri, Giandra pun akhirnya menemukan
“Laki-laki ini harus dihukum! Ayo kita bawa dia ke istana,” kata gadis yang memegang cambuk itu pada kawan-kawannya.Para wanita cantik itu pun melompat dari dalam air dan terbang, Giandra juga ikut ditarik bersama dengan mereka. Sekarang Giandra bisa melihat kalau rupanya gadis-gadis itu hanya berwujud manusia sebatas dada saja, sedangkan ke bawahnya lagi tubuh mereka adalah ular.Batin Giandra penuh rasa campur aduk saat dirinya dibawa pergi dari danau itu, ada gugup, khawatir, aneh, dan juga seakan tidak percaya, sebab baru kali ini dia mendapatkan pengalaman diajak melayang tinggi melintasi langit seperti seekor burung.Perjalanan menuju Istana Ular Kipas bagaikan sebuah mimpi. Deburan angin kencang menerpa tubuh Giandra dan bergemuruh di telinganya. Dari ketinggian ini dia hanya bisa menyaksikan kegelapan hutan di bawah sana, dia sadar kalau sekarang tubuhnya melayang sekitar lima puluh tombak dari bumi.Akhirnya sampailah mereka di suatu
Giandra dan Panglima Gandari hanya diam menunggu keputusan dari sang puteri. Setelah wanita itu selesai menyapukan pandangannya ke segala bagian dari diri Giandra, dia pun penasaran, dia ingin tahu seberapa tangguhkah Giandra jika seandainya berduel dengan Gandari.Puteri Nilam Sari bangkit dari singgasananya dan berjalan menuruni tiga anak tangga. Dia berkata pada Giandra, “Kau terlihat perkasa dan tangguh. Apakah kau seorang pendekar?”“Apakah aku ini pendekar atau pun tidak, hal itu tidak dapat dibuktikan dengan jawaban lisan,” jawab Giandra.Alis puteri Nilam Sari yang lurus itu pun bergerak ke depan. Dengan sedikit tersenyum dia bertanya, “Oh, jadi kau ingin menantang panglimaku ini dengan sebuah pertarungan? Begitukah maksudmu?”Giandra menjura hormat dan berkata, “Hamba tidak menantang siapa pun, Tuan Puteri. Hamba hanya menjawab pertanyaan tuan puteri barusan.”Puteri Nilam Sari membalik badan. Dengan anggun dia berjalan meniti kembali anak tangga, lalu berputar dan duduk lagi
Gadis panglima itu pelan-pelan berusaha untuk bangkit dari jatuhnya. Meski kakinya sekarang gemetar, tapi dia kembali memasang kuda-kuda. Baru kali ini Gandari menemukan lawan yang kuat. Sekarang dia tahu kalau Giandra bukan pendekar sembarangan.“Wanita ini masih belum menyerah juga,” batin Giandra tak habis pikir. Dia melihat kalau mulut Gandari sudah berlumuran darah sampai ke dagu.Untuk beberapa saat, si gadis panglima itu memainkan gerakan bunga silat seperti orang yang sedang menari, kemudian dia menunduk dan telapak tangan kirinya memukul lantai.Tiba-tiba bola mata Gandari berubah menjadi kuning keemasan, dari tubuhnya terpancar cahaya hijau yang sangat terang, sampai-sampai Giandra menutupi wajahnya dengan siku karena silau.Setelah cahaya itu lenyap, Giandra pun menurunkan tangannya dan kembali menatap ke depan, tiba-tiba Gandari sudah berubah wujud menjadi seekor ular raksasa.Puteri Nilam Sari yang duduk di atas singgasana pun tersenyum. Dia tahu kalau Gandari sudah menggu
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya