Tiba-tiba Giandra teringat dengan tujuannya semula, kepergiannya meninggalkan padepokan Rajawali Angkasa adalah untuk menghancurkan Gerombolan Nogo Ireng di puncak Gunung Payoda. Akhirnya Giandra pun menarik tangannya dari pegangan Puteri Nilam Sari, dia mundur ke belakang sebab perempuan itu semakin merapat padanya.Giandra berkata, “Maafkan aku, Tuan Puteri. Ada tugas yang mesti kulaksanakan. Aku harus secepatnya pergi dari sini.”“Enak saja kau ingin pergi buru-buru. Aku belum memberkanmu izin untuk meninggalkan istana ini,” ujar Puteri Nilam Sari.“Tapi tugask sangat penting. Tolong jangan halangi aku.” Giandra berharap puteri siluman itu tidak menyusahkannya.Puteri Nilam Sari pun berkata, “Masih ada satu tantangan lagi yang harus kaulakukan, barulah setelahnya kau boleh pergi dari sini, Tuan Pendekar”“Tantangan apa lagi itu?” tanya Giandra sambil mengernyitkan kening.“Menikahiku,” jawab Puteri Nilam Sari.“Hah, menikahi Tuan Puteri?” Kedua alis Giandra terangkat ke atas.Puter
Setelah Giandra berhasil keluar dari Istana Ular Kipas dan meninggalkan kerajaan itu, kini saatnya dia kembali melanjutkan perjalanan. Di dalam hutan yang hanya diterangi sinar bulan purnama dan cahaya bintang-bintang, kuda putihnya berlari cepat menembus kegelapan malam.Semak-semak belukar di sekitar Giandra seakan memanggil dirinya, menggodanya supaya menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah ada bayangan manusia di sana, padahal hutan begitu sepi dan malam sudah sangat larut.Giandra tidak mau peduli, meski kadang bulu kuduknya juga merinding, dia menganggap kalau bayangan-bayangan yang tampak itu hanyalah halusinasi saja, sebab pikirannya telah terpengaruh oleh suasana malam yang mencekam.Sambil terus memacu kuda putihnya, tiba-tiba Giandra teringat lagi akan perkataan seorang pengembala yang sore tadi berjumpa dengannya di jalan, hutan ini katanya adalah sarang para dedemit dan juga siluman, apabila malam sudah semakin gelap, maka itulah waktu bagi mereka untu
“Tadi kau hanya beruntung bisa selamat dari cakar mautku, tapi sebaiknya kau berhat-hati, karena aku tidak segan membunuhmu untuk mendapatkan darah!”Giandra mengepalkan tangan dan siap melanjutkan pertarungan. “Terserah kau saja, Paman Pangeran Kelelawar. Aku ingin tahu kau masih punya jurus apa lagi.”Pangeran Kelelawar lalu terbang melesat ke depan. Cakar sebelah kanannya terulur dan hendak mengincar leher Giandra. Tampaklah kalau kuku-kuku siluman itu sangat runcing, serangan ini bisa saja merobek daging Giandra!Giandra tidak mengelak, tapi dia berani menghadang serangan itu, dia memutar badan dan melakukan tendangan balik melingkar dengan kaki kanan.Pangeran Kelelawar yang melihat kaki Giandra melibas ke arah mukanya spontan menarik lagi lengannya yang sudah terulur dan meliukkan badan ke belakang “Wussss”, kaki Giandra hampir saja menghantam dagunya.Siluman itu membalas tendangan dari Giandra dengan melakukan tendangan sabit. Kaki kanannya mengayun deras ke kepala Giandra. De
Pertarungan dengan Mahesa Bhamantara tadi memang cukup mendebarkan bagi Giandra, alhasil sekarang dia lumayan lelah karena tenaganya banyak terkuras. Giandra berharap kalau selanjutnya perjalanan ini benar-benar akan mulus.Tapi walau bagaimana pun, waktu larut malam memang suasananya amat mencekam, tentu berbagai marahabaya bisa saja muncul di tengah hutan seperti ini. Sambil terus memacu kudanya berlari, Giandra coba menghitung-hitung, barangkali dia akan mencapai puncak Gunung Payoda saat matahari telah terbit, itu pun jika seandainya dia tidak berhenti untuk tidur sejenak.Taburan bintang masih berkelipan di langit, malam yang panjang meniupkan rasa letih pada otot-otot Giandra yang belum ada beristirahat. Cahaya pucat bulan purnama masih setia menerangi langkah kudanya menyusuri belantara yang sunyi. Giandra berusaha bertahan, dia terus memaksakan kedua matanya agar tetap melihat jalan.Harapannya akan perjalanan yang mulus ternyata tidak terjadi sesuai keinginan, tiba-tiba muncu
Siluman kera putih tidak terima kalau dirinya kalah dari anak muda yang menurutnya baru berusia seumur jagung. Walau tenggorokannya masih sakit dan dagunya ngilu, dia kembali bangkit. Pertarungan belum selesai.Dia mengangkat gada besinya dan memutarnya di atas kepala “Wusss wusss wusss”. Ketika gada itu berputar kencang, maka muncullah kilatan-kilatan cahaya kuning pada gada tersebut.“Terimalah ini! Hiyaaa!” Siluman kera putih melempar gada besinya ke arah Giandra.Dengan sigap Giandra langsung melakukan gerakan kayang untuk menghindar. Gada itu melintas di atas dadanya, lalu menghantam ke pohon besar dan terjadilah ledakan.Sesaat setelah menghantam pohon dan membuatnya roboh, gada itu lalu melayang lagi ke arah Giandra, tapi Giandra secepatnya mengelak dengan melompat berputar ke kanan, akhirnya gada tersebut kembali lagi ke tangan siluman kera putih.“Hey, Anak manusia! kulihat dari tadi pedang yang tergantung dipunggungmu itu masih belum kaugunakan. Cabutlah segera pedangmu dari
“Uhuk uhuk uhuk.” Suara parau seorang lelaki paruh baya yang tengah batuk di dalam kamar terdengar sampai ke luar. Hal itu membuat Damayanti terbangun. Dia pun segera beranjak dari atas ranjang dan pergi ke dapur untuk membuatkan ramuan obat. Penyakit ayahnya itu tak jua kunjung sembuh, bahkan dari hari ke hari kelihatannya semakin bertambah parah.Sebentar lagi fajar akan terbit, tapi Bagaspati belum juga bisa tidur nyenyak, sesekali dia terjaga karena mimpi buruk, lalu kembali meriang dan menggigil dalam selimut.Damayanti akhirnya masuk ke kamar ayahnya itu dengan membawa segelas ramuan obat. Dalam remang-remang cahaya pelita yang redup, dia melihat wajah lelaki tua itu tampak bengkak dan sorot matanya amat sayu.Damayanti pun duduk di tepi ranjang dan menempelkan belakang tangannya di dahi sang ayah, terasalah suhu panas yang tinggi, dia terkejut, padahal siang tadi suhu badan ayahnya tidak seperti demikian.“Romo, ayo diminum dulu ramuan obatnya,” kata Damayanti, seraya menyodork
Setelah menempuh perjalanan berkuda yang cukup jauh dan hanya bisa tidur sebentar saja di hutan, akhirnya kini Giandra pun sampai di tempat tujuannya. Langit yang semula pucat sekarang semuanya tampak terang benderang, udara pagi begitu bersih, mengalir sejuk melewati hidung dan kerongkongannya.Matahari telah terbit di sebelah Timur, cahaya keemasan menyinari puncak Gunung Payoda, sekawanan burung yang hinggap di dahan pohon-pohon pinus menyambutnya dengan kicauan riang.Ketika itu daun-daun dan ilalang masih basah berselimut embun, bunga cantigi yang merah mulai memekarkan mahkotanya, begitu pun kembang saliara yang kuning juga berseri dengan warna cerahnya. Tapi ada satu perhiasan gunung yang paling menawan di mata Giandra, yaitu edelweis putih yang menjadi simbol cinta abadi.Namun, terlepas dari semua pemandangan indah itu, dari kejauhan Giandra melihat ada sebuah bangunan rumah besar yang beratapkan daun nipah dan dikelilingi pagar kayu. Dia yakin kalau itu adalah sarang Gerombo
Sudah terlalu banyak anggota Nogo Ireng yang tewas pagi ini, Prabaswara tidak ingin kalau harus mengorbankan lagi anak-anak buahnya yang lain, dia pun akhirnya mencabut sebilah pedang yang tersarung di pinggang sebelah kirinya.Sambil menggenggam erat gagang pedang itu dengan tangan kanan, dia membatin, “Jika pemuda ini kubiarkan terus melempar jatrum-jarum beracun, maka seluruh anggota Nogo Ireng bisa habis terbunuh. Aku harus menghadapinya satu lawan satu.”Prabaswara pun melompat, tubuhnya melayang di udara setinggi dua belas tombak dari bumi, lalu dia mendarat di atas atap rumah yang terbuat dari daun-daun nipah.Api amarah berkobar-kobar dalam dada Prabaswara. Dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah Giandra. “Kau hanya bisa menggunakan jarum beracun! Ayo ke sini, kita bertarung satu lawan satu jika kau berani!”Dengan senang hati Giandra menerima tantangan tersebut. Dia juga turun dan menginjakkan kaki di atap rumah itu. Sekarang keduanya saling berhadapan dalam jarak yang dekat
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya