Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 44 : Godaan Puteri Nilam Sari

Share

Bab 44 : Godaan Puteri Nilam Sari

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 15:18:50
Gadis panglima itu pelan-pelan berusaha untuk bangkit dari jatuhnya. Meski kakinya sekarang gemetar, tapi dia kembali memasang kuda-kuda. Baru kali ini Gandari menemukan lawan yang kuat. Sekarang dia tahu kalau Giandra bukan pendekar sembarangan.

“Wanita ini masih belum menyerah juga,” batin Giandra tak habis pikir. Dia melihat kalau mulut Gandari sudah berlumuran darah sampai ke dagu.

Untuk beberapa saat, si gadis panglima itu memainkan gerakan bunga silat seperti orang yang sedang menari, kemudian dia menunduk dan telapak tangan kirinya memukul lantai.

Tiba-tiba bola mata Gandari berubah menjadi kuning keemasan, dari tubuhnya terpancar cahaya hijau yang sangat terang, sampai-sampai Giandra menutupi wajahnya dengan siku karena silau.

Setelah cahaya itu lenyap, Giandra pun menurunkan tangannya dan kembali menatap ke depan, tiba-tiba Gandari sudah berubah wujud menjadi seekor ular raksasa.

Puteri Nilam Sari yang duduk di atas singgasana pun tersenyum. Dia tahu kalau Gandari sudah menggu
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 45 : Musim Semi di Relung Hati

    Tiba-tiba Giandra teringat dengan tujuannya semula, kepergiannya meninggalkan padepokan Rajawali Angkasa adalah untuk menghancurkan Gerombolan Nogo Ireng di puncak Gunung Payoda. Akhirnya Giandra pun menarik tangannya dari pegangan Puteri Nilam Sari, dia mundur ke belakang sebab perempuan itu semakin merapat padanya.Giandra berkata, “Maafkan aku, Tuan Puteri. Ada tugas yang mesti kulaksanakan. Aku harus secepatnya pergi dari sini.”“Enak saja kau ingin pergi buru-buru. Aku belum memberkanmu izin untuk meninggalkan istana ini,” ujar Puteri Nilam Sari.“Tapi tugask sangat penting. Tolong jangan halangi aku.” Giandra berharap puteri siluman itu tidak menyusahkannya.Puteri Nilam Sari pun berkata, “Masih ada satu tantangan lagi yang harus kaulakukan, barulah setelahnya kau boleh pergi dari sini, Tuan Pendekar”“Tantangan apa lagi itu?” tanya Giandra sambil mengernyitkan kening.“Menikahiku,” jawab Puteri Nilam Sari.“Hah, menikahi Tuan Puteri?” Kedua alis Giandra terangkat ke atas.Puter

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 46 : Pangeran Kelelawar Yang Haus Darah

    Setelah Giandra berhasil keluar dari Istana Ular Kipas dan meninggalkan kerajaan itu, kini saatnya dia kembali melanjutkan perjalanan. Di dalam hutan yang hanya diterangi sinar bulan purnama dan cahaya bintang-bintang, kuda putihnya berlari cepat menembus kegelapan malam.Semak-semak belukar di sekitar Giandra seakan memanggil dirinya, menggodanya supaya menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah ada bayangan manusia di sana, padahal hutan begitu sepi dan malam sudah sangat larut.Giandra tidak mau peduli, meski kadang bulu kuduknya juga merinding, dia menganggap kalau bayangan-bayangan yang tampak itu hanyalah halusinasi saja, sebab pikirannya telah terpengaruh oleh suasana malam yang mencekam.Sambil terus memacu kuda putihnya, tiba-tiba Giandra teringat lagi akan perkataan seorang pengembala yang sore tadi berjumpa dengannya di jalan, hutan ini katanya adalah sarang para dedemit dan juga siluman, apabila malam sudah semakin gelap, maka itulah waktu bagi mereka untu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 47 : Jurus Delapan Bayangan

    “Tadi kau hanya beruntung bisa selamat dari cakar mautku, tapi sebaiknya kau berhat-hati, karena aku tidak segan membunuhmu untuk mendapatkan darah!”Giandra mengepalkan tangan dan siap melanjutkan pertarungan. “Terserah kau saja, Paman Pangeran Kelelawar. Aku ingin tahu kau masih punya jurus apa lagi.”Pangeran Kelelawar lalu terbang melesat ke depan. Cakar sebelah kanannya terulur dan hendak mengincar leher Giandra. Tampaklah kalau kuku-kuku siluman itu sangat runcing, serangan ini bisa saja merobek daging Giandra!Giandra tidak mengelak, tapi dia berani menghadang serangan itu, dia memutar badan dan melakukan tendangan balik melingkar dengan kaki kanan.Pangeran Kelelawar yang melihat kaki Giandra melibas ke arah mukanya spontan menarik lagi lengannya yang sudah terulur dan meliukkan badan ke belakang “Wussss”, kaki Giandra hampir saja menghantam dagunya.Siluman itu membalas tendangan dari Giandra dengan melakukan tendangan sabit. Kaki kanannya mengayun deras ke kepala Giandra. De

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 48 : Rayuan Duniawi Siluman Kera Putih

    Pertarungan dengan Mahesa Bhamantara tadi memang cukup mendebarkan bagi Giandra, alhasil sekarang dia lumayan lelah karena tenaganya banyak terkuras. Giandra berharap kalau selanjutnya perjalanan ini benar-benar akan mulus.Tapi walau bagaimana pun, waktu larut malam memang suasananya amat mencekam, tentu berbagai marahabaya bisa saja muncul di tengah hutan seperti ini. Sambil terus memacu kudanya berlari, Giandra coba menghitung-hitung, barangkali dia akan mencapai puncak Gunung Payoda saat matahari telah terbit, itu pun jika seandainya dia tidak berhenti untuk tidur sejenak.Taburan bintang masih berkelipan di langit, malam yang panjang meniupkan rasa letih pada otot-otot Giandra yang belum ada beristirahat. Cahaya pucat bulan purnama masih setia menerangi langkah kudanya menyusuri belantara yang sunyi. Giandra berusaha bertahan, dia terus memaksakan kedua matanya agar tetap melihat jalan.Harapannya akan perjalanan yang mulus ternyata tidak terjadi sesuai keinginan, tiba-tiba muncu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 49 : Suara Yang Meliputi Segala Arah

    Siluman kera putih tidak terima kalau dirinya kalah dari anak muda yang menurutnya baru berusia seumur jagung. Walau tenggorokannya masih sakit dan dagunya ngilu, dia kembali bangkit. Pertarungan belum selesai.Dia mengangkat gada besinya dan memutarnya di atas kepala “Wusss wusss wusss”. Ketika gada itu berputar kencang, maka muncullah kilatan-kilatan cahaya kuning pada gada tersebut.“Terimalah ini! Hiyaaa!” Siluman kera putih melempar gada besinya ke arah Giandra.Dengan sigap Giandra langsung melakukan gerakan kayang untuk menghindar. Gada itu melintas di atas dadanya, lalu menghantam ke pohon besar dan terjadilah ledakan.Sesaat setelah menghantam pohon dan membuatnya roboh, gada itu lalu melayang lagi ke arah Giandra, tapi Giandra secepatnya mengelak dengan melompat berputar ke kanan, akhirnya gada tersebut kembali lagi ke tangan siluman kera putih.“Hey, Anak manusia! kulihat dari tadi pedang yang tergantung dipunggungmu itu masih belum kaugunakan. Cabutlah segera pedangmu dari

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 50 : Ayahku Adalah Bumi dan Langit

    “Uhuk uhuk uhuk.” Suara parau seorang lelaki paruh baya yang tengah batuk di dalam kamar terdengar sampai ke luar. Hal itu membuat Damayanti terbangun. Dia pun segera beranjak dari atas ranjang dan pergi ke dapur untuk membuatkan ramuan obat. Penyakit ayahnya itu tak jua kunjung sembuh, bahkan dari hari ke hari kelihatannya semakin bertambah parah.Sebentar lagi fajar akan terbit, tapi Bagaspati belum juga bisa tidur nyenyak, sesekali dia terjaga karena mimpi buruk, lalu kembali meriang dan menggigil dalam selimut.Damayanti akhirnya masuk ke kamar ayahnya itu dengan membawa segelas ramuan obat. Dalam remang-remang cahaya pelita yang redup, dia melihat wajah lelaki tua itu tampak bengkak dan sorot matanya amat sayu.Damayanti pun duduk di tepi ranjang dan menempelkan belakang tangannya di dahi sang ayah, terasalah suhu panas yang tinggi, dia terkejut, padahal siang tadi suhu badan ayahnya tidak seperti demikian.“Romo, ayo diminum dulu ramuan obatnya,” kata Damayanti, seraya menyodork

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 51 : Menyerang ke Sarang Gerombolan Nogo Ireng

    Setelah menempuh perjalanan berkuda yang cukup jauh dan hanya bisa tidur sebentar saja di hutan, akhirnya kini Giandra pun sampai di tempat tujuannya. Langit yang semula pucat sekarang semuanya tampak terang benderang, udara pagi begitu bersih, mengalir sejuk melewati hidung dan kerongkongannya.Matahari telah terbit di sebelah Timur, cahaya keemasan menyinari puncak Gunung Payoda, sekawanan burung yang hinggap di dahan pohon-pohon pinus menyambutnya dengan kicauan riang.Ketika itu daun-daun dan ilalang masih basah berselimut embun, bunga cantigi yang merah mulai memekarkan mahkotanya, begitu pun kembang saliara yang kuning juga berseri dengan warna cerahnya. Tapi ada satu perhiasan gunung yang paling menawan di mata Giandra, yaitu edelweis putih yang menjadi simbol cinta abadi.Namun, terlepas dari semua pemandangan indah itu, dari kejauhan Giandra melihat ada sebuah bangunan rumah besar yang beratapkan daun nipah dan dikelilingi pagar kayu. Dia yakin kalau itu adalah sarang Gerombo

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 52 : Serigala Berbulu Domba

    Sudah terlalu banyak anggota Nogo Ireng yang tewas pagi ini, Prabaswara tidak ingin kalau harus mengorbankan lagi anak-anak buahnya yang lain, dia pun akhirnya mencabut sebilah pedang yang tersarung di pinggang sebelah kirinya.Sambil menggenggam erat gagang pedang itu dengan tangan kanan, dia membatin, “Jika pemuda ini kubiarkan terus melempar jatrum-jarum beracun, maka seluruh anggota Nogo Ireng bisa habis terbunuh. Aku harus menghadapinya satu lawan satu.”Prabaswara pun melompat, tubuhnya melayang di udara setinggi dua belas tombak dari bumi, lalu dia mendarat di atas atap rumah yang terbuat dari daun-daun nipah.Api amarah berkobar-kobar dalam dada Prabaswara. Dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah Giandra. “Kau hanya bisa menggunakan jarum beracun! Ayo ke sini, kita bertarung satu lawan satu jika kau berani!”Dengan senang hati Giandra menerima tantangan tersebut. Dia juga turun dan menginjakkan kaki di atap rumah itu. Sekarang keduanya saling berhadapan dalam jarak yang dekat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 117 : Saling Mengatur Strategi Perang

    Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 116 : Dendam Kesumat Nyai Jamanika

    Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 115 : Puncak Kemarahan Argani Bhadrika

    “Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 114 : Orang Asing

    Karena memisahkan diri dari orang-orang dan tidak mau ikut berkumpul bersama yang lain, Patrioda duduk bersila di atas ranjang dalam kamar tamu tempat dia beristirahat. Hatinya betul-betul kesal dengan kemunculan Giandra di istana ini.“Hmmh. Pendekar muda itu kelihatan sekali ingin cari muka di hadapan para petinggi kerajaan. Padahal baru cuma bisa mengobati orang yang keracunan saja, tapi lagaknya sudah macam pahlawan.”Sambil memangku kedua tangan di bawah dada, Patridoa diam sebentar dan merenung. Dia sadar kalau kehadiran Giandra di istana ini bisa menjadi sumber perhatian banyak orang, apalagi Patrioda sangat takut jika Puteri Seroja yang jadi dambaan hatinya nanti akan diganggu oleh Giandra.“Kalau sampai pemuda itu berani mendekati Puteri Serojaku, aku tidak segan-segan untuk menendangnya keluar dari istana ini. Cuih! Apa hebatnya dia itu!”Sebelum memutuskan untuk pergi dari padepokan Lenggo Geni dan bergabung di kerajaan ini, Patrioda sudah membayangkan bahwa dia harus bisa m

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 112 : Mengobati Sang Prabu

    Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 111 : Terciduk di Dapur

    Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 110 : Terpaksa Tunduk

    Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 109 : Sihir Kabut Hitam Delapan Penjuru

    Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status