“Uhuk uhuk uhuk.” Suara parau seorang lelaki paruh baya yang tengah batuk di dalam kamar terdengar sampai ke luar. Hal itu membuat Damayanti terbangun. Dia pun segera beranjak dari atas ranjang dan pergi ke dapur untuk membuatkan ramuan obat. Penyakit ayahnya itu tak jua kunjung sembuh, bahkan dari hari ke hari kelihatannya semakin bertambah parah.Sebentar lagi fajar akan terbit, tapi Bagaspati belum juga bisa tidur nyenyak, sesekali dia terjaga karena mimpi buruk, lalu kembali meriang dan menggigil dalam selimut.Damayanti akhirnya masuk ke kamar ayahnya itu dengan membawa segelas ramuan obat. Dalam remang-remang cahaya pelita yang redup, dia melihat wajah lelaki tua itu tampak bengkak dan sorot matanya amat sayu.Damayanti pun duduk di tepi ranjang dan menempelkan belakang tangannya di dahi sang ayah, terasalah suhu panas yang tinggi, dia terkejut, padahal siang tadi suhu badan ayahnya tidak seperti demikian.“Romo, ayo diminum dulu ramuan obatnya,” kata Damayanti, seraya menyodork
Setelah menempuh perjalanan berkuda yang cukup jauh dan hanya bisa tidur sebentar saja di hutan, akhirnya kini Giandra pun sampai di tempat tujuannya. Langit yang semula pucat sekarang semuanya tampak terang benderang, udara pagi begitu bersih, mengalir sejuk melewati hidung dan kerongkongannya.Matahari telah terbit di sebelah Timur, cahaya keemasan menyinari puncak Gunung Payoda, sekawanan burung yang hinggap di dahan pohon-pohon pinus menyambutnya dengan kicauan riang.Ketika itu daun-daun dan ilalang masih basah berselimut embun, bunga cantigi yang merah mulai memekarkan mahkotanya, begitu pun kembang saliara yang kuning juga berseri dengan warna cerahnya. Tapi ada satu perhiasan gunung yang paling menawan di mata Giandra, yaitu edelweis putih yang menjadi simbol cinta abadi.Namun, terlepas dari semua pemandangan indah itu, dari kejauhan Giandra melihat ada sebuah bangunan rumah besar yang beratapkan daun nipah dan dikelilingi pagar kayu. Dia yakin kalau itu adalah sarang Gerombo
Sudah terlalu banyak anggota Nogo Ireng yang tewas pagi ini, Prabaswara tidak ingin kalau harus mengorbankan lagi anak-anak buahnya yang lain, dia pun akhirnya mencabut sebilah pedang yang tersarung di pinggang sebelah kirinya.Sambil menggenggam erat gagang pedang itu dengan tangan kanan, dia membatin, “Jika pemuda ini kubiarkan terus melempar jatrum-jarum beracun, maka seluruh anggota Nogo Ireng bisa habis terbunuh. Aku harus menghadapinya satu lawan satu.”Prabaswara pun melompat, tubuhnya melayang di udara setinggi dua belas tombak dari bumi, lalu dia mendarat di atas atap rumah yang terbuat dari daun-daun nipah.Api amarah berkobar-kobar dalam dada Prabaswara. Dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah Giandra. “Kau hanya bisa menggunakan jarum beracun! Ayo ke sini, kita bertarung satu lawan satu jika kau berani!”Dengan senang hati Giandra menerima tantangan tersebut. Dia juga turun dan menginjakkan kaki di atap rumah itu. Sekarang keduanya saling berhadapan dalam jarak yang dekat
Setelah sekian tahun lamanya Waluyo menyimpan pedang peninggalan Datuk Subrata, dia rasa kini tibalah saatnya untuk menyerahkan pedang tersebut kepada ahli waris yang berhak. Semenjak pusaka ini disembunyikan oleh Waluyo, nama Pedang Penebas Setan seakan menghilang dari dunia persilatan, tapi itu bukan berarti kalau orang-orang jahat sudah berhenti mengincarnya.Waluyo meletakkan pedang tersebut di atas meja, dia perlahan membuka balutan kain ungu yang menyelimutinya, tampaklah kemudian kalau pedang itu masih terlihat sangat indah, padahal pusaka tersebut sudah disimpan selama bertahun-tahun.Sambil jari-jari tangannya mengusap pada sarung pedang yang berwarna ungu mengkilat itu, Waluyo berkata dalam hatinya, “Aku kira Giandra telah cukup dewasa untuk menerima warisan ini. Tidak ada lagi alasan untuk merahasiakan pusaka ini darinya.”Tiba-tiba Waluyo terkenang lagi pada peristiwa masa silam, yaitu malam saat dia menyaksikan keponakannya yang bernama Anindhita menghembuskan nafas terak
Manik Maya mentransfer energinya lebih banyak lagi kepada Bayu Halimun, maka bola cahaya itu pun terus bertambah terang dan semakin membesar. “Wuuut wuuut wuuut wuuut wuuut.”Karena menyaksikan kalau kedua musuhnya itu sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang dirinya, maka Nyai Parmadita pun bersiap untuk menghunuskan tongkatnya ke depan.Tiba-tiba Tongkat Tembaga Merah itu juga mengeluaran cahaya, warnanya merah menyala seperti kobaran api, sebentar lagi mereka akan saling beradu pukulan tenaga dalam untuk mengakhiri pertarungan ini.Di saat keadaan sudah makin menegangkan, tiba-tiba saja Nyai Parmadita merasa kalau ada kekuatan aneh yang lain ikut hadir di tempat itu. Kekuatan tersebut tidak bersumber dari Bayu Halimun atau pun Manik Maya, tapi sepertinya ada seseorang lagi di tempat itu selain mereka bertiga.Nyai Parmadhita tahu bahwa ada manusia yang tengah memperhatikan pertarungan ini. Pancaran energi manusia itu terasa nagetif dan cukup kuat, tampaknya dia juga dari aliran
Surya tergelincir dari tengah langit, wajah siang amat cerah menghadirkan biru warna muda di bentangan angkasa, awan-awan putih berkilau bak perhiasan, dan tak ada desau angin yang bergemuruh menyapa hari. Namun walau demikian, Jaka Purnama duduk seorang diri di atas batu sambil melamun, pandangannya menatap pada pohon-pohon kayu cendana yang tak bisa diajak mengobrol, tapi hatinya terus berbicara, “Kapankah aku bisa pergi dari sini? kapankah aku bisa bertemu dengan putraku?Delapan belas tahun lamanya berpisah, delapan belas tahun lamanya tak mendengar kabar, dan selama itu pulalah wajah kecil Giandra kadang membayanginya di setiap waktu.Bagai malam merindukan bintang, seharusnya bisa bersama, tapi takdir berkata lain, laksana hujan hendak menyapa kuntum melati, tapi sang bayu tak memberi izin, malah membawanya pergi ke tanah yang lain, begitulah perasaan yang sekarang ini menyelimuti batin Jaka Purnama. Bagaimana mungkin dia sanggup menahan rindu? Sebab Giandra adalah sebutir intan
Tujuh orang anggota persaudaraan Iblis kembali melakukan pertemuan dalam hutan beringin di lereng Gunung Ratri. Mereka telah berhasil mengumpulkan dua dari Empat Pusaka Penakluk Jagat yang ingin mereka hancurkan. Tinggal tersisa dua pusaka lagi, maka setelah itu ritual pembangkitan Iblis Hitam barulah bisa mereka laksanakan.“Sekarang Seruling Naga Emas dan Tongkat Tembaga Merah sudah ada pada kita,” ujar Argani Bahdrika kepada kawan-kawannya. "Tinggal dua benda lagi yang mesti kita temukan, yaitu Mutiara Inti Samudera dan Pedang Penebas Setan.”Jimbalang Loreng berucap, “Setahuku, Datuk Gastiadi telah mati dan tidak memiliki murid penerus. Maka tentu Tiga Mutiara Inti Samudera telah dia kembalikan ke kerajaan Ular Kipas.”“Kalau begitu, kita harus merampasnya dari tangan ratu penguasa di kerajaan itu,” ujar Aryajanggala.Mendengar usulan tersebut, Bayu Halimun lalu melontarkan pertanyaan, “Aku setuju dengan rencanamu itu, Arya Janggala, tapi bagaimana caranya kita menemukan letak keb
Matahari telah tenggelam dan bintang-bintang baru saja muncul di langit. Malam itu kegaduhan besar terjadi di Negeri Awang-awang. Puluhan pasukan wanita yang bersenjatakan tombak dan pedang telah mati terbunuh. Mayat mereka bergelimpangan di halaman Istana Kerajaan Ular Kipas. Aryajanggala dan Panglima Sanca melakukan pembantaian. Keduanya berhasil menerobos masuk melewati pintu gerbang.Kala itu ratu siluman ular kipas sedang duduk di atas singgasananya. Seorang wanita pengawal pun datang dengan berlari tergesa-tegasa, dia menghadap sang ratu dan langsung menjura hormat. Wajahnya berkeringat dan nafasnya terhengal.“Gawat, Gusti Ratu! Gawat! Istana telah diserang oleh dua lelaki asing yang tak dikenal,” kata wanita pengawal itu memberitahu junjungannya.Posisi kepemimpinan di Kerajaan Ular Kipas selalu mengalami pergantian dari masa ke masa. Pada waktu Datuk Gastiadi pernah ke tempat ini untuk meminjam Tiga Mutiara Inti Samudera, saa itu tengkuk pemerintahan dipegang oleh Ratu Niranja
Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme
Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba
Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq
Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g
Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata
Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena
Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di
Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,
Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&