Tujuh orang anggota persaudaraan Iblis kembali melakukan pertemuan dalam hutan beringin di lereng Gunung Ratri. Mereka telah berhasil mengumpulkan dua dari Empat Pusaka Penakluk Jagat yang ingin mereka hancurkan. Tinggal tersisa dua pusaka lagi, maka setelah itu ritual pembangkitan Iblis Hitam barulah bisa mereka laksanakan.“Sekarang Seruling Naga Emas dan Tongkat Tembaga Merah sudah ada pada kita,” ujar Argani Bahdrika kepada kawan-kawannya. "Tinggal dua benda lagi yang mesti kita temukan, yaitu Mutiara Inti Samudera dan Pedang Penebas Setan.”Jimbalang Loreng berucap, “Setahuku, Datuk Gastiadi telah mati dan tidak memiliki murid penerus. Maka tentu Tiga Mutiara Inti Samudera telah dia kembalikan ke kerajaan Ular Kipas.”“Kalau begitu, kita harus merampasnya dari tangan ratu penguasa di kerajaan itu,” ujar Aryajanggala.Mendengar usulan tersebut, Bayu Halimun lalu melontarkan pertanyaan, “Aku setuju dengan rencanamu itu, Arya Janggala, tapi bagaimana caranya kita menemukan letak keb
Matahari telah tenggelam dan bintang-bintang baru saja muncul di langit. Malam itu kegaduhan besar terjadi di Negeri Awang-awang. Puluhan pasukan wanita yang bersenjatakan tombak dan pedang telah mati terbunuh. Mayat mereka bergelimpangan di halaman Istana Kerajaan Ular Kipas. Aryajanggala dan Panglima Sanca melakukan pembantaian. Keduanya berhasil menerobos masuk melewati pintu gerbang.Kala itu ratu siluman ular kipas sedang duduk di atas singgasananya. Seorang wanita pengawal pun datang dengan berlari tergesa-tegasa, dia menghadap sang ratu dan langsung menjura hormat. Wajahnya berkeringat dan nafasnya terhengal.“Gawat, Gusti Ratu! Gawat! Istana telah diserang oleh dua lelaki asing yang tak dikenal,” kata wanita pengawal itu memberitahu junjungannya.Posisi kepemimpinan di Kerajaan Ular Kipas selalu mengalami pergantian dari masa ke masa. Pada waktu Datuk Gastiadi pernah ke tempat ini untuk meminjam Tiga Mutiara Inti Samudera, saa itu tengkuk pemerintahan dipegang oleh Ratu Niranja
Panglima Sanca mendekatkan mulutnya ke kuping Aryajanggala dan berbisik, “Kekuatan perempuan itu ada pada cambuk di tangannya. Kalau kita bisa memutuskan cambuknya, mungkin dia akan lebih mudah dikalahkan.”“Iya, kau benar sekali,” Aryajanggala sependapat. “Tapi bagaimana cara untuk memutuskan cambuknya. Cambuk itu terlihat sangat kuat, bahkan tadi dengan cambuk itu dia telah melilit lehermu dan melempar dirimu jauh.”“Kaukan bisa menangkapnya dengan tangan,” ujar Panglima Sanca. “Bila kau berhasil menarik cambuk perempuan itu, maka biar aku yang akan memancungnya dengan pedang sampai putus.”“Ini pasti tidak akan mudah,” kata Aryajanggala berbisik.Gandari kembali bersiap dengan gaya kuda-kuda samping. Dia mengangkat dagu dan berseru, “Hei, apa yang sedang kalian berdua bicarakan! Ayo, maju dan hadapi aku lagi!”“Kali ini tulang-tulangmu akan kubuat remuk, hei Perempuan!” sahut Aryajanggala.Gandari memegang cambuknya dengan kedua belah tangan. Walau tendangan dari Aryajanggala tadi
Ratu Kalinda Kamala akhirnya tiba di halaman istana bersama dua orang dayang. Alangkah terkejutnya dia saat melihat pemandangan di tempat tersebut, ada banyak sekali prajurit-prajuritnya yang telah tewas malam itu. Kedua dayangnya juga ikut kaget hingga mereka pun menutup mulut dengan telapak tangan.Di bawah cahaya obor dan temaram sinar bulan, sang ratu juga menyaksikan ada sesosok tubuh yang terbaring dengan bersimbah darah. Dia memandangi sosok itu agak lama, mencoba mengenali sampai akhirnya dia tahu kalau itu adalah Gandari, punggawa Kerajaan Ular Kipas.Panglima Sanca dan Aryajanggala kemudian berdiri di hadapan Ratu Kalinda Kamala. Mereka memperhatikan penampilan sang ratu dari mulai kaki hingga ke kepala. Wanita itu mengenakan jubah hijau yang dihiasi sulaman benang emas berupa gambar-gambar awan. Di atas kepalanya ada sebuah mahkota yang bertaburkan batu permata. Sosok dirinya terlihat anggun dan jelita, namun juga tampak berwibawa sebagai seorang pemimpin kerajaan.“Apakah
Mengetahui kalau lawannya sudah mengeluarkan ajian pamungkas, Ratu Kalinda Kamala tidak hanya diam saja dan tercengang menyaksikan pemandangan itu, untuk menghadapi Aryajanggala, dia pun terpaksa harus menggunakan Tiga Mutiara Inti Samudera.Ratu Kalinda Kamala menadahkan tangan kanannya di depan mulut, bibirnya lalu mulai meniup, tiga butir mutiara yang bercahaya seperti bintang pun keluar dari dalam mulutnya dan berkumpul di telapak tangannya. Mutiara-mutiara itu terdiri dari tiga warna, yaitu hijau, putih, dan juga biru, semuanya tampak berkilauan. Inilah mustika Kerajaan Ular Kipas yang selama ini paling diincar di dunia persilatan.Puteri Nilam Sari serta para dayang dibuat kagum dan terpesona akan keindahan sinar yang terpancar dari mustika itu, sebab baru pertama kali ini mereka melihatnya langsung. Di sisi lain, Aryajanggala mulai mengepalkan tangan kiri di samping telinga. Bersamaan dengan itu pula, dia menarik kaki kirinya mundur ke belakang dan mengambil sikap kuda-kuda
Saat benang-benang fajar telah terbit mengakhiri waktu malam, Mpu Seta di dalam gua tempat pengasingannya masih khusyuk bermeditasi.Lelaki tua itu duduk bersila di atas sebuah batu besar, matanya terpejam, kedua tangannya terlentang di atas paha, dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak.Kala itu cahaya obor masih menyala menerangi dinding-dinding gua, tiba-tiba dari arah luar terdengarlah ada bunyi langkah kaki.Mpu Seta yang menyadari hal itu pun langsung membuka matanya. Dia lalu menoleh ke arah pintu gua, tampaklah di sana ada bayangan manusia sedang berjalan menggunakan tongkat.Dia memperhatikan ke sosok itu, mencoba mengenali siapakah yang datang tersebut, ternyata itu tidak lain adalah Janaloka.“Sudah lama kau tak pernah lagi mengunjungiku,” kata Mpu Seta.Janaloka berjalan ke dalam ruangan gua yang diterangi cahaya obor, dia pun menatap pada Mpu Seta dan berkata, “Kau kelihatan tambah semakin tua saja, Bahuwirya.”Mpu Seta tertawa sambil menggeleng-geleng kepala. “Lalu apa b
Bayu Halimum baru saja selesai meracik ramuan dalam sebuah tempurung. Obat itu dibuat untuk mengobati Aryajanggala yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar. Manik Maya lalu mengambil racikan itu, dia mendekatkannya ke hidung dan coba mengendus baunya.Ramuan itu mengeluarkan aroma yang khas, sebab terbuat dari racikan daun binahong, daun alpukat, daun sasaladahan, getah jarak pagar, kulit buah manggis, dan juga lidah buaya. Semua bahan tersebut ditumbuk sampai halus dalam tempurung besar dan diberi sedikit air.Manik Maya kemudian menyapukannya ke setiap luka di kulit Aryajanggala. Rasa pedih yang menyengat seketika membuat Aryajanggala terkejut.“Ah, dasar Edan! Pelan-pelanlah sedikit! Perih sekali!”Tangan kiri Manik Maya yang masih berlumur dengan ramuan langsung menempeleng pipi Aryajanggala. “Kau yang edan! Masih untung aku obati. Tidak usah berteriak!”“Iya, tapi pelan-pelan, jangan pakai amarah begitu,” pinta Aryajanggala, sambil nafasnya terhengal menahan pedih.“Sudahlah, Tarin
Di waktu pagi saat matahari baru terbit, Kamajaya mendengar ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Saat itu dia sedang duduk menghadap meja sambil menikmati segelas teh hangat.“Mungkin itu kakang Giandra yang sudah kembali dari Gunung Payoda,” ujar Kamajaya menduga dalam hati. Dia menghirup dulu teh hangatnya agak dua tegukan, lalu bangkit dan berjalan menuju pintu.Setelah dia membuka pintu kamar, Kamajaya pun tiba-tiba terkejut, ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Sapardi. Wajah lelaki itu kelihatan memar seperti bekas kena pukul, hidungnya juga berdarah dan bibirnya pecah. Pemandangan itu membuat Kamajaya jadi keheranan.Sapardi langsung meremas kedua bahu Kamajaya. Dengan ekpsresi muka yang tampak sedang ketakutan, dia berkata, “Paman Raditiya mengamuk, Kakang! Dia menyerang murid-murid di depan gerbang sampai mereka tewas! Lalu setelahnya dia pun pergi entah kemana. Tidak ada yang sanggup menghalanginya.”Bola mata Kamajaya langsung membesar karena kaget mendengar
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya