"Dasar Biadab! Berarti memang dialah yang sudah membunuh keenam murid di depan pintu gerbang tadi!” ucap Kamajaya mengutuk. Nafasnya pun jadi mendengus karena terbakar amarah.Padmarini yang berada di sebelah kiri Giandra akhirnya juga tak dapat membendung emosi yang sudah meluap. Tangannya mulai bersiap mencabut pedang di pinggang. “Tahan dulu!” ucap Giandra pada kedua sahabatnya itu. “Saat ini paman Raditiya sedang di luar ke sasaran, kita harus berhati-hati.”Kamajaya menoleh pada Giandra dan berkata, “Maaf, Kakang. Orang seperti dia ini harus segera dikirim ke neraka!”“Tunggu, Kamajaya, Sabar!” Giandra menghalangkan tangan kanannya di depan dada Kamajaya, berusaha menahan lelaki itu agar tidak ceroboh.Tapi Kamajaya sudah sangat terbakar amarah, meski Giandra melarangnya supaya jangan terburu-buru bertindak, namun dia tetap berlari ke depan dan langsung mencabut pedang dari punggungnya. Seperti banteng yang memburu kain merah sang matador, Kamajaya berlari tanpa memikirkan apa
Seperti manusia yang tengah dirasuki roh jahat, Raditiya berjalan menghampiri Giandra. Dari Sorot mata dan raut mukanya menyiratkan bahwa dia sudah tidak lagi mengenali siapa pun.Yang memenuhi hati Raditiya saat ini hanyalah hasrat untuk membunuh. Pengaruh buruk dari ilmu yang tidak tuntas dia pelajari mungkin telah mengubah jiwanya menjadi iblis.Giandra mengambil sikap pasang, dia bersiap menanti apa yang akan diperbuat oleh Raditiya, namun tiba-tiba, ada sesosok makhluk hitam melompat dari atap warung.Giandra terkejut, sosok itu berdiri membalakanginya dan menghadap ke Raditiya.“Hah, siapa makhluk ini? rasa-rasanya aku pernah melihat,” bisik Giandra pada dirinya sendiri.Makhluk hitam yang berbadan jangkung itu lalu menoleh ke belakang, dan Giandra pun langsung bisa mengenali wajah itu, ternyata dia adalah si Pangeran Kelelawar, siluman yang tempo hari pernah Giandra temui sewaktu dalam perjalanan ke Gunung Payoda.
Giandra kembali bangun. Dalam hati dia membatin "Bagaimana caranya mengalahkan Raditiya? Bahkan Tenaga Dalam Inti Indurashmi pun tidak mampu menandingi kehebatan ajian miliknya.”Dengan langkah yang tidak seimbang seperti orang mabuk, Raditiya berjalan menuju Giandra, tampaknya dia hendak menyerang lagi untuk mengakhiri pertarungan ini.Giandra terus berpikir untuk mencari sebuah ide, dia yakin pasti ada usaha yang dapat dilakukan untuk mematahakan ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan.Raditiya bersiap untuk menggunakan lagi ilmunya. Giandra yang melihat itu pun juga mengambil sikap sedia. Para penonton yang menyaksikan di tepi juga ikut merasa berdebar. Mereka berharap kalau Giandra tidak akan kalah.Saat Raditiya akan mulai menyerang, tiba-tiba muncullah sebuah gada berduri yang melayang dari arah belakangnya, menghantam ke tengkuk Raditiya hingga membuatnya terjerungkup.“Hah, lihat! Ada satu siluman lagi yang muncul!” teriak seorang penonton.Penonton lain kemudian berucap, “Wah,
Dari kejauhan, terlihat seekor kuda hitam datang berlari menuju kerumunan para penonton. Kuda itu meringkik nyaring, membuat orang-orang terkejut dan langsung menepi untuk memberinya jalan.Giandra memicingkan pandangannya saat melihat si penunggang kuda itu. Ternyata yang datang tersebut adalah Waluyo, orang yang selama ini akrab dia panggil sebagai kakek.Waluyo tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Batinnya pun heran menyaksikan mengapa banyak warga yang berkerumun.Dia melihat kalau saat itu Raditiya tengah berusaha bangkit, pakaian depannya hangus terbakar, lalu berjalan dengan terseok.Di sisi lain, Waluyo juga melihat Giandra yang penuh keringat dan tampak kelelahan. Akhirnya Waluyo pun menduga kalau telah terjadi perseteruan di Perguruan Rajawali Angkasa sehingga menyebabkan terjadi pertarungan.Sambil duduk di atas kuda hitam, Waluyo menyapukan juga pandangannya ke berbagai arah. Dia melihat ada siluman kera putih yang terbaring tak berdaya dengan mulut berdarah, dan t
Kamajaya terbaring lemas di atas ranjang. Padmarini telah selesai mengolesinya dengan ramuan obat. Kini dia hanya diam istirahat, mencoba berpejam dan mengatur aliran nafas, supaya rasa perih di sekujur badannya bisa lebih berkurang.Padmarini, Giandra, dan juga Waluyo duduk berbincang di kamar itu tidak jauh dari tempat Kamajaya berbaring. Mereka sedang menghadapi meja hidangan sambil menikmati air rebusan daun kopi.Giandra dan Padmarini menceritakan kepada Waluyo tentang segala hal yang telah terjadi di padepokan mereka beberapa hari ini. Orang tua itu pun bisa mengerti dan memakluminya.Tidak lupa pula Giandra mengisahkan tentang perjalanannya kemarin ke puncak Gunung Payoda, mulai dari kisah pertemuannnya dengan para dayang siluman ular kipas, pertarungannya melawan Gandari, hingga perjumpaannya dengan Pangeran Kelelawar dan Sabda Alam.Waluyo tersenyum kagum pada Giandra. Dia berkata, “Jadi siluman kelelawar hitam dan siluman kera putih itu ad
Sekian lama mereka bertiga berbicang sambil minum air rebusan daun kopi, tak terasa kini hari sudah semakin siang. Waluyo pun berniat untuk beranjak pergi meninggalkan perguruan itu. Hati Waluyo sekarang sudah lega, karena Pedang Penebas Setan hari ini telah dia antarkan kepada ahli waris yang berhak.Waluyo berkata, “Giandra, karena kau adalah putra dari Anindhita dan sekaligus cucu Datuk Subrata, maka Pedang Penebas Setan aku serahkan kepadamu sebagai orang yang berhak. Gunakanlah pedang ini dengan sebaik-baiknya untuk menumpas semua kejahatan.”Waluyo kemudian mengambil gelas di meja dan segera menghabiskan minumannya, menandakan kalau waktu bertamunya sudah cukup dan sebentar lagi ingin pulang ke Desa Batu Delima. Tapi belum sempat dia mengucapkan kata pamit kepada Giandra dan Padmarini, tiba-tiba dari luar terdengarlah ada bunyi langkah seseorang sedang berlari.Pintu yang semula tertutup rapat tiba-tiba terbuka. Rupanya itu adalah Sapardi. Dengan sangat terburu-buru dan tampak k
Ketika Giandra, Padmarini, dan juga Waluyo telah sampai di halaman padepokan, mereka melihat kalau anak-anak murid sudah ramai berkumpul. Semuanya berbaris dalam keadaan siaga dan masing-masing menggengam golok.Melihat Giandra yang sudah muncul, para murid itu pun segera memberinya jalan. Giandra melangkah melewati bahu-bahu mereka hingga akhirnya berdiri di tempat paling depan.Sorot matanya langsung tertuju pada lelaki bertopeng yang barbadan paling jangkung dan memakai jubah hitam lebar. Giandra yakin kalau orang yang tegak di hadapannya itu adalah lelaki yang bernama Argani Bhadrika.Kemudian dia juga memperhatikan pada pendekar-pendekar yang lain, firasatnya berkata bahwa semua tamu yang datang ini adalah orang-orang yang berbahaya. Dia tidak boleh meremehkan mereka.“Apa dirimu yang memimpin padepokan ini?” tanya Panglima Sanca memulai percapakan.Giandra balik bertanya, “Ada urusan apa kalian datang ke perguruan kami?”Panglima Sanca mendengus. Dia berkata, “Heh, aku ingin men
Sambil menahan rasa nyeri di lambung sebelah kirinya, Panglima Sanca berusaha bangkit dan berjalan mundur. Karena senjatanya telah patah, tidak mungkin lagi baginya untuk melawan Giandra.Panglima Sanca memperhatikan pada pedang bergagang perak yang digenggam oleh Giandra, tiba-tiba mengingatkannya kembali pada peristiwa silam sewaktu bertarung melawan seorang pendekar wanita yang mengawal Permaisuri Sri Dewi Jayasri, kini dia tahu kalau ternyata Giandra adalah anak dari Anindhita yang dahulu juga pernah mematahkan pedang miliknya.Manik Maya jadi penasaran dan merasa tertarik setelah melihat Giandra mulai menggunakan pedang. Dia pun juga kini mencabut pedang di pinggangnya. Sekarang gilirannyalah untuk bertarung menggantikan Aryajanggala dan Panglima Sanca yang sudah kalah.“Aku ingin tahu jurus pedang apa saja yang dikuasai oleh pemuda ini,” ucap Manik Maya ke Argani Bhadrika.“Majulah. Hadapi dia,” perintah Argani Bhadrika pada
Melihat Panglima Surai Hitam yang sudah terduduk lemah karena pengaruh racun Serbuk Tujuh Bunga, Jimbalang Loreng pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, mukanya sudah bonyok di hajar oleh Panglima Surai Hitam hingga bibirnya pecah dan giginya pun patah, kini saatnya bagi dia untuk membalas.Jimbalang Loreng merunduk dan menyentuhkan kedua telapak tanganya ke tanah. Dia mengaum sekeras-kerasnya. Semua orang yang hadir pun jadi tertegun, mereka memperhatikan pada pendekar harimau itu.Hanya dalam waktu sesaat, wujud Jimbalang Loreng berubah menjadi seekor harimau besar. Dia berlari menuju Panglima Surai Hitam yang sedang duduk, lalu menerkamnya dari belakang dan menggigit tepat di leher sebelah kiri.Ki Dharmawira tercengang menyaksikan pemandangan tersebut. “Biadab kau, Jimbalang Loreng!”Baru saja ketiga pemangku adat itu akan bertindak untuk menyelamatkan Panglima Surai Hitam, tapi Bayu Halimun, Manik Maya, dan juga Panglima Sanca langsung
“Hey, Jimbalang Loreng!” seru Panglima Surai Hitam seraya membuka lebar kedua kakinya dan mengepalkan tangan. “Tujuh belas tahun yang silam kau pernah mencelakai kakangku, Pangeran Surai Emas. Hari ini akan kubuat kau menerima balasan dari apa yang dahulu kau lakukan terhadapnya.”Jimbalang Loreng tentu masih sangat ingat dengan perstiwa lampau tersebut. Sewaktu dia akan membunuh pemangku adat sebelumnya yang bernama Ki Adiwiguna yang telah menolak pinangannya, tiba-tiba Pangeran Surai Emas muncul dan ikut campur, maka terjadilah pertarungan antara Jimbalang Loreng dengan pendekar itu.Dalam pertarungan tersebut Pangeran Surai Emas tidak mampu menandingi kehebatan Jimbalang Loreng, akhirnya dia pun mengalami luka parah. Menurut kabar yang Jimbalang Loreng dengar dari sebagian orang, Pangeran Surai Emas hanya mampu bertahan tiga hari saja setelah terkena gigitan Jimbalang Loreng, lalu setelah itu dia meninggal dunia.“Oh, jadi kau ma
Setelah menarik semua orang untuk mundur, Ki Martadi pun maju untuk menghadapi Celeng Ireng, kakek tua tersebut juga melakukan gerakan jurus silat dengan tongkat di tangannya.Huaaaah! Bersiaplah, wahai Kakek Tua!” Celeng Ireng memegang senjatanya dengan kedua tangan dan bersiap akan menombak. Dia pun berlari sambil menghunjamkan ujung trisulanya yang lancip ke arah Ki Martadi!Belum sempat Ki Martadi menangkis serangan itu, tiba-tiba ada seorang pendekar lain muncul dengan melayang berlari di udara, dia menerjang dahi Celeng Ireng hingga siluman babi itu pun jatuh terlentang.Penglihatan mata Celeng Ireng jadi berkunang-kunang, kepalanya terasa berdenyut-denyut, serangan tadi telah membikin dia kaget. Dengan bantuan tombak trisulanya, Celeng ireng berusaha untuk kembali berdiri.Pendekar yang baru muncul itu berdiri di samping Datuk Murtadi. Semua penduduk Desa Batu Delima sudah tak asing lagi melihat wajahnya, bahkan mereka tahu kalau sosok ini pa
Sore hari di Desa Batu Delima para ketua adat dan juga pemuda-pemuda digemparkan oleh kedatangan Argani bersama rombonganya. Mereka kemari bertujuan mencari gadis-gadis perawan untuk menunaikan syarat dari Iblis Hitam.Dalam tradisi masyarat Desa Batu Delima ada tiga orang pria sepuh yang menduduki jabatan pemangku adat. Mereka dipilih karena dianggap sebagai tokoh yang paling dituakan, paling berilmu, dan paling bijaksana. Saat ini jabatan itu dipegang oleh Ki Kusuma, Ki Dharmawira, dan Ki Martadi.Yang usianya paling senja di antara tiga orang pemangku adat itu adalah Ki Martadi. Kakek tua ini berkepala botak, berkumis tebal dan berjenggot panjang yang sudah memutih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah ungu dan berjalan memakai tongkat.“Kami sudah lama mendengar cerita tentang kelompok kalian. Kalian semua pasti adalah Persaudaraan Iblis yang kabarnya banyak membunuh pendekar aliran putih, benar begitukan? Kalian memang manusia-manusia jahat!” ujar Ki Martadi.Manik Maya tersenyum d
Prabu Surya Buana yang tadi hanya diam menonton kini sadar bahwa pertarungan dua orang ini sudah harus dihentikan sekarang. Sebab keduanya tampak akan saling mencelakai satu sama lain, tak mustahil kalau pertemuan dua jurus itu bisa membuat keduanya tewas!“Mpu Bhiantar, cepat hentikan mereka. Aku tidak ingin kalau dua pendekar ini jadi saling bunuh,” kata Prabu Surya Buana.Mpu Bhiantar pun segera melompat ke udara, dia lalu mendarat tepat di tengah Damayanti dan Patrioda yang akan saling beradu jurus maut.Pria tua itu langsung memukul bumi dengan telapak tangannya sambil bertariak, “Jurus Petir Memecah Bukit! Hiyaaa!”Cahaya kilat keemasan seketika menjalar di tanah, lalu terjadilah sebuah ledakan! Patrioda dan Damayanti sontak langsung menarik pukulan mereka dan bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.Mpu Bhiantar menghela nafas. Dia menurunkan kembali tenaga dalamnya. Sekarang Damayanti dan Patrioda sudah berhent
Seorang prajurit tiba-tiba datang dari balik pintu. Dia berjalan melewati semua orang, lalu berdiri tegak di depan Prabu Surya Buana dan menjura hormat.“Ampun beribu ampun, Gusti,” kata si pengawal itu berucap. “Di depan ada seorang pendekar wanita yang ingin memaksa masuk ke dalam istana. Para prajurit berusaha untuk mengusirnya, namun dia sangat kuat!”Prabu Surya Buana menarik badannya dari sandaran. “Seorang pendekar wanita? Apa dia datang dengan membawa surat undangan?”“Tidak, Gusti,” jawab si pengawal. “Pendekar wanita itu tidak membawa surat undangan, makanya kami berusaha mengusirnya, tapi dia melawan dan ingin tetap masuk. Wajahnya tertutup dengan cadar putih, dan dia juga membawa busur serta panah.”Patrioda lalu langsung berkata, “Bisa jadi itu adalah salah satu anggota Persaudaraan Iblis!” Dengan sangat yakin akan kehebatan dirinya, dia pun menjura hormat pada sang prabu. “Hamba akan menghadapi pendekar bajingan itu, Gusti. Bajingan itu tidak akan lolos dari hamba.”“Ber
Ekspresi wajah Alindra tampak tidak suka melihat Patrioda yang baru datang dengan gaya selangit begitu. Dalam hati dia berucap, “Orang ini sok sekali, apa dia tidak merasa malu di hadapan prabu dan para senopatinya?”Prabu Surya Buana mengangguk. Dia tersenyum maklum melihat gaya Patioda, menurutnya ini adalah hal yang wajar karena usia Patrioda yang masih sangat muda.“Selamat datang Istana kerajaan Jayakasatara, Patrioda. Kuucapkan terimakasih karena kau telah bergabung bersama kami,” kata Prabu Surya Buana“Suatu kehormatan bagiku bisa membantu kerajaan,” ujar Patrioda seraya menundukkan kepala.Senopati Wibisana yang juga hadir di ruangan itu memangku tangan. Dia ikut jengkel melihat gaya Patrioda yang kelihatan sangat ingin cari muka di depan Prabu Surya Buana.Senopati Wibisana merasa kalau dia akan kesulitan bila harus menerima pemuda seperti Patrioda ini, sebab dari sikap badan Patrioda saja yang membusung angkuh sudah menunjukkan kalau dia akan jadi prajurit yang susah diatur
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan