Sambil menahan rasa nyeri di lambung sebelah kirinya, Panglima Sanca berusaha bangkit dan berjalan mundur. Karena senjatanya telah patah, tidak mungkin lagi baginya untuk melawan Giandra.
Panglima Sanca memperhatikan pada pedang bergagang perak yang digenggam oleh Giandra, tiba-tiba mengingatkannya kembali pada peristiwa silam sewaktu bertarung melawan seorang pendekar wanita yang mengawal Permaisuri Sri Dewi Jayasri, kini dia tahu kalau ternyata Giandra adalah anak dari Anindhita yang dahulu juga pernah mematahkan pedang miliknya.
Manik Maya jadi penasaran dan merasa tertarik setelah melihat Giandra mulai menggunakan pedang. Dia pun juga kini mencabut pedang di pinggangnya. Sekarang gilirannyalah untuk bertarung menggantikan Aryajanggala dan Panglima Sanca yang sudah kalah.
“Aku ingin tahu jurus pedang apa saja yang dikuasai oleh pemuda ini,” ucap Manik Maya ke Argani Bhadrika.
“Majulah. Hadapi dia,” perintah Argani Bhadrika pada
Sesaat terjadi saling tatap antara Giandra dengan ketua Persaudaraan Iblis itu. Momen ini bagi Giandra terasa datang begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia mendengar cerita dari mendiang gurunya tentang si lelaki bertopeng yang membuat huru-hara di dunia persilatan, hari ini dia sudah berhadapan langsung dengan bajingan tersebut.Ayahnya sendiri butuh waktu delapan belas tahun berlatih ilmu kanuragan untuk mempersiapkan diri melawan Argani, sedangkan Giandra baru semalam turun dari padepokan dan baru beberapa kali melakukan pertarungan, dia sebenarnya ragu apakah dirinya mampu mengimbangi kekuatan Argani Bhadrika.Perasaan Giandra tiba-tiba gugup, jantungnya berdebar-debar, kulit tubuhnya pun mulai terasa dingin karena darahnya turun. Namun dia berusaha melawan ketakutan itu, Giandra pun memasang sikap kuda-kuda sebagai pertahanan, dia berharap Pedang Penebas Setan yang dia genggam akan mengalirkan lagi energi ke dalam dirinya.Argani Bhadrika berkata, “Ka
Tiga puluh orang anak murid yang dari tadi hanya menonton kini mulai ketakutan. Mereka tak percaya kalau Giandra telah dikalahkan oleh penjahat, padahal di mata mereka semua sosok Giandra adalah senior yang paling hebat dan juga paling mereka kagumi.Salah seorang dari anak murid itu berkata ke teman-temannya yang lain, “Kita tidak boleh hanya diam jadi pengecut! Kita harus membantu kakang Giandra. Perguruan Rajawali Angkasa tidak boleh tunduk pada Persaudaraan Iblis!”Murid yang lain lalu menjawab, “Ya, betul! Kita juga harus ikut bertarung. Kita semua bukan pengecut!”Jimbalang Loreng mendengar pembicaraan para anak murid tersebut. Dia tahu kalau mereka sekarang hendak ikut campur, kedua tangannya pun terkepal, keinginan untuk membantai muncul dalam dirinya.Celeng Ireng ternyat maju duluan. Siluman babi itu menghentakkan tombak trisulanya ke tanah. Dia menoleh ke Jimbalang Loreng yang berdiri di belakangnya. “Aku tahu kala
Argani berjalan membelakangi Giandra yang terbaring lemah. Dia berkata, “Kekuatanmu masih belum ada apa-apanya dibandingkan denganku, Pendekar Muda. Dari tadi kau memang keras kepala.”Giandra berjuang lagi untuk bangkit. Lututnya sekarang gemetar. Dia terbatuk dan kembali dari mulutnya kelua darah. Dengan badan yang bungkuk karena menahan sakit, dia berjalan menghampiri Argani Bhadrika.Argani dapat mendengar bunyi langkah kaki yang mendekatinya dari belakang itu. “Heh, aku salut padamu. Rupanya kau masih kuat berdiri. Tampaknya kau memang ingin mati hari ini!”“Hah hah hah hah.” Giandra terhengal. Dia berkata pada Argani, “Aku tidak boleh kalah dari penjahat bajingan sepertimu.”“Tapi nyatanya kau sudah kalah,” ucap Argani. Lelaki bertopeng itu pun membalik badan dan menatap pada Giandra. “Baiklah jika memang kau ingin tewas di tanganku, mari kita selesaikan semuanya sekarang.”Argani Bhadrika mengangkat Pedang Penebas Setan di tangan kirinya. Dia bersiap mengayunkan pedang tersebut
Argani Bhadrika sadar kalau kemampuan bertarung Tubagus Dharmasuri memang bukanlah kaleng-kaleng. Dia tidak mempan diserangan dengan ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan, bahkan topeng yang selama ini dia kenakan bisa langsung hancur hanya dengan sekali ditinju saja oleh patih tua itu.“Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Toh Pedang Penebas Setan telah aku dapatkan. Tidak ada lagi alasan untuk berlama-lama,” batin Argani sambil melihat kepada pedang yang sudah berada di genggamannya. “Aku harus segera menjadi titisan Iblis Hitam supaya dapat menjadi lebih kuat. Barulah nanti patih tua ini bisa kukalahkan.”Tubagus mengangkat tangan kanannya yang terkepal. Cahaya hijau pun meuncul meliputi tangannya itu. Kemudian sang patih menunduk dan memukul bumi dengan sangat kuat, ledakan-ledakan besar pun bermunculan dan menjalar menuju Argani Bhadrika.Argani langsung melompat berputar ke samping. Lalu dia menjauh dari Tubagus Dharmasuri. Kawan-kawannya yang lain pun kemudian menghampirinya.“
Setelah ketiganya masuk ke dalam kamar pribadi Raditiya. Giandra coba melangkah menuju lemari pakaian, dia berpikir kalau mungkin saja Raditiya menyimpan barang yang mereka cari di dalamnya.Namun setelah dia membuka lemari tersebut dan mencari-cari di antara tumpukan pakaian yang berlipat rapi, Giandra tidak menemukan apa pun selain hanya baju dan celana milik Raditiya.Dia kemudian berjongkok dan coba mengintip ke bawah ranjang, siapa tahu menurutnya ada di tempat itu, sebab di bawah ranjang termasuk tempat pribadi yang tidak dijamah oleh orang lain. Namun Giandra tak melihat apa pun di situ kecuali hanya gelap, tangannya berusaha menjangkau dan meraba-raba, tapi memang tidak ada apa-apa yang diraih.Giandra pun kembali berdiri. Nalurinya terus berpikir untuk mendapatkan gulungan itu. Dia lalu mengangkat tilam yang biasa dibaringi oleh Raditiya, dan kali ini dugaannya ternyata tepat, gulungan lontar itu rupanya ada di bawah tilam.Giandra mengambilnya.
Sore hari ketika Prabu Surya Buana bersama permaisuri duduk di taman istana sambil menikmati buah-buahan, Putri Seroja tengah asyik menyirami bunga bersama para dayang-kerajaan. Sepasang suami dan istri ini merasa bahagia saat memperhatikan anak tunggal mereka itu.Gadis belia itu mengenakan gaun kuning, banyak perhiasan emas di leher dan juga tangannya, bahkan anting-antingnya pun berupa batu berlian. Sapuan bedak tipis menjadikan wajahnya tambah berseri, dan alis matanya yang sudah indah dilapisi lagi dengan celak hitam. Sebagai seorang puteri kerajaan, dia tampak begitu cantik serta elegan.Sang prabu sadar kalau anak perempuannya itu kini semakin tumbuh dewasa, hingga terbersitlah dalam hatinya keinginan untuk mencarikan pendamping yang cocok bagi Puteri Seroja.“Dinda Permaisuri, apa Dinda pernah memikirkan kalau sudah seyogyanya anak kita agar segera memiliki pasangan? Akulah lihat usianya telah cukup umur,” kata Prabu Surya Buana kepada permaisurinya.“Memangnya kenapa harus bu
Dewa Kalajengking berdiri tegak di hadapan semua orang. Sambil menggenggam tongkat, dia menyapukan pandangan matanya yang tajam kepada semua manusia di tempat itu.Argani Bhadrika pun bangkit berdiri. Dia maju ke depan dan berkata. “Wahai Dewa Kalajengkin, aku sudah mengumpulkan Empat Pusaka Penakluk Jagat. Lihatlah di sebelah kirimu.” Argani menunjuk pada kumpulan benda-benda pusaka yang ditaruh di atas empat potongan batang pinus yang bersusun rapat.Dewa Kalajengking tersenyum kecut. Tepi bibirnya yang sebelah kanan bergerak ke atas. “Heh, bagus. Rupanya kau telah berhasil.”Argani Bhadrika yang sudah tidak sabar lagi untuk memulai ritual pun bertanya dengan nada tinggi, “Lalu kapan kau akan menitiskan Iblis Hitam ke dalam diriku? Jangan menunggu lama lagi, Orang Tua!”Sorot mata Dewa Kalajengking menyala. Dia mendengus seperti banteng. Argani pun jadi merasa gentar melihat ekspresi wajah si kakek yang berkulit keriput itu.Dewa Kalajengking menghentakkan tongkatnya ke tanah. Semua
Setelah surya terbenam di kaki cakrawala, kegelapan mulai mendekap seluruh langit, malam pun datang membawa keheningan tanpa semilir angin, membuat suasana di hutan jadi terasa menyeramkan.Titik-titik bintang muncul di angkasa, tapi cahayanya seperti debu, nyaris tak terlihat oleh mata. Wujud bula sabit bersinar bak dua tanduk setan, dan syafak merah mengawang di sebelah barat laksana pintu neraka yang menganga, inilah waktu dimana para dedemit serta roh jahat akan mulai keluar.Empat Pusaka Penakluk Jagat sudah dihancurkan oleh Dewa Kalajengking. Hatinya merasa cukup puas. Kini tidak ada lagi rasa dengki yang mendongkol dalam dada si penyihir itu, sebab keempat senjata ciptaan musuhnya yang paling dipuja di dunia persilatan sekarang telah musnah.Meski hari sudah malam, tapi ritual belum jua dimulai, Dewa Kalajengking masih menunggu kemunculan Mpu Seta di tempat itu, dia tidak mau kalau ritual mereka nanti akan kacau saat tengah dilaksanakan jika musuhny
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya