Setelah surya terbenam di kaki cakrawala, kegelapan mulai mendekap seluruh langit, malam pun datang membawa keheningan tanpa semilir angin, membuat suasana di hutan jadi terasa menyeramkan.Titik-titik bintang muncul di angkasa, tapi cahayanya seperti debu, nyaris tak terlihat oleh mata. Wujud bula sabit bersinar bak dua tanduk setan, dan syafak merah mengawang di sebelah barat laksana pintu neraka yang menganga, inilah waktu dimana para dedemit serta roh jahat akan mulai keluar.Empat Pusaka Penakluk Jagat sudah dihancurkan oleh Dewa Kalajengking. Hatinya merasa cukup puas. Kini tidak ada lagi rasa dengki yang mendongkol dalam dada si penyihir itu, sebab keempat senjata ciptaan musuhnya yang paling dipuja di dunia persilatan sekarang telah musnah.Meski hari sudah malam, tapi ritual belum jua dimulai, Dewa Kalajengking masih menunggu kemunculan Mpu Seta di tempat itu, dia tidak mau kalau ritual mereka nanti akan kacau saat tengah dilaksanakan jika musuhny
Mpu Seta yang masih peduli pada Argani berusaha untuk mengingatkan dan menasehatinya. “Aku mendidikmu jadi pendekar supaya kau bisa membela diri dan menolong orang-orang yang tertindas, bukan malah menggunakannya untuk menindas orang lain. Jalanmu ini sungguh tidak benar, Nak.”“Ya, aku sudah menggunakan ilmuku untuk membela diri,” jawab Argani sambil mengangguk. “Bahkan aku juga sudah membunuh orang-orang yang dahulu pernah menganiayaku. Sekarang aku bisa merasakan betapa nikmatnya menindas kaum lemah, sebagaimana dahulu mereka bersenang-senang saat menindasku.”Janaloka lalu ikut bicara. Dia juga berusaha untuk menyadarkan Argani yang hatinya sudah gelap. “Aku mengerti perasaanmu, wahai Argani. Kau sakit hati karena dahulu sering disiksa dan dipandang sebelah mata. Pengalaman hidup yang pahit telah mengubahmu menjadi manusia yang kejam dan tak punya perasaan. Tapi ketahuilah, gurumu ini sangat menyayangimu, Argani. Kembalilah ke jalan yang benar selagi masih ada waktu.”“Maaf, Pak T
Nyala api pada batang-batang obor berpendar di desau angin, cahaya tipisnya menerangi di tengah area pertarungan malam itu. Semua orang menjauh ke tepi dan membentuk lingkaran, mereka tak ingin kalau sampai terkena imbas saat dua pendekar tua itu saling beradu kekuatan.Mpu Seta dan Dewa Kalajengking saling tetap bagaikan singa. Keduanya berusaha mengukur kekuatan satu sama lain. Dalam cahaya obor yang redup, mereka pun mulai bergerak, melangkah berkeliling membuka bunga silat. Mpu Seta sadar bahwa dia tidak membawa senjata apa pun, sedangkan lawannya memiliki Tongkat Matahari, duel ini tentu akan sulit baginya. Dia hanya bisa mengandalkan segala ilmu kanuragan yang dia milikiAkhirnya Dewa Kalajengking maju dan mengibaskan tongkat. Mpu membalik badan dan menangkis serangan itu dengan kaki kirinya. Dewa Kalajengking lalu maju menghunjamkan tongkat ke depan. Mpu Seta secepatnya langsung menghindar dengan memutar pinggang, tongkat itu pun berlalu di depan dadanya seperti angin. Dewa K
Langit semakin gelap dan syafak merah di barat telah tenggelam. Janaloka telah pergi meninggalkan Lereng Gunung Ratri dengan rasa kesedihan yang luar biasa. Kini tibalah waktunya bagi Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis memulai ritual mereka.Semua anggota Persaudaraan Iblis berdiri membentuk lingkaran, sedangkan Argani Bhadrika duduk bersila di tengah sambil memejamkan mata, dan di belakangnya Dewa Kalajengking berdiri tegak untuk memimpin upacara.Penyihir itu mengangkat kedua tangannya dan mendongkak ke langit. Dia pun mulai merafalkan mantra dengan suara nyaring.“Wahai kegelapan yang sembunyi di balik terang, terbitlah! Wahai jiwa-jiwa yang terhempas dari langit dan tertolak oleh bumi, datanglah! Wahai kebencian dan dendam yang bersemayam di hati manusia, berkobarlah! Aku berseru pada gerbang neraka di bawah lapisan bumi yang ketujuh, terbukalah! Hadirlah kau, wahai sukma yang menyimpan amarah! Aku mengundangmu ke tempat ini!”Tiba-tiba awan hitam pekat muncul mendindingi seg
Sukma Iblis Hitam yang saat itu telah hadir hanya bisa berbicara kepada Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis melalui lubang di tengah pusaran api yang berputar di langit.Iblis Hitam berkata, Lima puluh tahun lamanya sudah aku menunggu. Akhirnya permintaanku diperkenankan jua oleh Yang Maha Kuasa. Aku bisa menuntut balas kepada para pendekar sepuh yang menjadi musuhku.”“Semua musuh-musuhmu telah lama mati, wahai Iblis Hitam,” ujar Dewa Kalajengking memberitahu siluman jahat tersebut. “Yang terakhir dari mereka adalah Datuk Ancala Raya, tubuhnya sudah berkalang dalam tanah. Para penerus mereka juga telah kami kalahkan, bahkan Empat Pusaka Penakluk Jagat yang dulu dipakai untuk membinasakanmu juga sudah aku hancurkan. Sekarang tidak adalagi yang perlu kaukhawatirkan.”Iblis Hitam pun gelak tertawa. “Hahahahahaha! Bagus sekali! Kau merencanakan dan menyusun semuanya dengan sangat baik, Dewa Kalajengking.”Si penyihir itu berkata lagi, “Wahai Iblis Hitam. Lihatlah pria yang duduk ber
BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj
Persaudaraan Iblis berpencar dan memasuki setiap rumah warga, mereka hendak memburu anak-anak kecil yang usianya masih di bawah sepuluh tahun. Sambil membiarkan para anggotanya itu menjalankan tugas, Argani Bhadrika menunggu mereka di sebuah gubuk tua yang sudah tak berpengehuni lagi.Sementara itu, Panglima Sanca dan Aryajanggala mendobrak pintu rumah milik seorang petani jagung. Petani itu bernama Suripto, dia seorang lelaki lemah yang sudah tua dan sakit-sakitan, di rumah ini Suripto hanya diurusi oleh istri dan kedua anak perawannya.Istri Suripto yang bernama Juminah pun terkejut. Dia dan kedua anak perempuannya yang saat itu tengah sibuk di dapur langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya mereka di ruang tengah, ketiga wanita itu kaget melihat dua orang penjahat yang berbadan kekar dan bermuka sangat telah masuk ke dalam rumah mereka.Juminah yang berbadan gemuk dan mengenakan kain batik sebetas dada pun merentangkan kedua t
Dua orang anak Gadis Suripto lari dengan penuh ketakutan. Mereka menembus hutan di belakang rumah dan tidak tahu harus pergi kemana. Sang kakak yang berbaju hitam terus menarik tangan adiknya agar lebih mempercepat langkah.“Hah …. Hah …. Hah …. Aku sudah tidak kaut lagi, Kak Sekar,” ucap si adik sambil terhengal capek.“Kita tidak boleh berhenti, Puspita,” kata si Kakak memaksa adiknya. “Dua orang penjahat itu pasti akan mengejar kita. Ayo, kau pasti kuat. kita harus mencari tempat yang aman untuk sembunyi.”Sambil tertunduk kelelahan, si adik berkata pada kakaknya, “Bagaimana keadaan romo dan si mbok sekarang, Kakak? Aku tidak ingin meninggalkan mereka! Aku mau kembali!”“Jangan, Puspita!” ujar si Kakak melarangnya keras. “Saat ini berbahaya sekali kalau kita kembali ke rumah. Ayo, kita lari lagi. Kuatkanlah dirimu, Puspita!”Si adik menyeka keringat yang
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr
Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya