Langit semakin gelap dan syafak merah di barat telah tenggelam. Janaloka telah pergi meninggalkan Lereng Gunung Ratri dengan rasa kesedihan yang luar biasa. Kini tibalah waktunya bagi Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis memulai ritual mereka.Semua anggota Persaudaraan Iblis berdiri membentuk lingkaran, sedangkan Argani Bhadrika duduk bersila di tengah sambil memejamkan mata, dan di belakangnya Dewa Kalajengking berdiri tegak untuk memimpin upacara.Penyihir itu mengangkat kedua tangannya dan mendongkak ke langit. Dia pun mulai merafalkan mantra dengan suara nyaring.“Wahai kegelapan yang sembunyi di balik terang, terbitlah! Wahai jiwa-jiwa yang terhempas dari langit dan tertolak oleh bumi, datanglah! Wahai kebencian dan dendam yang bersemayam di hati manusia, berkobarlah! Aku berseru pada gerbang neraka di bawah lapisan bumi yang ketujuh, terbukalah! Hadirlah kau, wahai sukma yang menyimpan amarah! Aku mengundangmu ke tempat ini!”Tiba-tiba awan hitam pekat muncul mendindingi seg
Sukma Iblis Hitam yang saat itu telah hadir hanya bisa berbicara kepada Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis melalui lubang di tengah pusaran api yang berputar di langit.Iblis Hitam berkata, Lima puluh tahun lamanya sudah aku menunggu. Akhirnya permintaanku diperkenankan jua oleh Yang Maha Kuasa. Aku bisa menuntut balas kepada para pendekar sepuh yang menjadi musuhku.”“Semua musuh-musuhmu telah lama mati, wahai Iblis Hitam,” ujar Dewa Kalajengking memberitahu siluman jahat tersebut. “Yang terakhir dari mereka adalah Datuk Ancala Raya, tubuhnya sudah berkalang dalam tanah. Para penerus mereka juga telah kami kalahkan, bahkan Empat Pusaka Penakluk Jagat yang dulu dipakai untuk membinasakanmu juga sudah aku hancurkan. Sekarang tidak adalagi yang perlu kaukhawatirkan.”Iblis Hitam pun gelak tertawa. “Hahahahahaha! Bagus sekali! Kau merencanakan dan menyusun semuanya dengan sangat baik, Dewa Kalajengking.”Si penyihir itu berkata lagi, “Wahai Iblis Hitam. Lihatlah pria yang duduk ber
BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj
Persaudaraan Iblis berpencar dan memasuki setiap rumah warga, mereka hendak memburu anak-anak kecil yang usianya masih di bawah sepuluh tahun. Sambil membiarkan para anggotanya itu menjalankan tugas, Argani Bhadrika menunggu mereka di sebuah gubuk tua yang sudah tak berpengehuni lagi.Sementara itu, Panglima Sanca dan Aryajanggala mendobrak pintu rumah milik seorang petani jagung. Petani itu bernama Suripto, dia seorang lelaki lemah yang sudah tua dan sakit-sakitan, di rumah ini Suripto hanya diurusi oleh istri dan kedua anak perawannya.Istri Suripto yang bernama Juminah pun terkejut. Dia dan kedua anak perempuannya yang saat itu tengah sibuk di dapur langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya mereka di ruang tengah, ketiga wanita itu kaget melihat dua orang penjahat yang berbadan kekar dan bermuka sangat telah masuk ke dalam rumah mereka.Juminah yang berbadan gemuk dan mengenakan kain batik sebetas dada pun merentangkan kedua t
Dua orang anak Gadis Suripto lari dengan penuh ketakutan. Mereka menembus hutan di belakang rumah dan tidak tahu harus pergi kemana. Sang kakak yang berbaju hitam terus menarik tangan adiknya agar lebih mempercepat langkah.“Hah …. Hah …. Hah …. Aku sudah tidak kaut lagi, Kak Sekar,” ucap si adik sambil terhengal capek.“Kita tidak boleh berhenti, Puspita,” kata si Kakak memaksa adiknya. “Dua orang penjahat itu pasti akan mengejar kita. Ayo, kau pasti kuat. kita harus mencari tempat yang aman untuk sembunyi.”Sambil tertunduk kelelahan, si adik berkata pada kakaknya, “Bagaimana keadaan romo dan si mbok sekarang, Kakak? Aku tidak ingin meninggalkan mereka! Aku mau kembali!”“Jangan, Puspita!” ujar si Kakak melarangnya keras. “Saat ini berbahaya sekali kalau kita kembali ke rumah. Ayo, kita lari lagi. Kuatkanlah dirimu, Puspita!”Si adik menyeka keringat yang
Sesosok manusia berpakaian serba putih melompat keluar dari bali semak belukar yang menjulang dan tebal. Dia bersalto depan dan akhirnya mendarat tepat di hadapan semua orang.Sosok itu adalah Damayanti yang menutupi wajahnya dengan selembar kain putih. Dia kelihatan cantik dengan bulu mata yang lentik dan rambut hitam panjang yang terganggul di puncak kepala.Panglima Sanca menggeram, “Hmm, ternyata kau hanya seorang perempuan! Berani sekali menyerangku dengan panah diam-diam. Cepat katakan siapa dirimu!”Damayanti menjawab, “Kalian tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang jelas, aku adalah orang yang sangat menentang Persaudaraan Iblis! Kalian berdua tentu adalah bagian dari mereka, benar bukan?”Aryajanggala pun maju sambil mengepalkan kedua tangannya. “Sombong sekali, kau ingin menentang Persaudaraan Iblis? Aku baru tahu kalau rupanya masih ada pendekar aliran putih sepertimu. Dari perguruan mana kau berasal?”Damayanti menggantungkan busurnya ke pundak. Dia menatap tajam pada Aryaja
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme
Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba
Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq
Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g
Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata
Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena
Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di
Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,
Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&