Setelah ketiganya masuk ke dalam kamar pribadi Raditiya. Giandra coba melangkah menuju lemari pakaian, dia berpikir kalau mungkin saja Raditiya menyimpan barang yang mereka cari di dalamnya.
Namun setelah dia membuka lemari tersebut dan mencari-cari di antara tumpukan pakaian yang berlipat rapi, Giandra tidak menemukan apa pun selain hanya baju dan celana milik Raditiya.
Dia kemudian berjongkok dan coba mengintip ke bawah ranjang, siapa tahu menurutnya ada di tempat itu, sebab di bawah ranjang termasuk tempat pribadi yang tidak dijamah oleh orang lain. Namun Giandra tak melihat apa pun di situ kecuali hanya gelap, tangannya berusaha menjangkau dan meraba-raba, tapi memang tidak ada apa-apa yang diraih.
Giandra pun kembali berdiri. Nalurinya terus berpikir untuk mendapatkan gulungan itu. Dia lalu mengangkat tilam yang biasa dibaringi oleh Raditiya, dan kali ini dugaannya ternyata tepat, gulungan lontar itu rupanya ada di bawah tilam.
Giandra mengambilnya.
Sore hari ketika Prabu Surya Buana bersama permaisuri duduk di taman istana sambil menikmati buah-buahan, Putri Seroja tengah asyik menyirami bunga bersama para dayang-kerajaan. Sepasang suami dan istri ini merasa bahagia saat memperhatikan anak tunggal mereka itu.Gadis belia itu mengenakan gaun kuning, banyak perhiasan emas di leher dan juga tangannya, bahkan anting-antingnya pun berupa batu berlian. Sapuan bedak tipis menjadikan wajahnya tambah berseri, dan alis matanya yang sudah indah dilapisi lagi dengan celak hitam. Sebagai seorang puteri kerajaan, dia tampak begitu cantik serta elegan.Sang prabu sadar kalau anak perempuannya itu kini semakin tumbuh dewasa, hingga terbersitlah dalam hatinya keinginan untuk mencarikan pendamping yang cocok bagi Puteri Seroja.“Dinda Permaisuri, apa Dinda pernah memikirkan kalau sudah seyogyanya anak kita agar segera memiliki pasangan? Akulah lihat usianya telah cukup umur,” kata Prabu Surya Buana kepada permaisurinya.“Memangnya kenapa harus bu
Dewa Kalajengking berdiri tegak di hadapan semua orang. Sambil menggenggam tongkat, dia menyapukan pandangan matanya yang tajam kepada semua manusia di tempat itu.Argani Bhadrika pun bangkit berdiri. Dia maju ke depan dan berkata. “Wahai Dewa Kalajengkin, aku sudah mengumpulkan Empat Pusaka Penakluk Jagat. Lihatlah di sebelah kirimu.” Argani menunjuk pada kumpulan benda-benda pusaka yang ditaruh di atas empat potongan batang pinus yang bersusun rapat.Dewa Kalajengking tersenyum kecut. Tepi bibirnya yang sebelah kanan bergerak ke atas. “Heh, bagus. Rupanya kau telah berhasil.”Argani Bhadrika yang sudah tidak sabar lagi untuk memulai ritual pun bertanya dengan nada tinggi, “Lalu kapan kau akan menitiskan Iblis Hitam ke dalam diriku? Jangan menunggu lama lagi, Orang Tua!”Sorot mata Dewa Kalajengking menyala. Dia mendengus seperti banteng. Argani pun jadi merasa gentar melihat ekspresi wajah si kakek yang berkulit keriput itu.Dewa Kalajengking menghentakkan tongkatnya ke tanah. Semua
Setelah surya terbenam di kaki cakrawala, kegelapan mulai mendekap seluruh langit, malam pun datang membawa keheningan tanpa semilir angin, membuat suasana di hutan jadi terasa menyeramkan.Titik-titik bintang muncul di angkasa, tapi cahayanya seperti debu, nyaris tak terlihat oleh mata. Wujud bula sabit bersinar bak dua tanduk setan, dan syafak merah mengawang di sebelah barat laksana pintu neraka yang menganga, inilah waktu dimana para dedemit serta roh jahat akan mulai keluar.Empat Pusaka Penakluk Jagat sudah dihancurkan oleh Dewa Kalajengking. Hatinya merasa cukup puas. Kini tidak ada lagi rasa dengki yang mendongkol dalam dada si penyihir itu, sebab keempat senjata ciptaan musuhnya yang paling dipuja di dunia persilatan sekarang telah musnah.Meski hari sudah malam, tapi ritual belum jua dimulai, Dewa Kalajengking masih menunggu kemunculan Mpu Seta di tempat itu, dia tidak mau kalau ritual mereka nanti akan kacau saat tengah dilaksanakan jika musuhny
Mpu Seta yang masih peduli pada Argani berusaha untuk mengingatkan dan menasehatinya. “Aku mendidikmu jadi pendekar supaya kau bisa membela diri dan menolong orang-orang yang tertindas, bukan malah menggunakannya untuk menindas orang lain. Jalanmu ini sungguh tidak benar, Nak.”“Ya, aku sudah menggunakan ilmuku untuk membela diri,” jawab Argani sambil mengangguk. “Bahkan aku juga sudah membunuh orang-orang yang dahulu pernah menganiayaku. Sekarang aku bisa merasakan betapa nikmatnya menindas kaum lemah, sebagaimana dahulu mereka bersenang-senang saat menindasku.”Janaloka lalu ikut bicara. Dia juga berusaha untuk menyadarkan Argani yang hatinya sudah gelap. “Aku mengerti perasaanmu, wahai Argani. Kau sakit hati karena dahulu sering disiksa dan dipandang sebelah mata. Pengalaman hidup yang pahit telah mengubahmu menjadi manusia yang kejam dan tak punya perasaan. Tapi ketahuilah, gurumu ini sangat menyayangimu, Argani. Kembalilah ke jalan yang benar selagi masih ada waktu.”“Maaf, Pak T
Nyala api pada batang-batang obor berpendar di desau angin, cahaya tipisnya menerangi di tengah area pertarungan malam itu. Semua orang menjauh ke tepi dan membentuk lingkaran, mereka tak ingin kalau sampai terkena imbas saat dua pendekar tua itu saling beradu kekuatan.Mpu Seta dan Dewa Kalajengking saling tetap bagaikan singa. Keduanya berusaha mengukur kekuatan satu sama lain. Dalam cahaya obor yang redup, mereka pun mulai bergerak, melangkah berkeliling membuka bunga silat. Mpu Seta sadar bahwa dia tidak membawa senjata apa pun, sedangkan lawannya memiliki Tongkat Matahari, duel ini tentu akan sulit baginya. Dia hanya bisa mengandalkan segala ilmu kanuragan yang dia milikiAkhirnya Dewa Kalajengking maju dan mengibaskan tongkat. Mpu membalik badan dan menangkis serangan itu dengan kaki kirinya. Dewa Kalajengking lalu maju menghunjamkan tongkat ke depan. Mpu Seta secepatnya langsung menghindar dengan memutar pinggang, tongkat itu pun berlalu di depan dadanya seperti angin. Dewa K
Langit semakin gelap dan syafak merah di barat telah tenggelam. Janaloka telah pergi meninggalkan Lereng Gunung Ratri dengan rasa kesedihan yang luar biasa. Kini tibalah waktunya bagi Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis memulai ritual mereka.Semua anggota Persaudaraan Iblis berdiri membentuk lingkaran, sedangkan Argani Bhadrika duduk bersila di tengah sambil memejamkan mata, dan di belakangnya Dewa Kalajengking berdiri tegak untuk memimpin upacara.Penyihir itu mengangkat kedua tangannya dan mendongkak ke langit. Dia pun mulai merafalkan mantra dengan suara nyaring.“Wahai kegelapan yang sembunyi di balik terang, terbitlah! Wahai jiwa-jiwa yang terhempas dari langit dan tertolak oleh bumi, datanglah! Wahai kebencian dan dendam yang bersemayam di hati manusia, berkobarlah! Aku berseru pada gerbang neraka di bawah lapisan bumi yang ketujuh, terbukalah! Hadirlah kau, wahai sukma yang menyimpan amarah! Aku mengundangmu ke tempat ini!”Tiba-tiba awan hitam pekat muncul mendindingi seg
Sukma Iblis Hitam yang saat itu telah hadir hanya bisa berbicara kepada Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis melalui lubang di tengah pusaran api yang berputar di langit.Iblis Hitam berkata, Lima puluh tahun lamanya sudah aku menunggu. Akhirnya permintaanku diperkenankan jua oleh Yang Maha Kuasa. Aku bisa menuntut balas kepada para pendekar sepuh yang menjadi musuhku.”“Semua musuh-musuhmu telah lama mati, wahai Iblis Hitam,” ujar Dewa Kalajengking memberitahu siluman jahat tersebut. “Yang terakhir dari mereka adalah Datuk Ancala Raya, tubuhnya sudah berkalang dalam tanah. Para penerus mereka juga telah kami kalahkan, bahkan Empat Pusaka Penakluk Jagat yang dulu dipakai untuk membinasakanmu juga sudah aku hancurkan. Sekarang tidak adalagi yang perlu kaukhawatirkan.”Iblis Hitam pun gelak tertawa. “Hahahahahaha! Bagus sekali! Kau merencanakan dan menyusun semuanya dengan sangat baik, Dewa Kalajengking.”Si penyihir itu berkata lagi, “Wahai Iblis Hitam. Lihatlah pria yang duduk ber
BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan
Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati
Sesosok manusia berpakaian serba putih melompat keluar dari bali semak belukar yang menjulang dan tebal. Dia bersalto depan dan akhirnya mendarat tepat di hadapan semua orang.Sosok itu adalah Damayanti yang menutupi wajahnya dengan selembar kain putih. Dia kelihatan cantik dengan bulu mata yang lentik dan rambut hitam panjang yang terganggul di puncak kepala.Panglima Sanca menggeram, “Hmm, ternyata kau hanya seorang perempuan! Berani sekali menyerangku dengan panah diam-diam. Cepat katakan siapa dirimu!”Damayanti menjawab, “Kalian tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang jelas, aku adalah orang yang sangat menentang Persaudaraan Iblis! Kalian berdua tentu adalah bagian dari mereka, benar bukan?”Aryajanggala pun maju sambil mengepalkan kedua tangannya. “Sombong sekali, kau ingin menentang Persaudaraan Iblis? Aku baru tahu kalau rupanya masih ada pendekar aliran putih sepertimu. Dari perguruan mana kau berasal?”Damayanti menggantungkan busurnya ke pundak. Dia menatap tajam pada Aryaja
Dua orang anak Gadis Suripto lari dengan penuh ketakutan. Mereka menembus hutan di belakang rumah dan tidak tahu harus pergi kemana. Sang kakak yang berbaju hitam terus menarik tangan adiknya agar lebih mempercepat langkah.“Hah …. Hah …. Hah …. Aku sudah tidak kaut lagi, Kak Sekar,” ucap si adik sambil terhengal capek.“Kita tidak boleh berhenti, Puspita,” kata si Kakak memaksa adiknya. “Dua orang penjahat itu pasti akan mengejar kita. Ayo, kau pasti kuat. kita harus mencari tempat yang aman untuk sembunyi.”Sambil tertunduk kelelahan, si adik berkata pada kakaknya, “Bagaimana keadaan romo dan si mbok sekarang, Kakak? Aku tidak ingin meninggalkan mereka! Aku mau kembali!”“Jangan, Puspita!” ujar si Kakak melarangnya keras. “Saat ini berbahaya sekali kalau kita kembali ke rumah. Ayo, kita lari lagi. Kuatkanlah dirimu, Puspita!”Si adik menyeka keringat yang
Persaudaraan Iblis berpencar dan memasuki setiap rumah warga, mereka hendak memburu anak-anak kecil yang usianya masih di bawah sepuluh tahun. Sambil membiarkan para anggotanya itu menjalankan tugas, Argani Bhadrika menunggu mereka di sebuah gubuk tua yang sudah tak berpengehuni lagi.Sementara itu, Panglima Sanca dan Aryajanggala mendobrak pintu rumah milik seorang petani jagung. Petani itu bernama Suripto, dia seorang lelaki lemah yang sudah tua dan sakit-sakitan, di rumah ini Suripto hanya diurusi oleh istri dan kedua anak perawannya.Istri Suripto yang bernama Juminah pun terkejut. Dia dan kedua anak perempuannya yang saat itu tengah sibuk di dapur langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya mereka di ruang tengah, ketiga wanita itu kaget melihat dua orang penjahat yang berbadan kekar dan bermuka sangat telah masuk ke dalam rumah mereka.Juminah yang berbadan gemuk dan mengenakan kain batik sebetas dada pun merentangkan kedua t
BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj