Mengetahui kalau lawannya sudah mengeluarkan ajian pamungkas, Ratu Kalinda Kamala tidak hanya diam saja dan tercengang menyaksikan pemandangan itu, untuk menghadapi Aryajanggala, dia pun terpaksa harus menggunakan Tiga Mutiara Inti Samudera.Ratu Kalinda Kamala menadahkan tangan kanannya di depan mulut, bibirnya lalu mulai meniup, tiga butir mutiara yang bercahaya seperti bintang pun keluar dari dalam mulutnya dan berkumpul di telapak tangannya. Mutiara-mutiara itu terdiri dari tiga warna, yaitu hijau, putih, dan juga biru, semuanya tampak berkilauan. Inilah mustika Kerajaan Ular Kipas yang selama ini paling diincar di dunia persilatan.Puteri Nilam Sari serta para dayang dibuat kagum dan terpesona akan keindahan sinar yang terpancar dari mustika itu, sebab baru pertama kali ini mereka melihatnya langsung. Di sisi lain, Aryajanggala mulai mengepalkan tangan kiri di samping telinga. Bersamaan dengan itu pula, dia menarik kaki kirinya mundur ke belakang dan mengambil sikap kuda-kuda
Saat benang-benang fajar telah terbit mengakhiri waktu malam, Mpu Seta di dalam gua tempat pengasingannya masih khusyuk bermeditasi.Lelaki tua itu duduk bersila di atas sebuah batu besar, matanya terpejam, kedua tangannya terlentang di atas paha, dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak.Kala itu cahaya obor masih menyala menerangi dinding-dinding gua, tiba-tiba dari arah luar terdengarlah ada bunyi langkah kaki.Mpu Seta yang menyadari hal itu pun langsung membuka matanya. Dia lalu menoleh ke arah pintu gua, tampaklah di sana ada bayangan manusia sedang berjalan menggunakan tongkat.Dia memperhatikan ke sosok itu, mencoba mengenali siapakah yang datang tersebut, ternyata itu tidak lain adalah Janaloka.“Sudah lama kau tak pernah lagi mengunjungiku,” kata Mpu Seta.Janaloka berjalan ke dalam ruangan gua yang diterangi cahaya obor, dia pun menatap pada Mpu Seta dan berkata, “Kau kelihatan tambah semakin tua saja, Bahuwirya.”Mpu Seta tertawa sambil menggeleng-geleng kepala. “Lalu apa b
Bayu Halimum baru saja selesai meracik ramuan dalam sebuah tempurung. Obat itu dibuat untuk mengobati Aryajanggala yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar. Manik Maya lalu mengambil racikan itu, dia mendekatkannya ke hidung dan coba mengendus baunya.Ramuan itu mengeluarkan aroma yang khas, sebab terbuat dari racikan daun binahong, daun alpukat, daun sasaladahan, getah jarak pagar, kulit buah manggis, dan juga lidah buaya. Semua bahan tersebut ditumbuk sampai halus dalam tempurung besar dan diberi sedikit air.Manik Maya kemudian menyapukannya ke setiap luka di kulit Aryajanggala. Rasa pedih yang menyengat seketika membuat Aryajanggala terkejut.“Ah, dasar Edan! Pelan-pelanlah sedikit! Perih sekali!”Tangan kiri Manik Maya yang masih berlumur dengan ramuan langsung menempeleng pipi Aryajanggala. “Kau yang edan! Masih untung aku obati. Tidak usah berteriak!”“Iya, tapi pelan-pelan, jangan pakai amarah begitu,” pinta Aryajanggala, sambil nafasnya terhengal menahan pedih.“Sudahlah, Tarin
Di waktu pagi saat matahari baru terbit, Kamajaya mendengar ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Saat itu dia sedang duduk menghadap meja sambil menikmati segelas teh hangat.“Mungkin itu kakang Giandra yang sudah kembali dari Gunung Payoda,” ujar Kamajaya menduga dalam hati. Dia menghirup dulu teh hangatnya agak dua tegukan, lalu bangkit dan berjalan menuju pintu.Setelah dia membuka pintu kamar, Kamajaya pun tiba-tiba terkejut, ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Sapardi. Wajah lelaki itu kelihatan memar seperti bekas kena pukul, hidungnya juga berdarah dan bibirnya pecah. Pemandangan itu membuat Kamajaya jadi keheranan.Sapardi langsung meremas kedua bahu Kamajaya. Dengan ekpsresi muka yang tampak sedang ketakutan, dia berkata, “Paman Raditiya mengamuk, Kakang! Dia menyerang murid-murid di depan gerbang sampai mereka tewas! Lalu setelahnya dia pun pergi entah kemana. Tidak ada yang sanggup menghalanginya.”Bola mata Kamajaya langsung membesar karena kaget mendengar
"Dasar Biadab! Berarti memang dialah yang sudah membunuh keenam murid di depan pintu gerbang tadi!” ucap Kamajaya mengutuk. Nafasnya pun jadi mendengus karena terbakar amarah.Padmarini yang berada di sebelah kiri Giandra akhirnya juga tak dapat membendung emosi yang sudah meluap. Tangannya mulai bersiap mencabut pedang di pinggang. “Tahan dulu!” ucap Giandra pada kedua sahabatnya itu. “Saat ini paman Raditiya sedang di luar ke sasaran, kita harus berhati-hati.”Kamajaya menoleh pada Giandra dan berkata, “Maaf, Kakang. Orang seperti dia ini harus segera dikirim ke neraka!”“Tunggu, Kamajaya, Sabar!” Giandra menghalangkan tangan kanannya di depan dada Kamajaya, berusaha menahan lelaki itu agar tidak ceroboh.Tapi Kamajaya sudah sangat terbakar amarah, meski Giandra melarangnya supaya jangan terburu-buru bertindak, namun dia tetap berlari ke depan dan langsung mencabut pedang dari punggungnya. Seperti banteng yang memburu kain merah sang matador, Kamajaya berlari tanpa memikirkan apa
Seperti manusia yang tengah dirasuki roh jahat, Raditiya berjalan menghampiri Giandra. Dari Sorot mata dan raut mukanya menyiratkan bahwa dia sudah tidak lagi mengenali siapa pun.Yang memenuhi hati Raditiya saat ini hanyalah hasrat untuk membunuh. Pengaruh buruk dari ilmu yang tidak tuntas dia pelajari mungkin telah mengubah jiwanya menjadi iblis.Giandra mengambil sikap pasang, dia bersiap menanti apa yang akan diperbuat oleh Raditiya, namun tiba-tiba, ada sesosok makhluk hitam melompat dari atap warung.Giandra terkejut, sosok itu berdiri membalakanginya dan menghadap ke Raditiya.“Hah, siapa makhluk ini? rasa-rasanya aku pernah melihat,” bisik Giandra pada dirinya sendiri.Makhluk hitam yang berbadan jangkung itu lalu menoleh ke belakang, dan Giandra pun langsung bisa mengenali wajah itu, ternyata dia adalah si Pangeran Kelelawar, siluman yang tempo hari pernah Giandra temui sewaktu dalam perjalanan ke Gunung Payoda.
Giandra kembali bangun. Dalam hati dia membatin "Bagaimana caranya mengalahkan Raditiya? Bahkan Tenaga Dalam Inti Indurashmi pun tidak mampu menandingi kehebatan ajian miliknya.”Dengan langkah yang tidak seimbang seperti orang mabuk, Raditiya berjalan menuju Giandra, tampaknya dia hendak menyerang lagi untuk mengakhiri pertarungan ini.Giandra terus berpikir untuk mencari sebuah ide, dia yakin pasti ada usaha yang dapat dilakukan untuk mematahakan ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan.Raditiya bersiap untuk menggunakan lagi ilmunya. Giandra yang melihat itu pun juga mengambil sikap sedia. Para penonton yang menyaksikan di tepi juga ikut merasa berdebar. Mereka berharap kalau Giandra tidak akan kalah.Saat Raditiya akan mulai menyerang, tiba-tiba muncullah sebuah gada berduri yang melayang dari arah belakangnya, menghantam ke tengkuk Raditiya hingga membuatnya terjerungkup.“Hah, lihat! Ada satu siluman lagi yang muncul!” teriak seorang penonton.Penonton lain kemudian berucap, “Wah,
Dari kejauhan, terlihat seekor kuda hitam datang berlari menuju kerumunan para penonton. Kuda itu meringkik nyaring, membuat orang-orang terkejut dan langsung menepi untuk memberinya jalan.Giandra memicingkan pandangannya saat melihat si penunggang kuda itu. Ternyata yang datang tersebut adalah Waluyo, orang yang selama ini akrab dia panggil sebagai kakek.Waluyo tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Batinnya pun heran menyaksikan mengapa banyak warga yang berkerumun.Dia melihat kalau saat itu Raditiya tengah berusaha bangkit, pakaian depannya hangus terbakar, lalu berjalan dengan terseok.Di sisi lain, Waluyo juga melihat Giandra yang penuh keringat dan tampak kelelahan. Akhirnya Waluyo pun menduga kalau telah terjadi perseteruan di Perguruan Rajawali Angkasa sehingga menyebabkan terjadi pertarungan.Sambil duduk di atas kuda hitam, Waluyo menyapukan juga pandangannya ke berbagai arah. Dia melihat ada siluman kera putih yang terbaring tak berdaya dengan mulut berdarah, dan t
Sore hari di Desa Batu Delima para ketua adat dan juga pemuda-pemuda digemparkan oleh kedatangan Argani bersama rombonganya. Mereka kemari bertujuan mencari gadis-gadis perawan untuk menunaikan syarat dari Iblis Hitam.Dalam tradisi masyarat Desa Batu Delima ada tiga orang pria sepuh yang menduduki jabatan pemangku adat. Mereka dipilih karena dianggap sebagai tokoh yang paling dituakan, paling berilmu, dan paling bijaksana. Saat ini jabatan itu dipegang oleh Ki Kusuma, Ki Dharmawira, dan Ki Martadi.Yang usianya paling senja di antara tiga orang pemangku adat itu adalah Ki Martadi. Kakek tua ini berkepala botak, berkumis tebal dan berjenggot panjang yang sudah memutih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah ungu dan berjalan memakai tongkat.“Kami sudah lama mendengar cerita tentang kelompok kalian. Kalian semua pasti adalah Persaudaraan Iblis yang kabarnya banyak membunuh pendekar aliran putih, benar begitukan? Kalian memang manusia-manusia jahat!” uja
Prabu Surya Buana yang tadi hanya diam menonton kini sadar bahwa pertarungan dua orang ini sudah harus dihentikan sekarang. Sebab keduanya tampak akan saling mencelakai satu sama lain, tak mustahil kalau pertemuan dua jurus itu bisa membuat keduanya tewas!“Mpu Bhiantar, cepat hentikan mereka. Aku tidak ingin kalau dua pendekar ini jadi saling bunuh,” kata Prabu Surya Buana.Mpu Bhiantar pun segera melompat ke udara, dia lalu mendarat tepat di tengah Damayanti dan Patrioda yang akan saling beradu jurus maut.Pria tua itu langsung memukul bumi dengan telapak tangannya sambil bertariak, “Jurus Petir Memecah Bukit! Hiyaaa!”Cahaya kilat keemasan seketika menjalar di tanah, lalu terjadilah sebuah ledakan! Patrioda dan Damayanti sontak langsung menarik pukulan mereka dan bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.Mpu Bhiantar menghela nafas. Dia menurunkan kembali tenaga dalamnya. Sekarang Damayanti dan Patrioda sudah berhent
Seorang prajurit tiba-tiba datang dari balik pintu. Dia berjalan melewati semua orang, lalu berdiri tegak di depan Prabu Surya Buana dan menjura hormat.“Ampun beribu ampun, Gusti,” kata si pengawal itu berucap. “Di depan ada seorang pendekar wanita yang ingin memaksa masuk ke dalam istana. Para prajurit berusaha untuk mengusirnya, namun dia sangat kuat!”Prabu Surya Buana menarik badannya dari sandaran. “Seorang pendekar wanita? Apa dia datang dengan membawa surat undangan?”“Tidak, Gusti,” jawab si pengawal. “Pendekar wanita itu tidak membawa surat undangan, makanya kami berusaha mengusirnya, tapi dia melawan dan ingin tetap masuk. Wajahnya tertutup dengan cadar putih, dan dia juga membawa busur serta panah.”Patrioda lalu langsung berkata, “Bisa jadi itu adalah salah satu anggota Persaudaraan Iblis!” Dengan sangat yakin akan kehebatan dirinya, dia pun menjura hormat pada sang prabu. “Hamba akan menghadapi pendekar bajingan itu, Gusti. Bajingan itu tidak akan lolos dari hamba.”“Ber
Ekspresi wajah Alindra tampak tidak suka melihat Patrioda yang baru datang dengan gaya selangit begitu. Dalam hati dia berucap, “Orang ini sok sekali, apa dia tidak merasa malu di hadapan prabu dan para senopatinya?”Prabu Surya Buana mengangguk. Dia tersenyum maklum melihat gaya Patioda, menurutnya ini adalah hal yang wajar karena usia Patrioda yang masih sangat muda.“Selamat datang Istana kerajaan Jayakasatara, Patrioda. Kuucapkan terimakasih karena kau telah bergabung bersama kami,” kata Prabu Surya Buana“Suatu kehormatan bagiku bisa membantu kerajaan,” ujar Patrioda seraya menundukkan kepala.Senopati Wibisana yang juga hadir di ruangan itu memangku tangan. Dia ikut jengkel melihat gaya Patrioda yang kelihatan sangat ingin cari muka di depan Prabu Surya Buana.Senopati Wibisana merasa kalau dia akan kesulitan bila harus menerima pemuda seperti Patrioda ini, sebab dari sikap badan Patrioda saja yang membusung angkuh sudah menunjukkan kalau dia akan jadi prajurit yang susah diatur
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan
Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati