Sudah terlalu banyak anggota Nogo Ireng yang tewas pagi ini, Prabaswara tidak ingin kalau harus mengorbankan lagi anak-anak buahnya yang lain, dia pun akhirnya mencabut sebilah pedang yang tersarung di pinggang sebelah kirinya.Sambil menggenggam erat gagang pedang itu dengan tangan kanan, dia membatin, “Jika pemuda ini kubiarkan terus melempar jatrum-jarum beracun, maka seluruh anggota Nogo Ireng bisa habis terbunuh. Aku harus menghadapinya satu lawan satu.”Prabaswara pun melompat, tubuhnya melayang di udara setinggi dua belas tombak dari bumi, lalu dia mendarat di atas atap rumah yang terbuat dari daun-daun nipah.Api amarah berkobar-kobar dalam dada Prabaswara. Dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah Giandra. “Kau hanya bisa menggunakan jarum beracun! Ayo ke sini, kita bertarung satu lawan satu jika kau berani!”Dengan senang hati Giandra menerima tantangan tersebut. Dia juga turun dan menginjakkan kaki di atap rumah itu. Sekarang keduanya saling berhadapan dalam jarak yang dekat
Setelah sekian tahun lamanya Waluyo menyimpan pedang peninggalan Datuk Subrata, dia rasa kini tibalah saatnya untuk menyerahkan pedang tersebut kepada ahli waris yang berhak. Semenjak pusaka ini disembunyikan oleh Waluyo, nama Pedang Penebas Setan seakan menghilang dari dunia persilatan, tapi itu bukan berarti kalau orang-orang jahat sudah berhenti mengincarnya.Waluyo meletakkan pedang tersebut di atas meja, dia perlahan membuka balutan kain ungu yang menyelimutinya, tampaklah kemudian kalau pedang itu masih terlihat sangat indah, padahal pusaka tersebut sudah disimpan selama bertahun-tahun.Sambil jari-jari tangannya mengusap pada sarung pedang yang berwarna ungu mengkilat itu, Waluyo berkata dalam hatinya, “Aku kira Giandra telah cukup dewasa untuk menerima warisan ini. Tidak ada lagi alasan untuk merahasiakan pusaka ini darinya.”Tiba-tiba Waluyo terkenang lagi pada peristiwa masa silam, yaitu malam saat dia menyaksikan keponakannya yang bernama Anindhita menghembuskan nafas terak
Manik Maya mentransfer energinya lebih banyak lagi kepada Bayu Halimun, maka bola cahaya itu pun terus bertambah terang dan semakin membesar. “Wuuut wuuut wuuut wuuut wuuut.”Karena menyaksikan kalau kedua musuhnya itu sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang dirinya, maka Nyai Parmadita pun bersiap untuk menghunuskan tongkatnya ke depan.Tiba-tiba Tongkat Tembaga Merah itu juga mengeluaran cahaya, warnanya merah menyala seperti kobaran api, sebentar lagi mereka akan saling beradu pukulan tenaga dalam untuk mengakhiri pertarungan ini.Di saat keadaan sudah makin menegangkan, tiba-tiba saja Nyai Parmadita merasa kalau ada kekuatan aneh yang lain ikut hadir di tempat itu. Kekuatan tersebut tidak bersumber dari Bayu Halimun atau pun Manik Maya, tapi sepertinya ada seseorang lagi di tempat itu selain mereka bertiga.Nyai Parmadhita tahu bahwa ada manusia yang tengah memperhatikan pertarungan ini. Pancaran energi manusia itu terasa nagetif dan cukup kuat, tampaknya dia juga dari aliran
Surya tergelincir dari tengah langit, wajah siang amat cerah menghadirkan biru warna muda di bentangan angkasa, awan-awan putih berkilau bak perhiasan, dan tak ada desau angin yang bergemuruh menyapa hari. Namun walau demikian, Jaka Purnama duduk seorang diri di atas batu sambil melamun, pandangannya menatap pada pohon-pohon kayu cendana yang tak bisa diajak mengobrol, tapi hatinya terus berbicara, “Kapankah aku bisa pergi dari sini? kapankah aku bisa bertemu dengan putraku?Delapan belas tahun lamanya berpisah, delapan belas tahun lamanya tak mendengar kabar, dan selama itu pulalah wajah kecil Giandra kadang membayanginya di setiap waktu.Bagai malam merindukan bintang, seharusnya bisa bersama, tapi takdir berkata lain, laksana hujan hendak menyapa kuntum melati, tapi sang bayu tak memberi izin, malah membawanya pergi ke tanah yang lain, begitulah perasaan yang sekarang ini menyelimuti batin Jaka Purnama. Bagaimana mungkin dia sanggup menahan rindu? Sebab Giandra adalah sebutir intan
Tujuh orang anggota persaudaraan Iblis kembali melakukan pertemuan dalam hutan beringin di lereng Gunung Ratri. Mereka telah berhasil mengumpulkan dua dari Empat Pusaka Penakluk Jagat yang ingin mereka hancurkan. Tinggal tersisa dua pusaka lagi, maka setelah itu ritual pembangkitan Iblis Hitam barulah bisa mereka laksanakan.“Sekarang Seruling Naga Emas dan Tongkat Tembaga Merah sudah ada pada kita,” ujar Argani Bahdrika kepada kawan-kawannya. "Tinggal dua benda lagi yang mesti kita temukan, yaitu Mutiara Inti Samudera dan Pedang Penebas Setan.”Jimbalang Loreng berucap, “Setahuku, Datuk Gastiadi telah mati dan tidak memiliki murid penerus. Maka tentu Tiga Mutiara Inti Samudera telah dia kembalikan ke kerajaan Ular Kipas.”“Kalau begitu, kita harus merampasnya dari tangan ratu penguasa di kerajaan itu,” ujar Aryajanggala.Mendengar usulan tersebut, Bayu Halimun lalu melontarkan pertanyaan, “Aku setuju dengan rencanamu itu, Arya Janggala, tapi bagaimana caranya kita menemukan letak keb
Matahari telah tenggelam dan bintang-bintang baru saja muncul di langit. Malam itu kegaduhan besar terjadi di Negeri Awang-awang. Puluhan pasukan wanita yang bersenjatakan tombak dan pedang telah mati terbunuh. Mayat mereka bergelimpangan di halaman Istana Kerajaan Ular Kipas. Aryajanggala dan Panglima Sanca melakukan pembantaian. Keduanya berhasil menerobos masuk melewati pintu gerbang.Kala itu ratu siluman ular kipas sedang duduk di atas singgasananya. Seorang wanita pengawal pun datang dengan berlari tergesa-tegasa, dia menghadap sang ratu dan langsung menjura hormat. Wajahnya berkeringat dan nafasnya terhengal.“Gawat, Gusti Ratu! Gawat! Istana telah diserang oleh dua lelaki asing yang tak dikenal,” kata wanita pengawal itu memberitahu junjungannya.Posisi kepemimpinan di Kerajaan Ular Kipas selalu mengalami pergantian dari masa ke masa. Pada waktu Datuk Gastiadi pernah ke tempat ini untuk meminjam Tiga Mutiara Inti Samudera, saa itu tengkuk pemerintahan dipegang oleh Ratu Niranja
Panglima Sanca mendekatkan mulutnya ke kuping Aryajanggala dan berbisik, “Kekuatan perempuan itu ada pada cambuk di tangannya. Kalau kita bisa memutuskan cambuknya, mungkin dia akan lebih mudah dikalahkan.”“Iya, kau benar sekali,” Aryajanggala sependapat. “Tapi bagaimana cara untuk memutuskan cambuknya. Cambuk itu terlihat sangat kuat, bahkan tadi dengan cambuk itu dia telah melilit lehermu dan melempar dirimu jauh.”“Kaukan bisa menangkapnya dengan tangan,” ujar Panglima Sanca. “Bila kau berhasil menarik cambuk perempuan itu, maka biar aku yang akan memancungnya dengan pedang sampai putus.”“Ini pasti tidak akan mudah,” kata Aryajanggala berbisik.Gandari kembali bersiap dengan gaya kuda-kuda samping. Dia mengangkat dagu dan berseru, “Hei, apa yang sedang kalian berdua bicarakan! Ayo, maju dan hadapi aku lagi!”“Kali ini tulang-tulangmu akan kubuat remuk, hei Perempuan!” sahut Aryajanggala.Gandari memegang cambuknya dengan kedua belah tangan. Walau tendangan dari Aryajanggala tadi
Ratu Kalinda Kamala akhirnya tiba di halaman istana bersama dua orang dayang. Alangkah terkejutnya dia saat melihat pemandangan di tempat tersebut, ada banyak sekali prajurit-prajuritnya yang telah tewas malam itu. Kedua dayangnya juga ikut kaget hingga mereka pun menutup mulut dengan telapak tangan.Di bawah cahaya obor dan temaram sinar bulan, sang ratu juga menyaksikan ada sesosok tubuh yang terbaring dengan bersimbah darah. Dia memandangi sosok itu agak lama, mencoba mengenali sampai akhirnya dia tahu kalau itu adalah Gandari, punggawa Kerajaan Ular Kipas.Panglima Sanca dan Aryajanggala kemudian berdiri di hadapan Ratu Kalinda Kamala. Mereka memperhatikan penampilan sang ratu dari mulai kaki hingga ke kepala. Wanita itu mengenakan jubah hijau yang dihiasi sulaman benang emas berupa gambar-gambar awan. Di atas kepalanya ada sebuah mahkota yang bertaburkan batu permata. Sosok dirinya terlihat anggun dan jelita, namun juga tampak berwibawa sebagai seorang pemimpin kerajaan.“Apakah
Sore hari di Desa Batu Delima para ketua adat dan juga pemuda-pemuda digemparkan oleh kedatangan Argani bersama rombonganya. Mereka kemari bertujuan mencari gadis-gadis perawan untuk menunaikan syarat dari Iblis Hitam.Dalam tradisi masyarat Desa Batu Delima ada tiga orang pria sepuh yang menduduki jabatan pemangku adat. Mereka dipilih karena dianggap sebagai tokoh yang paling dituakan, paling berilmu, dan paling bijaksana. Saat ini jabatan itu dipegang oleh Ki Kusuma, Ki Dharmawira, dan Ki Martadi.Yang usianya paling senja di antara tiga orang pemangku adat itu adalah Ki Martadi. Kakek tua ini berkepala botak, berkumis tebal dan berjenggot panjang yang sudah memutih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah ungu dan berjalan memakai tongkat.“Kami sudah lama mendengar cerita tentang kelompok kalian. Kalian semua pasti adalah Persaudaraan Iblis yang kabarnya banyak membunuh pendekar aliran putih, benar begitukan? Kalian memang manusia-manusia jahat!” uja
Prabu Surya Buana yang tadi hanya diam menonton kini sadar bahwa pertarungan dua orang ini sudah harus dihentikan sekarang. Sebab keduanya tampak akan saling mencelakai satu sama lain, tak mustahil kalau pertemuan dua jurus itu bisa membuat keduanya tewas!“Mpu Bhiantar, cepat hentikan mereka. Aku tidak ingin kalau dua pendekar ini jadi saling bunuh,” kata Prabu Surya Buana.Mpu Bhiantar pun segera melompat ke udara, dia lalu mendarat tepat di tengah Damayanti dan Patrioda yang akan saling beradu jurus maut.Pria tua itu langsung memukul bumi dengan telapak tangannya sambil bertariak, “Jurus Petir Memecah Bukit! Hiyaaa!”Cahaya kilat keemasan seketika menjalar di tanah, lalu terjadilah sebuah ledakan! Patrioda dan Damayanti sontak langsung menarik pukulan mereka dan bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.Mpu Bhiantar menghela nafas. Dia menurunkan kembali tenaga dalamnya. Sekarang Damayanti dan Patrioda sudah berhent
Seorang prajurit tiba-tiba datang dari balik pintu. Dia berjalan melewati semua orang, lalu berdiri tegak di depan Prabu Surya Buana dan menjura hormat.“Ampun beribu ampun, Gusti,” kata si pengawal itu berucap. “Di depan ada seorang pendekar wanita yang ingin memaksa masuk ke dalam istana. Para prajurit berusaha untuk mengusirnya, namun dia sangat kuat!”Prabu Surya Buana menarik badannya dari sandaran. “Seorang pendekar wanita? Apa dia datang dengan membawa surat undangan?”“Tidak, Gusti,” jawab si pengawal. “Pendekar wanita itu tidak membawa surat undangan, makanya kami berusaha mengusirnya, tapi dia melawan dan ingin tetap masuk. Wajahnya tertutup dengan cadar putih, dan dia juga membawa busur serta panah.”Patrioda lalu langsung berkata, “Bisa jadi itu adalah salah satu anggota Persaudaraan Iblis!” Dengan sangat yakin akan kehebatan dirinya, dia pun menjura hormat pada sang prabu. “Hamba akan menghadapi pendekar bajingan itu, Gusti. Bajingan itu tidak akan lolos dari hamba.”“Ber
Ekspresi wajah Alindra tampak tidak suka melihat Patrioda yang baru datang dengan gaya selangit begitu. Dalam hati dia berucap, “Orang ini sok sekali, apa dia tidak merasa malu di hadapan prabu dan para senopatinya?”Prabu Surya Buana mengangguk. Dia tersenyum maklum melihat gaya Patioda, menurutnya ini adalah hal yang wajar karena usia Patrioda yang masih sangat muda.“Selamat datang Istana kerajaan Jayakasatara, Patrioda. Kuucapkan terimakasih karena kau telah bergabung bersama kami,” kata Prabu Surya Buana“Suatu kehormatan bagiku bisa membantu kerajaan,” ujar Patrioda seraya menundukkan kepala.Senopati Wibisana yang juga hadir di ruangan itu memangku tangan. Dia ikut jengkel melihat gaya Patrioda yang kelihatan sangat ingin cari muka di depan Prabu Surya Buana.Senopati Wibisana merasa kalau dia akan kesulitan bila harus menerima pemuda seperti Patrioda ini, sebab dari sikap badan Patrioda saja yang membusung angkuh sudah menunjukkan kalau dia akan jadi prajurit yang susah diatur
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan
Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati