Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 31 : Sambutan Yang Tidak Ramah

Share

Bab 31 : Sambutan Yang Tidak Ramah

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 17:00:00

Di balik Bukit Sarang Merpati ada sebuah lembah yang ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan obat. Di sinilah tempat berdirinya perguruan Teratai Jingga, salah satu perguruan silat yang cukup disegani dan memiliki nama yang tersohor.

Janaloka sekarang berdiri di hadapan pintu gerbang perguruan tersebut. Dia datang dengan membawa sebuah pesan dari Ki Nawasena, yaitu ajakan persatuan kepada seluruh pendekar aliran putih untuk melawan huru-hara di dunia persilatan.

Empat orang murid yang menjaga pintu gerbang lalu menghampiri Janaloka. Salah satu dari mereka bertanya, “Siapa kau, Orang Tua? Ada urusan apa datang kemari?”

Murid perguruan itu bertanya dengan nada kasar, tapi Janaloka menjawabnya dengan tenang, “Namaku Janaloka. Aku adalah teman dari mendiang guru besar kalian, Nyai Maheswari. Aku datang hendak bertemu penerus perguruan ini. Ada hal penting yang mesti aku sampaikan.”

Murid itu bertanya lagi, “Darimana kautahu bahwa

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 32 : Cupik Emas

    Alindra pagi itu sedang sibuk menyirami tanaman obat, dia dibuat terkejut karena mendengar suara keribuatan yang bersumber dari arah pintu gerbang. Abirama lalu muncul dan berjalan menghampirinya, tampaknya sang kakak itu juga mendengar suara yang sama.“Sepertinya sesuatu telah terjadi di depan sana,” kata Abirama kepada Alindra.“Ayo kita coba lihat ke sana, Kakang” ajak Alindra, dia lalu meletakkan di tanah gayung yang tadi dipakainya untuk menyirami tanaman.Mereka berdua segera bergegas mendatangi sumber keributan itu. Hanya baru beberapa langkah keduanya berjalan, tiba-tiba Janaloka pun muncul di hadapan mereka. Alindra dan Abirama merasa asing dengan tamu yang datang ini.Janaloka menjura hormat kepada keduanya. Sambil tersenyum, dia pun berkata, “Maafkanlah aku yang sudah membuat keributan di tempat ini. Aku terpaksa memberi sedikit pelajaran pada empat murid yang tadi menghalangiku. Perkenalkan, namaku Janaloka, aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 33 : Seseorang di Balik Argani

    Janaloka mengusap jengkot putihnya yang panjang. Dia berkata, “Kalau begitu, ini memang sudah saatnya akan terjadi peperangan besar antara kebaikan melawan kejahatan. Tugas kita adalah mempersiapkan diri. Cepat atau lambat, musuh pasti akan menyerang kita semua.”“Mungkin itu saja pesan yang bisa kusampaikan dari gusti prabu kepada kalian,” ujar Senopati Taraka kepada Abirama dan juga Alindra, ini sebagai tanda kalau dia masih harus mendatangi perguruan yang lain. “Jika kalian sudah punya waktu luang, aku harap segera menghadap ke istana dan menemui gusti Prabu Surya Buana.”Janaloka bertanya, “Setelah ini Tuan Senopati akan pergi kemana?”“Mungkin aku akan ke padepokan Lenggo Geni di seberang Sungai Pinang Muda. Aku hendak menemui Datuk Ancala Raya untuk menyampaikan pesan yang serupa kepadanya,” jawab Senopati Taraka. “Datuk Ancala Raya? Apakah pendekar sepuh itu masih hidup hingga hari ini?” Janaloka mengernyitkan kulit dahinya.“Iya, beliau masih hidup sampai sekarang walau umurn

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 34 : Tiga Sumpah Yang Tak Boleh Dillanggar

    Dalam sebuah desa di seberang Sungai Pinang Muda, Patrioda tengah melatih anak-anak murid padepokan Lenggo Geni. Ada empat puluhan orang yang sedang berlatih siang itu, sebagiannya lagi sedang beristirahat, dan sisanya yang ain menjalankan tugas menjaga gerbang padepokan.Patrioda berjalan di antara para murid, membimbing mereka dalam melakukan sikap kuda-kuda, membetulkan posisi tangan dan juga posisi mereka berdiri. Dia menguji kekokohan kuda-kuda setiap anak didiknya dengan menendang kaki mereka satu persatu.Di bawah terik mentari yang membakar kulit, murid-murid padepokan Lenggo Geni tetap semangat dan tidak manja. Mereka sadar kalau sebentar lagi akan ada perang besar antara aliran putih dan aliran hitam, sebab berita munculnya Persaudaraan Iblis telah sampai ke telinga Datuk Ancala, maka sedari sekaranglah padepokan Lenggo Geni membuat persiapan.Datuk Ancala Raya berdiri di depan pintu rumahnya. Dia mengenakan baju warna merah hati dan ikat kepala berwarna coklat. Pendekar sep

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 35 : Kegaduhan di Padepokan Lenggo Geni

    Celeng Ireng mengamuk seganas-ganasnya di area depan padepokan Lenggo Geni. Siluman berkepala babi itu membantai para murid tanpa belas kasihan. Siapa pun yang berani maju, langsung akan dia bunuh dengan tombak trisula miliknya yang bermata runcing.Di antara para murid ada yang coba melarikan diri, tapi Celeng Ireng bergerak sangat cepat, dengan sekali lompatan saja tubuhnya mampu melayang, dia lalu menendang satu persatu kepala setiap murid yang hendak kabur itu.Enam belas orang yang murid yang siap bertempur kemudian muncul dengan membawa golok, mereka berusaha menahan Celeng Ireng dengan berkeliling membentuk lingkaran. Inilah formasi yang dinamakan Lingkaran Naga Melilit Gunung.Bagi Celeng Ireng sangat mudah menghancurkan kepungan tersebut, diayunkannyalah tongkat trisula dengan kedua tangan seraya memutar badan, lalu deburan angin pun muncul dan membuat semua murid itu terpelanting.Empat puluh orang murid yang lain datang lagi dengan membawa senjata bambu runcing. Mereka hend

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 36 : Jurus Moncong Naga Menyambar Danau

    Semua anak murid bergerak menepi dan tidak lagi ikut campur. Ini adalah waktunya bagi guru besar mereka dan si kakak senior untuk menampilkan kebolehan bermain silat. Pertarungan dua lawan dua sebentar lagi akan dimulai, yaitu antara Datuk Ancala Raya dan Patrioda menghadapi dua pendekar dari Persaudaraan Iblis.Datuk Ancala Raya membuka gaya dengan gerakan bunga dan langkah silat khas dari aliran Lenggo Geni. Sementara di seberangnya, Jimbalang Loreng bersiap bagai seekor macan yang sedang mengawasi mangsa.Dalam waktu sejenak keduanya saling melempar tatapan, berbagi ketajaman sorot mata, seolah berusaha saling membaca dan menilai tingkat ketangguhan satu sama lain.Jimbalang Loreng pun mengawali serangan. Dia melompat ke depan, tangan kirinya terulur hendak mencengkram ke leher lawan. Jari-jarinya itu berhasil menyambar tepat sasaran dan mencekik kuat Datuk Ancala Raya. Inilah jurus Cakar Besi, teknik yang kerap dia gunakan untuk memutus aliran nafas lawannya. Tapi Datuk Ancala Ra

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 37 : Perubahan Wujud Jimbalang Loreng

    Di tempat yang tidak jauh dari ledakan besar tadi, Patrioda juga dengan gagahnya sedang menghadapi Celeng Ireng. Sudah beberapa kali ujung tongkat trisula yang bercabang tiga itu menyambar ke muka Patrioda, ke perut, dan juga ke lehernya, tapi dia bisa selamat tanpa terluka sedikit pun.Celeng Ireng dari semula memang sangat serius, ternyata dia adalah lawan yang seimbang untuk Patrioda. Keganasan siluman babi ini tidak bisa disepelekan, sebab tongkat trisula yang dia genggam seakan-akan memang haus darah dan hendak memburu nyawa.“Sudah cukup main-mainnya, Bocah Kunyuk!” bentak Celeng Ireng karena kesal. Dengan nada tinggi dia bertanya, “Mengapa dari tadi kau hanya menghindar dan tidak balik menyerang? Apa kau takut?”“Aku hanya ingin mengukur dahulu kehebatanmu,” jawab Patrioda, dia berucap demikian bermaksud untuk memancing amarah siluman babi itu. “Sekarang aku tahu, rupanya kau memang tidak mengerti ilmu silat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 38 : Dendalam Lama Dewa Kalajengking

    Argani Bhadrika mendatangi puncak Gunung Ratri sendirian. Siang hari ini dia hendak menemui seorang tokoh aliran hitam yang bernama Kertabalakosa, karena Tongkat Tembaga Merah tidak mungkin bisa direbut dari tangan Nyai Parmadita jika hanya mengandalkan kekuatan Bayu Halimun dan Manik Maya saja.Argani sadar kalau dirinya sendiri juga tidak sanggup mengimbangi kesaktian Nyai Parmadita, hanya Kertabalakosa yang dapat membantunya dalam hal ini.Orang yang akan ditemui oleh Argani itu terkenal dengan julukan sebagai Dewa Kalajengking, dia bersembunyi di Gua Sarang Siluman yang dahulu pernah jadi tempat kediaman Iblis Hitam. Si Dewa Kalajengking ini sangat sadis, jahat, dan juga tidak punya rasa belas kasihan.Ketika telah sampai di depan pintu gua, Argani pun berseru, “Keluarlah kau, wahai Penyihir Kegelapan! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Seorang pria tua yang bermata sayu dan berkulit keriput kemudian keluar dari dalam gua itu.Dia berjalan lambat sambil memakai tong

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 39 : Masih Muda, Tapi Haus Kedudukan.

    Janaloka dan Senopati Taraka akhirnya sampai di depan pintu gerbang padepokan Lenggo Geni. Mereka tidak ada melihat satu murid pun yang menjaga di gerbang itu, hal ini tentu menurut keduanya adalah sesuatu yang tidak biasa.“Aneh sekali, kemana para murid padepokan ini? Apa mereka semuanya sedang berada di dalam?” Janaloka berbicara pada Senopati Taraka sambil memandang jauh ke depan.“Entahlah, Ki. Ayo kita masuk saja ke dalam kalau begitu dan langsung menemui Datuk Ancala Raya,” usul Senopati Taraka.Janaloka mengangguk setuju. “Ayo, mari!”Sesampainya mereka di halaman rumah Datuk Ancala Raya, tampaklah sejumlah murid sedang berkumpul di sana. Tapi yang mengherankan bagi mereka adalah kenapa semua murid itu wajahnya lebam seperti habis kena pukul.Yang lebih mengejutkannya lagi, Janaloka dan Senopati Taraka melihat kalau ada banyak mayat-mayat yang disusun berbaris, dan pada bagian di paling depan ada satu mayat yang berselimut kain putih.Patrioda yang melihat kedatangan dua orang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 123 : Posisi Terciduk

    Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 122 : Kenangan Tak Terlupakan

    Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

    Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 120 : Kobaran Api Biru

    Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 119 : Hadiah Pukulan Terakhir

    Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 118 : Awal Mula Perang

    Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 117 : Saling Mengatur Strategi Perang

    Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 116 : Dendam Kesumat Nyai Jamanika

    Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 115 : Puncak Kemarahan Argani Bhadrika

    “Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status