Beranda / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Bukan Siti Nurbaya: Bab 31 - Bab 40

66 Bab

Bab 31

“Wahh! Sampai rumah sepertinya aku bakalan di sidang ini.” Gumamku.“Kenapa nggak dijawab sih?” Tanyaku.“Lihat panggilan masuknya. Baru tanya.” Jawab Rendra super santai.*** “ Sudah hampir jam 3 pagi. Kita makan dulu aja ya. Sekalian. Biar kuat menghadapi omelan Damar.” Ucap Rendra. Kuanggukkan kepala berulang kali sebagai jawabannya. Benar kata Rendra, sampai di rumah, aku pasti akan mendapat sambutan cercaan dari mas Damar. Bukan hanya menyiapkan mental, perutku juga harus dalam kondisi kenyang. Agar mampu berpikir sanggahan yang masuk akal.Sepagi ini sudah banyak pedagang yang berjualan. Terutama, pedagang makanan yang menjual aneka menu sarapan. Di saat aku tertidur lelap, ternyata ada orang orang yang sudah bekerja pagi pagi seperti ini. Orang orang hebat mereka. Kami makan di sebuah pedagang nasi liwet di pinggir jalan. Bukan pedagang yang berjualan di Resto atau tempat mewah. Tapi pedagang kaki lima yang berjualan di depan emperan ruko. Penjualnya seorang nenek nenek seusia
Baca selengkapnya

Bab 32

Terbangun di atas brankar rumah sakit. Selang infus bertengger di lengan kiriku. Dengan seluruh keluarga di Solo yang tampak cemas mengitari brankar yang kutiduri. Lengan kiriku tampak terbalut perban dan kaki kiriku terbungkus gips. Apakah kakiku patah?“Rena kenapa eyang?” Tanyaku dengan lemah ke eyang uti yang berada paling dekat denganku.“Rena kecelakaan motor, nduk. Sekarang kita ada di rumah sakit.” Jawab eyang uti. Kemudian beliau menceritakan kejadian yang telah kualami.“Ren! Aku siapa coba?” Tanya mas Damar sambil menunjuk dirinya sendiri.“Mas Damar apa apaan sih!” Protesku masih dengan suara yang lemah.“Alhamdulillah! Tak pikir kamu anemia Ren.” Seru mas Damar.“Anemia? Amnesia kali mass!” Protes Nindy. Membuat seisi ruangan ini tertawa.“Halahh, beda dikit.” Mas Damar masih tak mau kalah.“Bukan beda dikit, tapi beda arti.” Celetuk Nindy.“Tapi kamu paham kan maksudku?” Tanya mas Damar.
Baca selengkapnya

Bab 33

Tak tahu mengapa, saat Rendra memasangkan gelang itu, jantungku berdetak sangat kencang. Apa aku akan terkena serangan jantung? Apa hidupku tak lama lagi? Bo dohnya aku.Kuangkat tangan kananku dan kugerak gerakkan. Bermaksud memperlihatkan gelang ini ke semua yang berada di ruangan ini.“Tadi nggak mau. Sekarang dipamerkan. Labil ah loe Ren!” Gerutu Nindy.“Biarin! Daripada dibuang tempat sampah.” Celetukku.“Kalau dibuang ke tempat sampah sama Rendra, nanti aku yang pungut.” Seru Nindy.“Makanya, punya cowok jangan yang pelit. Cowok pelit aja dipelihara.” Sahut mas Damar.“Ihh! Mas Damar jangan ikut campur deh.” Sungut Nindy.“Tak ceritain ya bu lek. Pas Damar nganterin malam mingguan sama cowoknya. Pas motor Nindy masuk bengkel itu lho. Maksudnya tuh ya, saya mau ngerjain cowoknya Nindy. Saya ikutan masuk ke resto tempat mereka janjian. Saya pesanlah, makanan yang mahal mahal. Ehh, pas giliran bayar, suruh bayar sen
Baca selengkapnya

Bab 34

Setelah dirawat di rumah sakit selama 3 hari, akhirnya dokter mengijinkanku pulang. Senang sekali rasanya. Meskipun rumah sakit dibangun semegah apapun, aku yakin, rumah sakit tetaplah tempat yang tak membuat betah.“Home sweet home!” Teriakku begitu turun dari mobil dan dibopong mas Damar. Ia mengantarkanku sampai ke kamar tidurku. Mereka bilang, aku harus banyak beristirahat. Apa mereka lupa, 3 hari di rumah sakit kuhabis waktu hanya dengan tidur dan makan saja?“Tapi bu dhe, Rena capek tidur.” Gerutuku.“Mau cepat sembuh tidak?” Ujar bu dhe. Ya sudahlah, akhirnya aku mengalah berhenti merengek. Karena bagaimanapun, aku berada di pihak yang salah. Bu dhe dan mas Damar bolak balik ke kamarku, mengantarkan barang barang milikku. Tak lupa bu dhe juga menyiapkan banyak camilan dan buah buahan di atas nakas samping tempat tidurku. Selama seminggu ini, kesibukanku hanyalah tidur dan makan. Sudah pasti berat badanku akan naik ini. Rayyan tak pernah absen mengun
Baca selengkapnya

Bab 35

Seminggu lagi, jadwalku untuk melepas gips di kaki kiriku ini. Semoga semuanya berjalan lancar. Aku tak sabar untuk segera bebas dari benda ini. Aku ingin segera berjalan dengan kakiku ini. Dulu, aku benci dengan yang namanya jalan kaki. Sekarang, aku begitu menginginkannya.Sudah 2 hari ini, aku kembali membantu di butik. Meski hanya membantu di bagian pembukuan, tak apalah. Setidaknya aku bisa memberikan andil. Daripada hanya terus berdiam diri. Manusia memanglah makhluk yang kurang pandai bersyukur menurutku. Terutama, diriku ini. Di saat sibuk dengan kerjaan yang menumpuk, aku mengeluh dan sangat ingin mendapatkan waktu untuk beristirahat. Saat diberi waktu beristirahat yang banyak, aku juga mengeluh, bosan, ingin beraktivitas. Maunya apasih?“Pagi bu, ada yang bisa kami bantu?” Ucap Fitri seperti biasanya. Ketika ada customer yang menghampirinya ke meja kasir.“Saya ingin bertemu dengan gadis yang bernama Rena Hanindya.” Ucap orang itu. Masih bisa ku
Baca selengkapnya

Bab 36

“Apakah akan ada pesta syukuran?” Seru Nindy setengah berteriak. Membuat fokus kami mengarah padanya.“Pastilah!” Ujar Rendra.“Ya kan, sayang!” Ujar Rendra lagi sambil melirikku seraya tersenyum. Aku tak menanggapinya. Aku sudah kenyang dibuli para sepupuku.Dan karena keributan yang tak penting yang terjadi ini, aku jadi tahu, jika baik mas Damar maupun pak Dhe Ramdan telah mengenal dokter Hasbi dan keluarganya. Makanya tak heran jika pak Dhe langsung menolak dua kali lamaran dokter itu, tanpa basa basi meminta waktu untuk mempertimbangkan. Selain tentang watak ibunya yang tak disukai, juga kebiasaan berbisnis ibunya yang sering menunda nunda pembayaran. Dan wanita itu selalu punya alasan untuk membuat mas Damar tak enak hati menyudahi kerja sama.*****Hari ini, aku pergi ke rumah sakit bersama eyang, bu dhe Narti dan mas Damar sebagai sopirnya, untuk melepaskan gips di kakiku. Dengan terpaksa, aku harus bertatap muka dengan dokter Hasbi lagi. Bukan ia yang sebenarnya ingin kujauhi
Baca selengkapnya

Bab 37

"Tok, tok, tok!" Suara ketukan pintu mengurungkan niatku untuk masuk ke kamar mandi. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu kamar."Pagi mama!" Sapaan yang terdengar begitu pintu kamarku terbuka. Senyum manis tak lupa terpatri di bibir mungilnya. Rayyan mengulurkan tangan mungilnya menyambut tangan kananku kemudian mengecup punggung tangan kananku."Selamat pagi sayangku." Balasku sambil mengelus pucuk kepalanya."Papa bilang, mama mau ajak Ian jalan jalan ke pantai ya?" Tanya si kecil Rayyan."Iya. Rayyan mau khan?" Ucapku. Dibalas dengan anggukan kepala sambil tersenyum."Ayok ma!" Ajak anak itu semangat. Meraih tanganku yang masih setia bertengger di pucuk kepalanya. Kemudian menggenggam tanganku erat."Mama mandi dulu ya sayang. Yuk, Rayyan masuk dulu. Tunggu mama di dalam ya." Pintaku. Rayyan pun mengangguk dan mengikutiku masuk ke kamar. Dan duduk di sofa yang berada di kamarku. Kemudian kuambilkan sebuah rubik yang ada di meja, agar anak ini tak bosan."Makasih mama." Ucapnya saat
Baca selengkapnya

Bab 38

Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam-an, kami pun sampai di tempat tujuan. Suasana week end pun sangat terasa di pantai ini. Pengunjung yang datang ke pantai ini lumayan banyak. Meski tak sampai membludak seperti ketika liburan panjang.Rayyan langsung berlarian di pasir pantai. Sambil tertawa. Ia terlihat sangat bahagia. Dan itu membuatku juga merasa senang. Risa mengikuti Rayyan kemana pun langkah kecil itu berlari. Ketiga sepupu cantikku tengah asyik berselfi ria. Tak lupa juga meminta bantuan mas Damar untuk memotret. Meski awalnya dengan wajah cemberut, mas Damar pun bersedia.Sedangkan diriku sendiri, aku duduk di atas hamparan pasir putih di pantai. Menikmati pemandangan indah di depan mata. Tak lama setelah aku duduk, Rendra datang membawa minuman kemasan yang ia beli untuk kami. Kemudian Rendra duduk di sebelahku. Menyodorkan sebotol air mineral yang telah ia buka sebelumnya."Terimakasih, Ren." Ucapku sambil menerima botol tersebut. Rendra tersenyum sebagai jawaba
Baca selengkapnya

39

"Papa kenapa?" Tanya Rayyan penasaran dengan tingkah Rendra, yang tiba tiba berdiri dan menjauh dari posisi duduk awalnya. Hingga saat ini ia tengah berdiri tepat di depan aku dan Rayyan yang tengah asyik bermain pasir pantai. Dan tak lupa, Rendra mengibas ngibaskan tangannya, membersihkan bagian yang bersinggungan dengan wanita tadi. Seolah olah terkena kotoran. Tingkahnya itu sukses buat kamu geleng geleng."Udah laper belum nih? Makan dulu yuk! Udah waktunya makan siang nih!" Usul Rendra. Atau lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan. *****Di resto tak jauh dari pantai kami berada saat ini. Bukan hanya rombonganku, tapi wanita yang mengaku bernama Salsa tadi juga ikut. Bahkan Salsa jugjla mengajak teman temannya ikut serta. Okelah, resto ini adalah tempat umum, siapapun boleh ke sini untuk makan. Tapi, jika sampai ikut duduk di meja pesanan rombonganku, dan tanpa meminta ijin, bukankah itu bisa disebut tak tahu malu. Dan aku adalah tipe orang yang tak suka makan semeja dengan orang
Baca selengkapnya

Bab 40

"Matre kamu bilang? Bukankah sebutan itu lebih pantas untuk kamu? Orang yang sudah tahu tentangku. Sedang kan dia, ia bahkan tak mengetahui ataupun ingin tahu apa saja yang kumiliki." Ucap Rendra, kemudian menyusul kami yang telah pergi lebih dulu.*****"Masih mau main?" Tanya Rendra begitu sampai di hadapan kami."Udah ah! Panas! Pulang aja ya?" Pintaku. Aku sudah tak betah dengan hawa panas yang kurasa. Tapi sepertinya ketiga sepupu perempuanku dan Risa masih belum puas bermain main di pantai."Jarang jarang lho kita liburan bareng gini." Keluh Risa."Heem!" Nindy juga ikut mengiyakan."Ya udah deh sana main. Aku tunggu di sini aja ya." Ucapku mengalah."Rayyan di sini aja ya sama mama. Panas sayang." Ucapku yang diiyakan oleh Rayyan. Akhirnya aku, Rayyan, Rendra, dan mas Damar hanya menunggu di gazebo pinggir pantai."Ngapain nih orang ke sini. Baru juga mau santai sudah ada pengganggu. Nyebelin!" Batin Rena. Tak ada satu pun dari kami bertiga yang mempedulikan kedatangan wanita b
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status