Sebenarnya, aku tak jauh beda dengan si kecil di pangkuan ini. Ngantuk, ingin tidur. Tapi apalah daya, aku sekuat tenaga untuk menahan kantuk ini. Jika sampai tertidur, bisa bisa Rayyan jatuh dari pangkuanku."Ngantuk? Rayyan dipindah belakang aja ya?" Tawar Rendra, dan kujawab gelengan. Aku tak mau tidur pulas Rayyan terganggu."Kita langsung ke rumah bunda aja ya. Nanti Damar pasti juga anterin Risa ke rumah." Usul Rendra."Tapi aku pengen mandi trus tidur." Gumamku yang pasti masih bisa didengar Rendra."Khan di rumah bunda juga bisa. Nanti bisa pakai baju ganti Risa. Oke?" Ucap Rendra lagi."Heemm!" Jawabku sambil mengangguk anggukkan kepala beberapa kali.Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami pun sampai di rumah kedua orang tua Rendra. ""Assalamualaikum!" Ucapku dan Rendra bersamaan. Aku berjalan masuk di samping Rendra yang tengah menggendong Rayyan yang masih pulas dalam tidurnya."Waalaikumsalam!" Terdengar suara jawaban dari dalam rumah. Dari suaranya, aku sangat familiar
Setelah 2 minggu berada di Jakarta, Rendra akhirnya pulang ke Solo. Ia mampir mengunjungiku di butik, dalam perjalanan pulang dari bandara Adi Sumarmo ke rumahnya. Seperti biasanya, ia membawakanku oleh oleh yang cukup banyak. Camilan manis favoritku. Ia juga memberitahukanku tentang rencana untuk ke Jogja mengunjungi kedua orang tuaku meminta restu kepada mereka. Rendra menepati ucapannya sebelum berangkat ke Jakarta tempo itu. Dua hari lagi, itulah rencana keberangkatan kami. Tak lupa, ia juga memintaku untuk menyiapkan diri. Aku memang butuh menyiapkan diri, terutama mental, untuk menemui orang tuaku. Tapi bukankah Rendra dan keluarganya yang harus lebih menyiapkan diri dibanding diriku? Karena aku telah terbiasa dengan sikap mereka padaku, meskipun tetap meninggalkan sakit di hati. Sedangkan Rendra dan keluarganya, ini kali pertama bagi mereka bertemu orang tuaku. Aku takut mereka shock!Kami berangkat ke Jogja ba’da Ashar. Keluarga lengkap Rendra ikut ke Jogja, Bunda, Ayah Rendra
Bunda menggenggam erat kedua telapak tanganku yang saling bertautan. Kuberanikan diri menatapnya. Masih seperti biasanya, ia memberikanku senyuman manisnya. Menyalurkan sedikit semangat untukku. Tatapannya seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik baik saja. Aku mencoba untuk terus memompa optimisme di hati. Risa menggendong Rayyan keluar ruang tamu menuju taman. Pak Heryawan yang menyuruhnya. Pasti orang tua Rendra sudah memprediksi apa yang akan terjadi. Dan mereka tak mau Rayyan ikut menyaksikan semuanya.“Perkenalkan, nama saya Rendra. Dan ini, ayah dan bunda saya. Kami kesini berniat untuk meminta doa dan restu untuk pernikahan saya dan Rena.” Rendra berbicara dengan lembut, meskipun menghadapi tatapan datar dari keluargaku. Bahkan ucapannya pun dipotong oleh mbah kakung.“Apa!” mbah kakung bersuara dengan lantang. Tak lupa tatapan tajamnya.“Sebulan yang lalu, saya sudah melamar Rena di Solo, di hadapan keluarga eyang Raharjo. Dan sekarang kami ke
“Berani kamu melawan bapak, mas!” Bentak ibu. Bapak tak terlihat seperti biasanya ketika ibu membentak. Raut wajah bapak menunjukkan ketegasan.“Selama ini, aku sudah mengalah padamu Ratih. Selalu mengalah. Dalam hal apapun. Aku harap itu akan membuatmu berpikir. Namun nyatanya, tidak! Hari hari kamu selalu menyalahkanku. Betapa menyesalnya kamu menikah denganku. Bagimu aku adalah penyebabmu membangkang. Aku melakukan segalanya untuk bapakmu. Bahkan aku rela meninggalkan keluargaku sendiri, demi kalian. Tapi kamu dan bapakmu tak pernah menganggapku. Tak apa kalian memperlakukanku seperti budak. Tapi Rena, dia putriku. Aku ingin dia bahagia tanpa beban. Aku ingin dia bebas dari kekangan kalian. Cukup lampiaskan semua amarahmu dan bapak padaku. Sudah cukup kalian libatkan Rena. Lagipula pak, bagaimanapun juga, Rena pernah menjadi cucu kesayangan anda.” Bapak berucap dengan mata berkaca kaca. Selama ini, yang kutahu, bapak adalah suami yang terlalu bucin terhadap istrinya
Aku menyeka air mataku dan membersihkan bekas bekas air mata dengan tisu basah yang kubawa. Setelah puas menangis. Berpura pura tegar dan baik baik saja itu, ternyata sangat melelahkan!Mobil berhenti di parkiran sebuah resto. Resto yang tak asing untukku. Resto Angsana, tempat favorit aku dan ketiga sahabat bersantai di akhir pekan. Rendra membukakan pintu mobil dan mengajakku turun. Yang lainnya sudah turun terlebih dahulu. Sebelum masuk ke resto, aku meminta tolong Rendra memotretku di depan resto ini. Untuk kugunakan update story. Aku ingin menunjukkan pada bapak, aku bahagia. Dan mulai hari ini, sudah kuputuskan, aku akan menunjukkan pada ibu dan mbah kakung, seperti apa orang yang telah mereka hina. Akan kutunjukkan, bahwa pilihanku sendiri, mampu membuatku bahagia, bukan menderita seperti yang mereka ucapkan.“Rena, sedang di Jogjakah?” Pesan Whatsapp dari Santi yang baru saja kubaca.“Masih lama tidak? Aku ke sana ya?” Pesan berikutnya.“O
“Mas Rendra berpesan, katanya mbak Rena nggak boleh dekat dekat dapur. Nanti kebakaran.” Celetuk mbak Siti. Ia kemudian menutup mulutnya dengan tangan kiri setelah mendapat tatapan tajam dari nenek. Wajahku seketika memerah menahan malu. Bagaimana bisa Rendra berkata seperti itu. Harusnya khan, ketidakmampuanku dengan urusan dapur cukup menjadi rahasia kami.“Maaf, Nek” Seruku.“Nggak apa apa. Rendra itu butuh istri. Bukan koki.” Ucap nenek dengan bijak. Terdengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku pun menoleh, ingin tahu siapakah gerangan yang datang. Ternyata Rendra. Begitu tahu dia yang datang, aku langsung mengubah ekspresi wajahku. Yang tadinya merasa bersalah menjadi cemberut dan jengkel.“Kenapa sih? Kok wajahnya cemberut gini?” Tanya Rendra setelah sampai di sampingku sambil mengelus elus puncak kepalaku.“Kenapa sih Nek?” Rendra beralih ke neneknya karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.“Siti keceplosan tadi. Soal
Rendra tampak terkejut dengan kelakuan wanita itu. Sama sepertiku. Tapi aku berusaha untuk pura pura tak melihat aksi wanita itu. Pura pura fokus dengan gawai di tangan.“Apa apaan sih loe!” Bentak Rendra sambil melepaskan tangan wanita itu. Membuatku mengalihkan pandangan dari gawai ke dirinya dan wanita itu. Ini pertama kalinya aku mendengar Rendra berbicara dengan nada tinggi.“Rendra, gue khan kangen banget. “ Ucap wanita itu dengan suara manja dibuat buat. Membuatku muak. Tak lama setelah kedatangan wanita itu yang tiba tiba, datang serombongan orang yang lainnya. Sebagian dari orang orang yang datang itu, sepertinya model, dilihat dari postur tubuhnya dan juga tingginya.“Eh, bos. Sudah datang rupanya. Belum lama kan nunggunya?” Ucap seorang lelaki yang menghampiri Rendra kemudian menyalaminya. Disusul yang lainnya. Mereka juga tampak menyalami Rendra. Rendra membalas uluran tangan mereka semua dengan datar, tanpa suara maupun ekspresi. Ren
“Tumben sekali, kamu mudah akrab dengan orang asing, sayang?” Sindir Rendra. Ia berucap sambil mengelus pucuk kepalaku.“Bos!” Panggil mas Edwin sambil mengisyaratkan untuk melepaskan Maya. Aku terpaksa melepaskan wanita itu saat Rendra memegang tanganku lembut. Begitu kulepaskan, wanita itu langsung menangis meraung raung tanpa malu. Mungkin agar orang orang berpikir, ia wanita yang kuzolimi. Sambil tetap menangis, Maya beranjak dari duduk dan melemparkan tubuh berharap jatuh di pelukan Rendra. Tapi sayangnya, Rendra dengan sigap, malah menghindarinya. Alhasil wanita itu bukannya mendapat pelukan hangat Rendra, malah dengan terpaksa mencium lantai keramik yang super keras dan dingin itu.“Ha ha ha..” Tawaku lepas begitu saja. Bukannya aku tidak simpati dengan Maya, tapi kejadian ini benar benar lucu untukku. Jadi aku tak bisa menahan tawaku. Dan beberapa model yang kulihat terintimidasi dengan keberadaan Maya tampak tersenyum puas meski tak tertawa.“Itu
“Heh! Kalian sejak awal memang berniat mempermainkan pernikahan.” Ucap Pak dhe tampak tak suka.“Maaf mas Ramdan, tolong jangan salah paham. Hubungan saya dan mas Rahmat hanyalah masa lalu. Saya kembali ke Solo, selain karena permintaan kedua kakak saya, saya juga ingin Ratih tahu, sudah sejak dulu saya memaafkannya. Sejak saya tahu ia hamil Rena, saya sudah mengiklhaskan hubungan saya dengan mas Rahmat. Saya benar benar tulus berdoa untuk kebahagian Ratih dan mas Rahmat. Saya pikir, mungkin saya dan mas Rahmat memanglah tidak berjodoh.” Tante Fatma mencoba untuk menjelaskan.“Jika ibu memang hanya berpura pura bersikap jahat pada saya dan bapak, mengapa ibu tidak peduli dengan pernikahan saya. Mengapa ibu tidak datang, meski hanya sepintas lalu? Saya benar benar berharap ibu datang, meski ia datang sambil melontarkan kata kata yang menyakitkan, tante. Tapi nyatanya, jangankan datang, ibu bahkan tidak membalas satu pun pesan meski saya berkali kali mencoba menghub
“Rendra, tolong anterin pulang ya?” Pintaku.“Ada apa?” Tanya Rendra heran.“Pulang kemana to nduk? Inikan juga rumahmu.” Sahut ayah yang ikut mendengar pembicaraanku dan Rendra.“Maksud Rena, anterin ke rumah eyang, ayah.” Jelasku.“Mas Damar, minta aku pulang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.” Lanjutku.“Ya udah, ganti baju dulu. Jangan lupa bawa jaket.” Ucap Rendra. “Rendra, kamu nggak ganti baju?” Tanyaku.“Tolong bawain jaketku yang di kamar.” Jawab Rendra. Aku pun mengangguk.*** Selama dalam perjalanan, aku hanya terdiam. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Kepalaku sibuk menerka nerka berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi.“Assalamualaikum” Ucapku bersamaan dengan Rendra.“Waalaikumsalam. Masuk nduk.” Ucap orang orang yang berada di ruang tamu rumah pak dhe Ramdan. Anak dan cucu eyang tengah berkumpul di ruang tamu ini. Ada satu orang yang tak kukenali ada di antara mereka.“Duduk sini.” Ucap bapak. Setelah menyalami mereka semua, aku dan Rendra dud
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja