Home / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Bukan Siti Nurbaya: Chapter 11 - Chapter 20

66 Chapters

Langkah Baru

Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Read more

'Duren'

Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
Read more

Asing?

“Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.
Read more

Drama Angkringan

Biasanya, saat membonceng motor dengan mas Damar, aku selalu merangkulnya dari belakang dan berceloteh ria di dekat telinga mas Damar yang tertutup helm. Suara berisikku, selalu menemani kami berkendara. Tapi, kali ini, aku hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku duduk di ujung jok belakang. Aku juga tak berpegangan dengan mas Damar. Tapi pada besi kiri kanan jok motor.“Kamu marah, Ren?” Tanya mas Damar. Aku hanya diam saja tak menjawab pertanyaannya.“Sudah tahu marah, masih juga nanya.” Batinku.“Ren!” Panggilnya. Tapi aku tetap membisu.“Kamu suka, sama cowok yang tadi?” Tanyanya.“Boro boro! Kenal aja nggak!” Jawabku ketus.“Nah, gitu dong. Kalau ditanya langsung jawab.” Ujarnya.Aku terus menunjukkan wajah cemberutku. Aku tahu, mas Damar sesekali melongok ke spion motor melihat ke arahku. Aku ingin mas Damar tahu aku sedang jengkel. “Kenapa?” Tanya mas Damar.“Lapar.” Jawabku singkat. Aku benar benar jengkel dengannya. Bagaimana bisa ia mengajakku pulang saat aku sedang asyik
Read more

Ternyata Dia...

“Ren, nggak pengen cerita acara semalam?” Tanya Nindy dengan antusiasnya.“Nggak! Males.” Ujarku. Mengingat apa yang terjadi semalam masih mampu membuatku jengkel dengan tingkah mas Damar.Sepertinya para sepupuku ini penasaran dengan kelangsungan acaraku dan mas Damar semalam. Mereka bertiga mengerubungiku. Bahkan para karyawan butik pun ikut ikutan. Akhirnya, dengan terpaksa, aku pun menceritakan apa yang kami lalui semalam. Mulai berangkat sampai pulang rumah, Begitu aku selesai bercerita, mereka langsung meluapkan tawa yang sudah mereka tahan sejak awal aku bercerita. Itung itung dapat pahala lah, sudah bikin mereka senang.“Ren, Ren! Untungnya semalam mas Damar stok kesabarannya full. Jadi sabar ngadepin kamu. Kalau enggak, udah ditinggal di pinggir jalan kamu!” Ucap Rini.“Memangnya kalian ada yang pernah ditinggal mas Damar? Tanyaku penasaran.“Nindy tuh yang pengalaman!” Jawab Ratna.“Beneran Nin?” Aku mengonfirmasi langsung ke orangnya.Nindy mengangguk yakin , sebagai jawaba
Read more

Tak Punya Ibu..

“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ucapku. Lega rasanya, ketika rasa penasaranku terobati. Ternyata dia adalah teman SMP ku. “Apakah kamu sudah menikah?” Tanya pria itu tanpa basa basi.“Ehh, itu urusan pribadi ya!” Ucapku.“Bukankah yang kujawab tadi juga urusan pribadi?” Elaknya.“Tapi kan, cuma nama.” Ucapku tak mau kalah.“Seingatku, Rena Hanindya yang kukenal bukanlah orang yang suka ingkar janji.” Tegas lelaki bernama Rendra itu. Pinter banget sih cari alasan yang mampu membuatku tak bisa menyanggah.“Aku belum menikah.” Jawabku. Aku tak mau mendapatkan cap pembohong.“Lalu, lelaki yang datang bersamamu semalam?” Tanya Rendra.“Lho, kok tanya lagi? Bukannya cuma satu ya?” Protesku.“Tinggal jawab aja, apa susahnya sih Ren!” Sahutnya.“Itu mas Damar. Sepupuku. Ngapain sih tanya tanya?” Omelku setelah menghela nafas.“Hanya memperjelas posisi.” Ujarnya.“Posisi apa?” Tanyaku penasaran dengan ucapannya.“Nanti kamu juga tahu.” Jawab lelaki itu berteka teki.Tak mendapatkan jawaban ya
Read more

Terjerat

Dering hp mengalihkan fokusku dari kegiatan menyisir rambut. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas sejak semalam, usai menerima panggilan Rayyan. Kulihat kontak yang tertera ‘Si ganteng’. Seperti dugaanku. Rayyan lah yang menelpon sepagi ini. Anak yang membuatku tiba tiba berakting jadi seorang ibu. Sebenarnya, aku bukanlah perempuan tipe penyayang anak. Tapi juga tak membenci anak anak. Biasa sajalah diriku ketika berhadapan dengan makhluk yang bernama anak anak itu. Aku cenderung masa bodoh dengan mereka. Kecuali mereka mendekatiku. Tapi Rayyan ini berbeda. Ia seolah telah menjeratku. Aku sebenarnya tak ingin terlibat terlalu jauh dengan kehidupan anak itu. Cukup sampai kejadian di butik waktu itu. Tapi ternyata tidak. Tuhan seolah mentakdirkanku untuk terus terlibat dengan kehidupan anak ini. Anak yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu sejak lahir. Otakku selalu berpikir untuk meninggalkannya. Tetapi hatiku selalu menolaknya. Saat pertama kali bertemu dengan
Read more

Mama, Rayyan Sakit ..

Rendra mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. 2 buah paper bag ukuran kecil.“Ini oleh oleh buat Rayyan.” Ucap Rendra seraya menyodorkan sebuah paper bag. Rayyan segera membuka oleh oleh dari papanya dengan tak sabaran. Ia merobek kertas pembungkusnya dengan sangat tergesa gesa. Ingin segera tahu apa isi di dalamnya.“Yey. Rubik baru! Makasih papa.” Ucap anak itu dengan ceria. Oleh oleh yang dibawa papanya, ternyata sebuah rubik berbentuk segi enam kalau tak salah.“Rayyan bisa main ini sayang?” Tanyaku penasaran. Karena jujur saja, rubik yang kubus saja aku hanya bisa menyamakan satu sisi thok!“Heem.” Jawab Rayyan singkat. Anak itu fokus dengan rubik barunya.“Rayyan koleksi rubik di rumah, mbak.” Ucap Risa.“Oh iyakah?” Ucapku.“Kenapa Rayyan suka rubik? Susah lho mainnya.” Ucapku jujur.“Ian punya banyak, mama. Papa yang beliin. Papa juga yang ajarin mainnya.” Ujar anak itu.“Iya, trus kenapa Rayyan suka rubik?” Kuulangi pertanyaanku.“Kenapa nggak robot robotan atau yang
Read more

Hanya Dimanfaatkan

Saat kami tiba di butik, terlihat olehku mas Damar tengah mencengkeram kerah baju mas Aditia. Terlihat beberapa pengunjung pria berusaha melerai mereka berdua. Aku segera berlari mendekat ke arah mereka berdua. Saat aku telah berada pada jarak yang cukup dekat dengan mereka, dapat kulihat dengan jelas, ada memar di wajah mas Aditia. Sepertinya mereka berdua sudah sempat adu jotos.“Sudah! Berhenti! Apa apaan sih kalian berdua. Apa kalian nggak malu jadi tontonan?” Ucapku coba melerai perkelahian mereka berdua. Aku menarik ujung kemeja mas Damar. Berharap ia segera bisa menguasai diri. Tapi, karena mas Damar benar benar telah dikuasai emosi, sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Bahkan keberadaanku di belakangnya. Ia menepis kasar tanganku dengan tenaga penuh. Alhasil aku terdorong ke belakang. Membuatku hampir saja terjungkal, andai tak ada Rendra yang menahan tubuhku.“Kamu nggak pa pa khan, Ren?” Tanya Rendra memastikan kondisiku. Ia menampakkan raut wajah khawatir. Aku mengangg
Read more

Bahu Yang Nyaman Untuk Bersandar

“Ehh!” Seru Rendra kaget. Karena aku dengan tiba tiba menyandarkan kepala ke bahu kanannya.“Pusing” Keluhku. Aku bukannya sedang modus. Tapi kepalaku sungguhan terasa pusing. Atau lebih tepatnya pening. Hidungku mampet. Mataku terasa cenut cenut saat kubuka. Makanya aku terus memejamkan mata sejak tadi.“Kelamaan nangis meratapi cowok tadi!” Ujarnya.“Aku nangis bukan meratapi cowok br*ngsek tadi. Tapi aku sedang meratapi kebodohanku, Rendra!” Protesku.“Baguslah kalau sadar diri.” Ucapnya santai. Tapi aku yang mendengarnya dibuat dongkol.“Sadar diri?” Tanyaku penasaran.“Kalau bodo” Ucap Rendra.Tak terima dengan ucapannya, aku pun mencubit lengannya dengan keras.“Aww, sakit Rena!” Keluhnya. Aku sama sekali tak mempedulikan keluhannya. Dia membuatku jengkel di tengah perasaanku saat ini yang campur aduk. Harusnya kan dia menenangkanku bukan menambah jengkel?“Kalau marah, pindah dong! Besar kepalamu, terasa berat banget di bahu.” Sungutnya.“Rendra! Kamu ngatain aku sombong?” Ucap
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status