“Ehh!” Seru Rendra kaget. Karena aku dengan tiba tiba menyandarkan kepala ke bahu kanannya.“Pusing” Keluhku. Aku bukannya sedang modus. Tapi kepalaku sungguhan terasa pusing. Atau lebih tepatnya pening. Hidungku mampet. Mataku terasa cenut cenut saat kubuka. Makanya aku terus memejamkan mata sejak tadi.“Kelamaan nangis meratapi cowok tadi!” Ujarnya.“Aku nangis bukan meratapi cowok br*ngsek tadi. Tapi aku sedang meratapi kebodohanku, Rendra!” Protesku.“Baguslah kalau sadar diri.” Ucapnya santai. Tapi aku yang mendengarnya dibuat dongkol.“Sadar diri?” Tanyaku penasaran.“Kalau bodo” Ucap Rendra.Tak terima dengan ucapannya, aku pun mencubit lengannya dengan keras.“Aww, sakit Rena!” Keluhnya. Aku sama sekali tak mempedulikan keluhannya. Dia membuatku jengkel di tengah perasaanku saat ini yang campur aduk. Harusnya kan dia menenangkanku bukan menambah jengkel?“Kalau marah, pindah dong! Besar kepalamu, terasa berat banget di bahu.” Sungutnya.“Rendra! Kamu ngatain aku sombong?” Ucap
“Sudah cemberutnya.” Ucap Rendra. Dan aku tak menghiraukannya. Aku masih marah dengannya. Walau sebenarnya capek juga monyong monyongin bibir kayak gini.“Ambilin lensa dong di tas biru itu.” Pintanya. Meski marah, aku tetap mengambilkan tas yang ia pinta. Aku juga ingin ikut berkontribusi sebenarnya.“Makasih” Ucapnya setelah menerima tas yang kuambilkan. Tapi aku tak membalas ucapannya. Masih setia dengan wajah cemberutku.“Dekat tas ini tadi khan ada tas warna hitam khan?” Ucapnya, aku tetap diam tak menanggapi tapi tetap memperhatikan setiap omongannya. Rendra juga menyadari itu, makanya, ia tetap melanjutkan ucapannya.“Tolong, buka kantong yang depan.” Ucapnya lagi. Setelah yakin ucapan Rendra telah selesai, aku segera menghampiri tas yang dimaksud Rendra. Begitu ketemu, langsung kubuka resleting kantong depan.“Wahh! Black chocolate!” Ucapku sambil mengembangkan senyum di bibir. Rasa marahku menguap seketika. Tanpa meminta ijin sang empunya, aku langsung mengambilnya. Membuka b
“Tahu nggak siapa?” Ulang Nindy.“Aku nggak peduli!” Teriak wanita itu. Apa dia nggak malu sih teriak teriak di tempat umum ini. Rasa cemburu telah menguasainya. Wanita itu maju. Sepertinya ia masih ingin menyerangku lagi, tapi tanpa perasaan mas Damar langsung mendorongnya dengan keras. Wanita itu pasti jatuh andai tak ditahan temannya. Jujur saja, aku kaget, mas Damar bisa berlaku sekasar itu pada wanita. Dan wanita itu pun juga tampak kaget dengan perlakuan mas Damar. Di sekeliling kami semakin ramai orang berdatangan. Pasti mereka penasaran dengan keributan yang terjadi. Melihat orang yang semakin banyak, wanita itu bukannya malu, ia malah mencoba memanfaatkan situasi.“Mar, kamu tega berbuat sekasar ini hanya demi wanita murahan itu?” Ucapnya diiringi tangisan tersedu sedu. Air mata buaya betina. Kulihat beberapa orang asyik berkasak kusuk dengan prasangkanya masing masing. Ada pula yang sudah mengeluarkan ponselnya. Pasti mereka merekam kejadian ini. Wahh, bisa viral aku! Nggak
“Dari mana Rena?” Tanya pak dhe begitu aku membuka pintu pagar rumah. Beliau sedang duduk di teras rumah sambil menikmati teh buatan bu dhe Narti. Kebiasaannya di sore hari. Ini memang sudah pukul setengah lima sore. Wajah pak dhe terlihat datar. Sangat datar. Apakah beliau marah? “Dari jalan jalan sama Rayyan , pak dhe. “ Jawabku jujur. Kulihat mas Damar datang dari dalam rumah dan berhenti di pintu yang berada di samping pak dhe. Ia sengaja menunjukkan tampang mengejek padaku. Wah, memprovokasiku rupanya dia. Kalau pak dhe memang marah, aku tak mau dimarahi sendiri. Akan kupastikan mas Damar juga mendapatkannya.“Kenapa ponsel kamu nggak bisa dihubungi? Jangan bilang kehabisan baterai!” Ujar pak dhe. Mas Damar cekikikan di belakang pak dhe. Benar benar menantangku orang ini.“Sengaja Rena matikan, pak dhe.” Jawabku jujur.“Biar mas Damar nggak bisa hubungi.” Lanjutku. Aku yakin mas Damar pasti sudah menceritakan kejadian sepulang CFD tadi. “Maafin Rena ya kalau bikin pak dhe kha
“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan.“Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu.“Baik bu.” Jawab sang MUA singkat.Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku.“Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu.“Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus.“Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu.“Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran beni
Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti.Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah. Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sa
Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.“Boleh lah! Jemput ya? Aku tu
“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja