Lelaki itu berjalan menghampiri ke arahku. Setiap langkahnya menjadi magnet tersendiri untuk menarik fokus penghuni ruangan ini. Sedangkan aku, aku diam terpaku di tempatku berdiri. Kaget dengan apa yang dilakukannya. Apa sih mau dokter tengil ini. Dia benar benar menyiapkan masalah baru untukku.“Sayang, maaf ya, aku datang terlambat.” Ucap dokter muda itu sok dilembut lembutkan. Membuatku bergidik ngeri. Aku menoleh menatapnya. Dan ia malah mengedipkan sebelah matanya. Ya ampun, dokter ini membuat tensiku naik drastis.“Jangan marah, sayang. Kan cuman terlambat sebentar.” Ucapnya ketika aku menatapnya dengan tajam. Kalian tahu, rasanya sedang ingin marah tapi terpaksa ditahan? Ya, seperti itulah yang kurasakan kini.Fokus seisi ruangan tertuju pada kami. Membuatku salah tingkah. Juga membuatku terpaksa menahan amarah. Mereka semua seolah bertanya tentang kebenaran ucapan dokter tengil itu. Sosok dokter Hasbi berhasil menghipnotis para wanita di ruangan ini. Terlihat jelas mereka ter
Anak kecil itu berlari ke arahku. Di belakangnya, tampak Risa yang kewalahan untuk mengejarnya. Rayyan berhenti setengah langkah di depanku. Hanya sesaat kemudian ia menubrukkan badannya memeluk kaki jenjangku. Erat. Tinggi anak ini memang hanya mencapai pinggangku.“Mamaaa!” Panggilnya dengan wajah polos. Sontak, aku menjadi perhatian seisi ruangan. Lagi!Aku masih diam mematung. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi yang jelas, aku tak mau mereka berfikir yang tidak tidak tentangku. Si alnya, ketiga trouble maker itu sudah berada di depanku. Siap melontarkan prasangka prasangka buruknya. Mereka merasa punya kesempatan untuk menjatuhkanku.“Kamu sudah punya anak sebesar ini?”“Bukannya masih gadis?”“Gadis tapi tak perawan berarti.”“Kapan menikah?”“Seingatku, belum ada tuh kabar pernikahanmu. Kecuali yang gagal itu!”“Siapa bapaknya?”“Jangan jangan bapaknya nggak jelas!”“Kupikir wanita baik baik.”Dan masih banyak lagi cercaan cercaan yang mereka lontarkan untuk menghinakanku. Membua
“Jangan macam macam denganku. Aku tahu, kau hanya dinikahi secara siri. Kau bisa menikah dengannya pun karena aku. Dan kau tahu pasti kan, aku bisa mengambil lelaki di sampingmu ini, kapanpun, jika aku mau.” “Sumpah kamu bilang begitu Ren” Ucap Dian tak percaya.“Pantes! Ketua geng trouble maker itu kayak ‘orong orong keinjek’. Takut dia.” Sahut Santi.“Keren!” puji Dewi sambil mengacungkan dua jempol tangannya.*** Tak berapa lama, canda tawa kami terhenti karena ada yang menghampiri kami. Ya, dia adalah dokter Hasbi. Lelaki ini benar benar menepati ucapannya. Padahal aku berharap ia tak datang.“Saya boleh ikut duduk di sini kan?” Tumben dokter ini minta ijin. Biasanya juga tanpa permisi. Risa yang ada di dekat kursi kosong itu mengangguk. Kemudian dokter itu pun langsung duduk. “Mau pulang jam berapa , sayang?” Ucapnya sambil menatapku, di depan banyak orang tanpa rasa sungkan. Aku menghembuskan nafas kasar dan menunjukkan tampang jengkel.“Jangan cemberut dong. Kalau belum ma
Pukul 16.10 kami keluar dari hotel bintang 5 itu. Lega sekali rasanya hati ini. Saat ini aku duduk di taman hotel menunggu Santi yang tengah mengambil motornya di parkiran. Aku bersama Rayyan tentunya. Aku duduk sambil membolak balik kartu akses masuk kamar hotel yang tadi diberikan oleh dokter Hasbi.“Heh! Ngalamun aja, ya. Kesambet baru tahu rasa.” Seru Santi masih berada di atas motornya, berhenti tepat di depanku.“Lagi mikir. Ini mau aku apain.” Jawabku.“Gus!” Panggilku pada Agus yang baru saja datang berboncengan dengan istrinya.“Apa?” Sahutnya.“Buat kamu aja. Nih!” Kuulurkan kartu itu pada Agus. Agar ia menginap dengan istrinya.“Anggap aja, kado dariku yang tertunda. Khan aku nggak datang di pernikahanmu dulu.” Seruku.“Thank you Rena!” Ucapnya. “Tapi kamu yakin kan Ren, dokter tadi nggak ngeprank. Tinggal pakai bener ini?” Sepertinya Agus masih sedikit ragu. Aku mengangguk sebagai jawaban.“Kalau ada apa apa telpon aja.” Ucapku.“Tapi, aku khan nggak punya nomor kamu, Ren
Pagi ini, kami bertiga telah terlihat cantik dengan seragam pagar ayu dan make up natural yang tipis. Sesuai permintaanku. Sebenarnya tugas utama kami adalah menunggui buku tamu. Sedangkan Dian sebagai mempelai perempuan, ia telah berkutat dengan make up dan MUA sejak sehabis sholat Subuh tadi. Setelah siap, kami diminta ke depan oleh pak dhe dari Dian, yang merupakan ketua untuk panitia acara pernikahan ini. Duduk manis menunggui meja yang berisikan buku untuk daftar tamu yang hadir. Padahal jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku ini baru menunjukkan angka 06.46. Apakah tidak terlalu pagi kami menanti para tamu yang akan hadir?Daripada bengong menunggu tamu yang belum tentu hadir sepagi ini, kami bertiga menyibukkan diri dengan berselancar di dunia maya. Inilah yang dinamakan, hp menjauhkan yang dekat. Kami bertiga duduk berdampingan, tapi fokus kami ada pada gadget masing masing.“Assalamualaikum.” Salam dari tamu yang datang. Bukannya langsung mengangkat kepala melihat ta
Aku tetap memutuskan untuk pulang meski hatiku tak karuan. Santi dan Dewi menggandengku masuk ke mobil Rendra. Setelah sebelumnya, Rendra telah membukakan pintu mobilnya. Kulambaikan tangan ke arah para sahabatku itu, sebelum akhirnya, Rendra melajukan mobilnya dengan kecepatan pelan. Agus dan Ana pun juga ikut mobil ini. Karena mereka memang datang bersama Rendra dengan mobil ini. Rendra memutar lagu lagu kesukaannya dengan suara yang sangat keras. Padahal biasanya, ia memutar musik di mobil dengan suara yang sedang bahkan cenderung kecil. Seolah saat ini, ia memang sengaja menyamarkan suara tangisku dengan musik ini. Dan membuatku merasa tak canggung untuk meluapkan kesedihanku.Kusandarkan kepala di kaca pintu mobil. Tiba tiba kepala ini sangat berat kurasa. Air mata pun tak mau berhenti mengalir. Meski aku berusaha untuk menghentikannya. Aku merasa hancur saat ini. Bukan raga, tapi jiwa dan hatiku. Kutatap kosong jauh ke depan. Putus asa. Aku merasa telah kehilangan segalanya.*
“Wahh! Sampai rumah sepertinya aku bakalan di sidang ini.” Gumamku.“Kenapa nggak dijawab sih?” Tanyaku.“Lihat panggilan masuknya. Baru tanya.” Jawab Rendra super santai.*** “ Sudah hampir jam 3 pagi. Kita makan dulu aja ya. Sekalian. Biar kuat menghadapi omelan Damar.” Ucap Rendra. Kuanggukkan kepala berulang kali sebagai jawabannya. Benar kata Rendra, sampai di rumah, aku pasti akan mendapat sambutan cercaan dari mas Damar. Bukan hanya menyiapkan mental, perutku juga harus dalam kondisi kenyang. Agar mampu berpikir sanggahan yang masuk akal.Sepagi ini sudah banyak pedagang yang berjualan. Terutama, pedagang makanan yang menjual aneka menu sarapan. Di saat aku tertidur lelap, ternyata ada orang orang yang sudah bekerja pagi pagi seperti ini. Orang orang hebat mereka. Kami makan di sebuah pedagang nasi liwet di pinggir jalan. Bukan pedagang yang berjualan di Resto atau tempat mewah. Tapi pedagang kaki lima yang berjualan di depan emperan ruko. Penjualnya seorang nenek nenek seusia
Terbangun di atas brankar rumah sakit. Selang infus bertengger di lengan kiriku. Dengan seluruh keluarga di Solo yang tampak cemas mengitari brankar yang kutiduri. Lengan kiriku tampak terbalut perban dan kaki kiriku terbungkus gips. Apakah kakiku patah?“Rena kenapa eyang?” Tanyaku dengan lemah ke eyang uti yang berada paling dekat denganku.“Rena kecelakaan motor, nduk. Sekarang kita ada di rumah sakit.” Jawab eyang uti. Kemudian beliau menceritakan kejadian yang telah kualami.“Ren! Aku siapa coba?” Tanya mas Damar sambil menunjuk dirinya sendiri.“Mas Damar apa apaan sih!” Protesku masih dengan suara yang lemah.“Alhamdulillah! Tak pikir kamu anemia Ren.” Seru mas Damar.“Anemia? Amnesia kali mass!” Protes Nindy. Membuat seisi ruangan ini tertawa.“Halahh, beda dikit.” Mas Damar masih tak mau kalah.“Bukan beda dikit, tapi beda arti.” Celetuk Nindy.“Tapi kamu paham kan maksudku?” Tanya mas Damar.
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin