Terbangun di atas brankar rumah sakit. Selang infus bertengger di lengan kiriku. Dengan seluruh keluarga di Solo yang tampak cemas mengitari brankar yang kutiduri. Lengan kiriku tampak terbalut perban dan kaki kiriku terbungkus gips. Apakah kakiku patah?“Rena kenapa eyang?” Tanyaku dengan lemah ke eyang uti yang berada paling dekat denganku.“Rena kecelakaan motor, nduk. Sekarang kita ada di rumah sakit.” Jawab eyang uti. Kemudian beliau menceritakan kejadian yang telah kualami.“Ren! Aku siapa coba?” Tanya mas Damar sambil menunjuk dirinya sendiri.“Mas Damar apa apaan sih!” Protesku masih dengan suara yang lemah.“Alhamdulillah! Tak pikir kamu anemia Ren.” Seru mas Damar.“Anemia? Amnesia kali mass!” Protes Nindy. Membuat seisi ruangan ini tertawa.“Halahh, beda dikit.” Mas Damar masih tak mau kalah.“Bukan beda dikit, tapi beda arti.” Celetuk Nindy.“Tapi kamu paham kan maksudku?” Tanya mas Damar.
Tak tahu mengapa, saat Rendra memasangkan gelang itu, jantungku berdetak sangat kencang. Apa aku akan terkena serangan jantung? Apa hidupku tak lama lagi? Bo dohnya aku.Kuangkat tangan kananku dan kugerak gerakkan. Bermaksud memperlihatkan gelang ini ke semua yang berada di ruangan ini.“Tadi nggak mau. Sekarang dipamerkan. Labil ah loe Ren!” Gerutu Nindy.“Biarin! Daripada dibuang tempat sampah.” Celetukku.“Kalau dibuang ke tempat sampah sama Rendra, nanti aku yang pungut.” Seru Nindy.“Makanya, punya cowok jangan yang pelit. Cowok pelit aja dipelihara.” Sahut mas Damar.“Ihh! Mas Damar jangan ikut campur deh.” Sungut Nindy.“Tak ceritain ya bu lek. Pas Damar nganterin malam mingguan sama cowoknya. Pas motor Nindy masuk bengkel itu lho. Maksudnya tuh ya, saya mau ngerjain cowoknya Nindy. Saya ikutan masuk ke resto tempat mereka janjian. Saya pesanlah, makanan yang mahal mahal. Ehh, pas giliran bayar, suruh bayar sen
Setelah dirawat di rumah sakit selama 3 hari, akhirnya dokter mengijinkanku pulang. Senang sekali rasanya. Meskipun rumah sakit dibangun semegah apapun, aku yakin, rumah sakit tetaplah tempat yang tak membuat betah.“Home sweet home!” Teriakku begitu turun dari mobil dan dibopong mas Damar. Ia mengantarkanku sampai ke kamar tidurku. Mereka bilang, aku harus banyak beristirahat. Apa mereka lupa, 3 hari di rumah sakit kuhabis waktu hanya dengan tidur dan makan saja?“Tapi bu dhe, Rena capek tidur.” Gerutuku.“Mau cepat sembuh tidak?” Ujar bu dhe. Ya sudahlah, akhirnya aku mengalah berhenti merengek. Karena bagaimanapun, aku berada di pihak yang salah. Bu dhe dan mas Damar bolak balik ke kamarku, mengantarkan barang barang milikku. Tak lupa bu dhe juga menyiapkan banyak camilan dan buah buahan di atas nakas samping tempat tidurku. Selama seminggu ini, kesibukanku hanyalah tidur dan makan. Sudah pasti berat badanku akan naik ini. Rayyan tak pernah absen mengun
Seminggu lagi, jadwalku untuk melepas gips di kaki kiriku ini. Semoga semuanya berjalan lancar. Aku tak sabar untuk segera bebas dari benda ini. Aku ingin segera berjalan dengan kakiku ini. Dulu, aku benci dengan yang namanya jalan kaki. Sekarang, aku begitu menginginkannya.Sudah 2 hari ini, aku kembali membantu di butik. Meski hanya membantu di bagian pembukuan, tak apalah. Setidaknya aku bisa memberikan andil. Daripada hanya terus berdiam diri. Manusia memanglah makhluk yang kurang pandai bersyukur menurutku. Terutama, diriku ini. Di saat sibuk dengan kerjaan yang menumpuk, aku mengeluh dan sangat ingin mendapatkan waktu untuk beristirahat. Saat diberi waktu beristirahat yang banyak, aku juga mengeluh, bosan, ingin beraktivitas. Maunya apasih?“Pagi bu, ada yang bisa kami bantu?” Ucap Fitri seperti biasanya. Ketika ada customer yang menghampirinya ke meja kasir.“Saya ingin bertemu dengan gadis yang bernama Rena Hanindya.” Ucap orang itu. Masih bisa ku
“Apakah akan ada pesta syukuran?” Seru Nindy setengah berteriak. Membuat fokus kami mengarah padanya.“Pastilah!” Ujar Rendra.“Ya kan, sayang!” Ujar Rendra lagi sambil melirikku seraya tersenyum. Aku tak menanggapinya. Aku sudah kenyang dibuli para sepupuku.Dan karena keributan yang tak penting yang terjadi ini, aku jadi tahu, jika baik mas Damar maupun pak Dhe Ramdan telah mengenal dokter Hasbi dan keluarganya. Makanya tak heran jika pak Dhe langsung menolak dua kali lamaran dokter itu, tanpa basa basi meminta waktu untuk mempertimbangkan. Selain tentang watak ibunya yang tak disukai, juga kebiasaan berbisnis ibunya yang sering menunda nunda pembayaran. Dan wanita itu selalu punya alasan untuk membuat mas Damar tak enak hati menyudahi kerja sama.*****Hari ini, aku pergi ke rumah sakit bersama eyang, bu dhe Narti dan mas Damar sebagai sopirnya, untuk melepaskan gips di kakiku. Dengan terpaksa, aku harus bertatap muka dengan dokter Hasbi lagi. Bukan ia yang sebenarnya ingin kujauhi
"Tok, tok, tok!" Suara ketukan pintu mengurungkan niatku untuk masuk ke kamar mandi. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu kamar."Pagi mama!" Sapaan yang terdengar begitu pintu kamarku terbuka. Senyum manis tak lupa terpatri di bibir mungilnya. Rayyan mengulurkan tangan mungilnya menyambut tangan kananku kemudian mengecup punggung tangan kananku."Selamat pagi sayangku." Balasku sambil mengelus pucuk kepalanya."Papa bilang, mama mau ajak Ian jalan jalan ke pantai ya?" Tanya si kecil Rayyan."Iya. Rayyan mau khan?" Ucapku. Dibalas dengan anggukan kepala sambil tersenyum."Ayok ma!" Ajak anak itu semangat. Meraih tanganku yang masih setia bertengger di pucuk kepalanya. Kemudian menggenggam tanganku erat."Mama mandi dulu ya sayang. Yuk, Rayyan masuk dulu. Tunggu mama di dalam ya." Pintaku. Rayyan pun mengangguk dan mengikutiku masuk ke kamar. Dan duduk di sofa yang berada di kamarku. Kemudian kuambilkan sebuah rubik yang ada di meja, agar anak ini tak bosan."Makasih mama." Ucapnya saat
Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam-an, kami pun sampai di tempat tujuan. Suasana week end pun sangat terasa di pantai ini. Pengunjung yang datang ke pantai ini lumayan banyak. Meski tak sampai membludak seperti ketika liburan panjang.Rayyan langsung berlarian di pasir pantai. Sambil tertawa. Ia terlihat sangat bahagia. Dan itu membuatku juga merasa senang. Risa mengikuti Rayyan kemana pun langkah kecil itu berlari. Ketiga sepupu cantikku tengah asyik berselfi ria. Tak lupa juga meminta bantuan mas Damar untuk memotret. Meski awalnya dengan wajah cemberut, mas Damar pun bersedia.Sedangkan diriku sendiri, aku duduk di atas hamparan pasir putih di pantai. Menikmati pemandangan indah di depan mata. Tak lama setelah aku duduk, Rendra datang membawa minuman kemasan yang ia beli untuk kami. Kemudian Rendra duduk di sebelahku. Menyodorkan sebotol air mineral yang telah ia buka sebelumnya."Terimakasih, Ren." Ucapku sambil menerima botol tersebut. Rendra tersenyum sebagai jawaba
"Papa kenapa?" Tanya Rayyan penasaran dengan tingkah Rendra, yang tiba tiba berdiri dan menjauh dari posisi duduk awalnya. Hingga saat ini ia tengah berdiri tepat di depan aku dan Rayyan yang tengah asyik bermain pasir pantai. Dan tak lupa, Rendra mengibas ngibaskan tangannya, membersihkan bagian yang bersinggungan dengan wanita tadi. Seolah olah terkena kotoran. Tingkahnya itu sukses buat kamu geleng geleng."Udah laper belum nih? Makan dulu yuk! Udah waktunya makan siang nih!" Usul Rendra. Atau lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan. *****Di resto tak jauh dari pantai kami berada saat ini. Bukan hanya rombonganku, tapi wanita yang mengaku bernama Salsa tadi juga ikut. Bahkan Salsa jugjla mengajak teman temannya ikut serta. Okelah, resto ini adalah tempat umum, siapapun boleh ke sini untuk makan. Tapi, jika sampai ikut duduk di meja pesanan rombonganku, dan tanpa meminta ijin, bukankah itu bisa disebut tak tahu malu. Dan aku adalah tipe orang yang tak suka makan semeja dengan orang
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja
“Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas
“Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s