"Tok, tok, tok!" Suara ketukan pintu mengurungkan niatku untuk masuk ke kamar mandi. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu kamar."Pagi mama!" Sapaan yang terdengar begitu pintu kamarku terbuka. Senyum manis tak lupa terpatri di bibir mungilnya. Rayyan mengulurkan tangan mungilnya menyambut tangan kananku kemudian mengecup punggung tangan kananku."Selamat pagi sayangku." Balasku sambil mengelus pucuk kepalanya."Papa bilang, mama mau ajak Ian jalan jalan ke pantai ya?" Tanya si kecil Rayyan."Iya. Rayyan mau khan?" Ucapku. Dibalas dengan anggukan kepala sambil tersenyum."Ayok ma!" Ajak anak itu semangat. Meraih tanganku yang masih setia bertengger di pucuk kepalanya. Kemudian menggenggam tanganku erat."Mama mandi dulu ya sayang. Yuk, Rayyan masuk dulu. Tunggu mama di dalam ya." Pintaku. Rayyan pun mengangguk dan mengikutiku masuk ke kamar. Dan duduk di sofa yang berada di kamarku. Kemudian kuambilkan sebuah rubik yang ada di meja, agar anak ini tak bosan."Makasih mama." Ucapnya saat
Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam-an, kami pun sampai di tempat tujuan. Suasana week end pun sangat terasa di pantai ini. Pengunjung yang datang ke pantai ini lumayan banyak. Meski tak sampai membludak seperti ketika liburan panjang.Rayyan langsung berlarian di pasir pantai. Sambil tertawa. Ia terlihat sangat bahagia. Dan itu membuatku juga merasa senang. Risa mengikuti Rayyan kemana pun langkah kecil itu berlari. Ketiga sepupu cantikku tengah asyik berselfi ria. Tak lupa juga meminta bantuan mas Damar untuk memotret. Meski awalnya dengan wajah cemberut, mas Damar pun bersedia.Sedangkan diriku sendiri, aku duduk di atas hamparan pasir putih di pantai. Menikmati pemandangan indah di depan mata. Tak lama setelah aku duduk, Rendra datang membawa minuman kemasan yang ia beli untuk kami. Kemudian Rendra duduk di sebelahku. Menyodorkan sebotol air mineral yang telah ia buka sebelumnya."Terimakasih, Ren." Ucapku sambil menerima botol tersebut. Rendra tersenyum sebagai jawaba
"Papa kenapa?" Tanya Rayyan penasaran dengan tingkah Rendra, yang tiba tiba berdiri dan menjauh dari posisi duduk awalnya. Hingga saat ini ia tengah berdiri tepat di depan aku dan Rayyan yang tengah asyik bermain pasir pantai. Dan tak lupa, Rendra mengibas ngibaskan tangannya, membersihkan bagian yang bersinggungan dengan wanita tadi. Seolah olah terkena kotoran. Tingkahnya itu sukses buat kamu geleng geleng."Udah laper belum nih? Makan dulu yuk! Udah waktunya makan siang nih!" Usul Rendra. Atau lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan. *****Di resto tak jauh dari pantai kami berada saat ini. Bukan hanya rombonganku, tapi wanita yang mengaku bernama Salsa tadi juga ikut. Bahkan Salsa jugjla mengajak teman temannya ikut serta. Okelah, resto ini adalah tempat umum, siapapun boleh ke sini untuk makan. Tapi, jika sampai ikut duduk di meja pesanan rombonganku, dan tanpa meminta ijin, bukankah itu bisa disebut tak tahu malu. Dan aku adalah tipe orang yang tak suka makan semeja dengan orang
"Matre kamu bilang? Bukankah sebutan itu lebih pantas untuk kamu? Orang yang sudah tahu tentangku. Sedang kan dia, ia bahkan tak mengetahui ataupun ingin tahu apa saja yang kumiliki." Ucap Rendra, kemudian menyusul kami yang telah pergi lebih dulu.*****"Masih mau main?" Tanya Rendra begitu sampai di hadapan kami."Udah ah! Panas! Pulang aja ya?" Pintaku. Aku sudah tak betah dengan hawa panas yang kurasa. Tapi sepertinya ketiga sepupu perempuanku dan Risa masih belum puas bermain main di pantai."Jarang jarang lho kita liburan bareng gini." Keluh Risa."Heem!" Nindy juga ikut mengiyakan."Ya udah deh sana main. Aku tunggu di sini aja ya." Ucapku mengalah."Rayyan di sini aja ya sama mama. Panas sayang." Ucapku yang diiyakan oleh Rayyan. Akhirnya aku, Rayyan, Rendra, dan mas Damar hanya menunggu di gazebo pinggir pantai."Ngapain nih orang ke sini. Baru juga mau santai sudah ada pengganggu. Nyebelin!" Batin Rena. Tak ada satu pun dari kami bertiga yang mempedulikan kedatangan wanita b
Sebenarnya, aku tak jauh beda dengan si kecil di pangkuan ini. Ngantuk, ingin tidur. Tapi apalah daya, aku sekuat tenaga untuk menahan kantuk ini. Jika sampai tertidur, bisa bisa Rayyan jatuh dari pangkuanku."Ngantuk? Rayyan dipindah belakang aja ya?" Tawar Rendra, dan kujawab gelengan. Aku tak mau tidur pulas Rayyan terganggu."Kita langsung ke rumah bunda aja ya. Nanti Damar pasti juga anterin Risa ke rumah." Usul Rendra."Tapi aku pengen mandi trus tidur." Gumamku yang pasti masih bisa didengar Rendra."Khan di rumah bunda juga bisa. Nanti bisa pakai baju ganti Risa. Oke?" Ucap Rendra lagi."Heemm!" Jawabku sambil mengangguk anggukkan kepala beberapa kali.Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami pun sampai di rumah kedua orang tua Rendra. ""Assalamualaikum!" Ucapku dan Rendra bersamaan. Aku berjalan masuk di samping Rendra yang tengah menggendong Rayyan yang masih pulas dalam tidurnya."Waalaikumsalam!" Terdengar suara jawaban dari dalam rumah. Dari suaranya, aku sangat familiar
Setelah 2 minggu berada di Jakarta, Rendra akhirnya pulang ke Solo. Ia mampir mengunjungiku di butik, dalam perjalanan pulang dari bandara Adi Sumarmo ke rumahnya. Seperti biasanya, ia membawakanku oleh oleh yang cukup banyak. Camilan manis favoritku. Ia juga memberitahukanku tentang rencana untuk ke Jogja mengunjungi kedua orang tuaku meminta restu kepada mereka. Rendra menepati ucapannya sebelum berangkat ke Jakarta tempo itu. Dua hari lagi, itulah rencana keberangkatan kami. Tak lupa, ia juga memintaku untuk menyiapkan diri. Aku memang butuh menyiapkan diri, terutama mental, untuk menemui orang tuaku. Tapi bukankah Rendra dan keluarganya yang harus lebih menyiapkan diri dibanding diriku? Karena aku telah terbiasa dengan sikap mereka padaku, meskipun tetap meninggalkan sakit di hati. Sedangkan Rendra dan keluarganya, ini kali pertama bagi mereka bertemu orang tuaku. Aku takut mereka shock!Kami berangkat ke Jogja ba’da Ashar. Keluarga lengkap Rendra ikut ke Jogja, Bunda, Ayah Rendra
Bunda menggenggam erat kedua telapak tanganku yang saling bertautan. Kuberanikan diri menatapnya. Masih seperti biasanya, ia memberikanku senyuman manisnya. Menyalurkan sedikit semangat untukku. Tatapannya seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik baik saja. Aku mencoba untuk terus memompa optimisme di hati. Risa menggendong Rayyan keluar ruang tamu menuju taman. Pak Heryawan yang menyuruhnya. Pasti orang tua Rendra sudah memprediksi apa yang akan terjadi. Dan mereka tak mau Rayyan ikut menyaksikan semuanya.“Perkenalkan, nama saya Rendra. Dan ini, ayah dan bunda saya. Kami kesini berniat untuk meminta doa dan restu untuk pernikahan saya dan Rena.” Rendra berbicara dengan lembut, meskipun menghadapi tatapan datar dari keluargaku. Bahkan ucapannya pun dipotong oleh mbah kakung.“Apa!” mbah kakung bersuara dengan lantang. Tak lupa tatapan tajamnya.“Sebulan yang lalu, saya sudah melamar Rena di Solo, di hadapan keluarga eyang Raharjo. Dan sekarang kami ke
“Berani kamu melawan bapak, mas!” Bentak ibu. Bapak tak terlihat seperti biasanya ketika ibu membentak. Raut wajah bapak menunjukkan ketegasan.“Selama ini, aku sudah mengalah padamu Ratih. Selalu mengalah. Dalam hal apapun. Aku harap itu akan membuatmu berpikir. Namun nyatanya, tidak! Hari hari kamu selalu menyalahkanku. Betapa menyesalnya kamu menikah denganku. Bagimu aku adalah penyebabmu membangkang. Aku melakukan segalanya untuk bapakmu. Bahkan aku rela meninggalkan keluargaku sendiri, demi kalian. Tapi kamu dan bapakmu tak pernah menganggapku. Tak apa kalian memperlakukanku seperti budak. Tapi Rena, dia putriku. Aku ingin dia bahagia tanpa beban. Aku ingin dia bebas dari kekangan kalian. Cukup lampiaskan semua amarahmu dan bapak padaku. Sudah cukup kalian libatkan Rena. Lagipula pak, bagaimanapun juga, Rena pernah menjadi cucu kesayangan anda.” Bapak berucap dengan mata berkaca kaca. Selama ini, yang kutahu, bapak adalah suami yang terlalu bucin terhadap istrinya
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin