Share

Bab 38

Penulis: Wildeblume
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam-an, kami pun sampai di tempat tujuan. Suasana week end pun sangat terasa di pantai ini. Pengunjung yang datang ke pantai ini lumayan banyak. Meski tak sampai membludak seperti ketika liburan panjang.

Rayyan langsung berlarian di pasir pantai. Sambil tertawa. Ia terlihat sangat bahagia. Dan itu membuatku juga merasa senang. Risa mengikuti Rayyan kemana pun langkah kecil itu berlari. Ketiga sepupu cantikku tengah asyik berselfi ria. Tak lupa juga meminta bantuan mas Damar untuk memotret. Meski awalnya dengan wajah cemberut, mas Damar pun bersedia.

Sedangkan diriku sendiri, aku duduk di atas hamparan pasir putih di pantai. Menikmati pemandangan indah di depan mata. Tak lama setelah aku duduk, Rendra datang membawa minuman kemasan yang ia beli untuk kami. Kemudian Rendra duduk di sebelahku. Menyodorkan sebotol air mineral yang telah ia buka sebelumnya.

"Terimakasih, Ren." Ucapku sambil menerima botol tersebut. Rendra tersenyum sebagai jawaba
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Siti Nurbaya   39

    "Papa kenapa?" Tanya Rayyan penasaran dengan tingkah Rendra, yang tiba tiba berdiri dan menjauh dari posisi duduk awalnya. Hingga saat ini ia tengah berdiri tepat di depan aku dan Rayyan yang tengah asyik bermain pasir pantai. Dan tak lupa, Rendra mengibas ngibaskan tangannya, membersihkan bagian yang bersinggungan dengan wanita tadi. Seolah olah terkena kotoran. Tingkahnya itu sukses buat kamu geleng geleng."Udah laper belum nih? Makan dulu yuk! Udah waktunya makan siang nih!" Usul Rendra. Atau lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan. *****Di resto tak jauh dari pantai kami berada saat ini. Bukan hanya rombonganku, tapi wanita yang mengaku bernama Salsa tadi juga ikut. Bahkan Salsa jugjla mengajak teman temannya ikut serta. Okelah, resto ini adalah tempat umum, siapapun boleh ke sini untuk makan. Tapi, jika sampai ikut duduk di meja pesanan rombonganku, dan tanpa meminta ijin, bukankah itu bisa disebut tak tahu malu. Dan aku adalah tipe orang yang tak suka makan semeja dengan orang

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 40

    "Matre kamu bilang? Bukankah sebutan itu lebih pantas untuk kamu? Orang yang sudah tahu tentangku. Sedang kan dia, ia bahkan tak mengetahui ataupun ingin tahu apa saja yang kumiliki." Ucap Rendra, kemudian menyusul kami yang telah pergi lebih dulu.*****"Masih mau main?" Tanya Rendra begitu sampai di hadapan kami."Udah ah! Panas! Pulang aja ya?" Pintaku. Aku sudah tak betah dengan hawa panas yang kurasa. Tapi sepertinya ketiga sepupu perempuanku dan Risa masih belum puas bermain main di pantai."Jarang jarang lho kita liburan bareng gini." Keluh Risa."Heem!" Nindy juga ikut mengiyakan."Ya udah deh sana main. Aku tunggu di sini aja ya." Ucapku mengalah."Rayyan di sini aja ya sama mama. Panas sayang." Ucapku yang diiyakan oleh Rayyan. Akhirnya aku, Rayyan, Rendra, dan mas Damar hanya menunggu di gazebo pinggir pantai."Ngapain nih orang ke sini. Baru juga mau santai sudah ada pengganggu. Nyebelin!" Batin Rena. Tak ada satu pun dari kami bertiga yang mempedulikan kedatangan wanita b

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 41

    Sebenarnya, aku tak jauh beda dengan si kecil di pangkuan ini. Ngantuk, ingin tidur. Tapi apalah daya, aku sekuat tenaga untuk menahan kantuk ini. Jika sampai tertidur, bisa bisa Rayyan jatuh dari pangkuanku."Ngantuk? Rayyan dipindah belakang aja ya?" Tawar Rendra, dan kujawab gelengan. Aku tak mau tidur pulas Rayyan terganggu."Kita langsung ke rumah bunda aja ya. Nanti Damar pasti juga anterin Risa ke rumah." Usul Rendra."Tapi aku pengen mandi trus tidur." Gumamku yang pasti masih bisa didengar Rendra."Khan di rumah bunda juga bisa. Nanti bisa pakai baju ganti Risa. Oke?" Ucap Rendra lagi."Heemm!" Jawabku sambil mengangguk anggukkan kepala beberapa kali.Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami pun sampai di rumah kedua orang tua Rendra. ""Assalamualaikum!" Ucapku dan Rendra bersamaan. Aku berjalan masuk di samping Rendra yang tengah menggendong Rayyan yang masih pulas dalam tidurnya."Waalaikumsalam!" Terdengar suara jawaban dari dalam rumah. Dari suaranya, aku sangat familiar

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 42

    Setelah 2 minggu berada di Jakarta, Rendra akhirnya pulang ke Solo. Ia mampir mengunjungiku di butik, dalam perjalanan pulang dari bandara Adi Sumarmo ke rumahnya. Seperti biasanya, ia membawakanku oleh oleh yang cukup banyak. Camilan manis favoritku. Ia juga memberitahukanku tentang rencana untuk ke Jogja mengunjungi kedua orang tuaku meminta restu kepada mereka. Rendra menepati ucapannya sebelum berangkat ke Jakarta tempo itu. Dua hari lagi, itulah rencana keberangkatan kami. Tak lupa, ia juga memintaku untuk menyiapkan diri. Aku memang butuh menyiapkan diri, terutama mental, untuk menemui orang tuaku. Tapi bukankah Rendra dan keluarganya yang harus lebih menyiapkan diri dibanding diriku? Karena aku telah terbiasa dengan sikap mereka padaku, meskipun tetap meninggalkan sakit di hati. Sedangkan Rendra dan keluarganya, ini kali pertama bagi mereka bertemu orang tuaku. Aku takut mereka shock!Kami berangkat ke Jogja ba’da Ashar. Keluarga lengkap Rendra ikut ke Jogja, Bunda, Ayah Rendra

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 43

    Bunda menggenggam erat kedua telapak tanganku yang saling bertautan. Kuberanikan diri menatapnya. Masih seperti biasanya, ia memberikanku senyuman manisnya. Menyalurkan sedikit semangat untukku. Tatapannya seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik baik saja. Aku mencoba untuk terus memompa optimisme di hati. Risa menggendong Rayyan keluar ruang tamu menuju taman. Pak Heryawan yang menyuruhnya. Pasti orang tua Rendra sudah memprediksi apa yang akan terjadi. Dan mereka tak mau Rayyan ikut menyaksikan semuanya.“Perkenalkan, nama saya Rendra. Dan ini, ayah dan bunda saya. Kami kesini berniat untuk meminta doa dan restu untuk pernikahan saya dan Rena.” Rendra berbicara dengan lembut, meskipun menghadapi tatapan datar dari keluargaku. Bahkan ucapannya pun dipotong oleh mbah kakung.“Apa!” mbah kakung bersuara dengan lantang. Tak lupa tatapan tajamnya.“Sebulan yang lalu, saya sudah melamar Rena di Solo, di hadapan keluarga eyang Raharjo. Dan sekarang kami ke

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 44

    “Berani kamu melawan bapak, mas!” Bentak ibu. Bapak tak terlihat seperti biasanya ketika ibu membentak. Raut wajah bapak menunjukkan ketegasan.“Selama ini, aku sudah mengalah padamu Ratih. Selalu mengalah. Dalam hal apapun. Aku harap itu akan membuatmu berpikir. Namun nyatanya, tidak! Hari hari kamu selalu menyalahkanku. Betapa menyesalnya kamu menikah denganku. Bagimu aku adalah penyebabmu membangkang. Aku melakukan segalanya untuk bapakmu. Bahkan aku rela meninggalkan keluargaku sendiri, demi kalian. Tapi kamu dan bapakmu tak pernah menganggapku. Tak apa kalian memperlakukanku seperti budak. Tapi Rena, dia putriku. Aku ingin dia bahagia tanpa beban. Aku ingin dia bebas dari kekangan kalian. Cukup lampiaskan semua amarahmu dan bapak padaku. Sudah cukup kalian libatkan Rena. Lagipula pak, bagaimanapun juga, Rena pernah menjadi cucu kesayangan anda.” Bapak berucap dengan mata berkaca kaca. Selama ini, yang kutahu, bapak adalah suami yang terlalu bucin terhadap istrinya

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 45

    Aku menyeka air mataku dan membersihkan bekas bekas air mata dengan tisu basah yang kubawa. Setelah puas menangis. Berpura pura tegar dan baik baik saja itu, ternyata sangat melelahkan!Mobil berhenti di parkiran sebuah resto. Resto yang tak asing untukku. Resto Angsana, tempat favorit aku dan ketiga sahabat bersantai di akhir pekan. Rendra membukakan pintu mobil dan mengajakku turun. Yang lainnya sudah turun terlebih dahulu. Sebelum masuk ke resto, aku meminta tolong Rendra memotretku di depan resto ini. Untuk kugunakan update story. Aku ingin menunjukkan pada bapak, aku bahagia. Dan mulai hari ini, sudah kuputuskan, aku akan menunjukkan pada ibu dan mbah kakung, seperti apa orang yang telah mereka hina. Akan kutunjukkan, bahwa pilihanku sendiri, mampu membuatku bahagia, bukan menderita seperti yang mereka ucapkan.“Rena, sedang di Jogjakah?” Pesan Whatsapp dari Santi yang baru saja kubaca.“Masih lama tidak? Aku ke sana ya?” Pesan berikutnya.“O

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 46

    “Mas Rendra berpesan, katanya mbak Rena nggak boleh dekat dekat dapur. Nanti kebakaran.” Celetuk mbak Siti. Ia kemudian menutup mulutnya dengan tangan kiri setelah mendapat tatapan tajam dari nenek. Wajahku seketika memerah menahan malu. Bagaimana bisa Rendra berkata seperti itu. Harusnya khan, ketidakmampuanku dengan urusan dapur cukup menjadi rahasia kami.“Maaf, Nek” Seruku.“Nggak apa apa. Rendra itu butuh istri. Bukan koki.” Ucap nenek dengan bijak. Terdengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku pun menoleh, ingin tahu siapakah gerangan yang datang. Ternyata Rendra. Begitu tahu dia yang datang, aku langsung mengubah ekspresi wajahku. Yang tadinya merasa bersalah menjadi cemberut dan jengkel.“Kenapa sih? Kok wajahnya cemberut gini?” Tanya Rendra setelah sampai di sampingku sambil mengelus elus puncak kepalaku.“Kenapa sih Nek?” Rendra beralih ke neneknya karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.“Siti keceplosan tadi. Soal

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 66

    “Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 65

    “Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 64

    “Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 63

    “Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 62

    “Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 61

    Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 60

    Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 59

    “Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 58

    “Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s

DMCA.com Protection Status