Aku menyeka air mataku dan membersihkan bekas bekas air mata dengan tisu basah yang kubawa. Setelah puas menangis. Berpura pura tegar dan baik baik saja itu, ternyata sangat melelahkan!
Mobil berhenti di parkiran sebuah resto. Resto yang tak asing untukku. Resto Angsana, tempat favorit aku dan ketiga sahabat bersantai di akhir pekan. Rendra membukakan pintu mobil dan mengajakku turun. Yang lainnya sudah turun terlebih dahulu. Sebelum masuk ke resto, aku meminta tolong Rendra memotretku di depan resto ini. Untuk kugunakan update story. Aku ingin menunjukkan pada bapak, aku bahagia. Dan mulai hari ini, sudah kuputuskan, aku akan menunjukkan pada ibu dan mbah kakung, seperti apa orang yang telah mereka hina. Akan kutunjukkan, bahwa pilihanku sendiri, mampu membuatku bahagia, bukan menderita seperti yang mereka ucapkan.“Rena, sedang di Jogjakah?” Pesan Whatsapp dari Santi yang baru saja kubaca.“Masih lama tidak? Aku ke sana ya?” Pesan berikutnya.“O“Mas Rendra berpesan, katanya mbak Rena nggak boleh dekat dekat dapur. Nanti kebakaran.” Celetuk mbak Siti. Ia kemudian menutup mulutnya dengan tangan kiri setelah mendapat tatapan tajam dari nenek. Wajahku seketika memerah menahan malu. Bagaimana bisa Rendra berkata seperti itu. Harusnya khan, ketidakmampuanku dengan urusan dapur cukup menjadi rahasia kami.“Maaf, Nek” Seruku.“Nggak apa apa. Rendra itu butuh istri. Bukan koki.” Ucap nenek dengan bijak. Terdengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku pun menoleh, ingin tahu siapakah gerangan yang datang. Ternyata Rendra. Begitu tahu dia yang datang, aku langsung mengubah ekspresi wajahku. Yang tadinya merasa bersalah menjadi cemberut dan jengkel.“Kenapa sih? Kok wajahnya cemberut gini?” Tanya Rendra setelah sampai di sampingku sambil mengelus elus puncak kepalaku.“Kenapa sih Nek?” Rendra beralih ke neneknya karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.“Siti keceplosan tadi. Soal
Rendra tampak terkejut dengan kelakuan wanita itu. Sama sepertiku. Tapi aku berusaha untuk pura pura tak melihat aksi wanita itu. Pura pura fokus dengan gawai di tangan.“Apa apaan sih loe!” Bentak Rendra sambil melepaskan tangan wanita itu. Membuatku mengalihkan pandangan dari gawai ke dirinya dan wanita itu. Ini pertama kalinya aku mendengar Rendra berbicara dengan nada tinggi.“Rendra, gue khan kangen banget. “ Ucap wanita itu dengan suara manja dibuat buat. Membuatku muak. Tak lama setelah kedatangan wanita itu yang tiba tiba, datang serombongan orang yang lainnya. Sebagian dari orang orang yang datang itu, sepertinya model, dilihat dari postur tubuhnya dan juga tingginya.“Eh, bos. Sudah datang rupanya. Belum lama kan nunggunya?” Ucap seorang lelaki yang menghampiri Rendra kemudian menyalaminya. Disusul yang lainnya. Mereka juga tampak menyalami Rendra. Rendra membalas uluran tangan mereka semua dengan datar, tanpa suara maupun ekspresi. Ren
“Tumben sekali, kamu mudah akrab dengan orang asing, sayang?” Sindir Rendra. Ia berucap sambil mengelus pucuk kepalaku.“Bos!” Panggil mas Edwin sambil mengisyaratkan untuk melepaskan Maya. Aku terpaksa melepaskan wanita itu saat Rendra memegang tanganku lembut. Begitu kulepaskan, wanita itu langsung menangis meraung raung tanpa malu. Mungkin agar orang orang berpikir, ia wanita yang kuzolimi. Sambil tetap menangis, Maya beranjak dari duduk dan melemparkan tubuh berharap jatuh di pelukan Rendra. Tapi sayangnya, Rendra dengan sigap, malah menghindarinya. Alhasil wanita itu bukannya mendapat pelukan hangat Rendra, malah dengan terpaksa mencium lantai keramik yang super keras dan dingin itu.“Ha ha ha..” Tawaku lepas begitu saja. Bukannya aku tidak simpati dengan Maya, tapi kejadian ini benar benar lucu untukku. Jadi aku tak bisa menahan tawaku. Dan beberapa model yang kulihat terintimidasi dengan keberadaan Maya tampak tersenyum puas meski tak tertawa.“Itu
Berjalan menuju ke arah parkiran dengan tergesa, aku kemudian duduk di kursi taman yang berada tak jauh darinya. Aku tak mau tahu dan tak peduli akan apa yang akan terjadi, maupun yang sedang terjadi di dalam sana. Kurasakan getaran dari saku tas selempangku. Kuambil gawai yang tadi kusimpan di sana. Kulihat ada pesan yang masuk dan beberapa kali pangilan tak terjawab. Dari bapak. Bapak? Aku sedikit terkejut. Tak biasanya bapak menghubungiku. Karena pastinya ibu selalu melarang beliau untuk berkomunikasi denganku. Segera kubuka pesan yang beliau kirimkan. Terus terang aku sangat penasaran ‘ada apa’.“Nduk, bapak ada di Solo, bisa ketemuan sebentar?” Pesan yang ditulis bapak. Tak ingin membuang waktu, aku segera menelpon beliau. Satu panggilan langsung terhubung.“Assalamualaikum, nduk” Terdengar suara bapak mengucap salam begitu panggilan tersambung.“Waalaikumsalam, pak. Bapak sudah di Solo? Ke rumah eyang?” Tanyaku tak sabaran.“Iya, bisa kita
Tidak ada siapapun yang menghendaki perceraian. Tapi bagaimana jika perceraian merupakan jalan terbaik yang harus diambil?“Apa sudah tidak ada jalan lain?” Tanya eyang uti. Meski ibu bukanlah menantu yang baik apalagi berbakti, eyang sebagai ibu tetaplah tak menginginkan adanya perceeraian.“Ratih sendiri yang meminta talak, bu. Pernikahan kami, sudah tidak sehat sejak awal. Tapi saya tetap bertahan di sisinya karena saya memang sudah berjanji, untuk tak akan pernah meninggalkannya kecuali dia sendiri yang memintanya. Dan selain karena janji tersebut, alasan saya tetap bertahan adalah Rena. Saya tak mungkin meninggalkan Rena sendirian di keluarga itu. Itulah kenapa, saya rela melakukan apapun kemauan Ratih. Saya takut Ratih menyuruh saya pergi, padahal Rena masih di keluarga itu.” Ucap bapak seraya menahan air mata.“Saya telah salah membuat keputusan. Tapi saya tak mau Rena menanggung akibat kesalahan saya, bu.” Lanjut bapak. Kupeluk erat lelaki di sampingku ini.“Rena minta maaf pa
Aku benar benar tak mengerti apa maksud perkataan Ferdian. Tapi yang jelas, aku benar benar muak dengan tampang optimis yang ia tunjukkan. Apa ia tak menyadari rasa ketidaksukaanku padanya? Mengapa ia terus bersikap seolah ia mempunyai daya tawar yang tinggi? Lelaki ini memang punya tingkat kepedean yang akut.“Apa maksudmu?” Tanyaku datar.“Sepertinya kamu belum tahu ya, Rena?” Ucap Ferdian. “To the point! Tak usah bertele tele!” Bentakku. Aku sudah mulai tak peduli tatapan penasaran para pengunjung yang datang. Ferdian Hutomo, salah satu ujian kesabaran yang aku selalu gagal melewatinya.“Nggak usah marah marah. Kamu semakin menggoda dengan tampang galakmu itu.” Ucap Ferdian dengan santainya. Membuatku semakin muak.“Ibu dan bapakmu sudah bercerai. Apa kamu sudah mengetahuinya?” Ucapnya dengan seringaian licik. Aku tak menanggapinya. Hanya terus terdiam dan menatapnya tajam.“Dilihat dari ekspresimu yang sama sekali tak ada
Mas Damar meminta beberapa orang untuk menjaga butik. Ia pun tetap berada di butik. Mas Damar bilang, malam ini, ia akan menginap di butik. Teman teman mas Damar dan beberapa karyawan pabrik juga datang. Setelah mendengar tentang adanya perusakan yang terjadi di butik. Para tetangga dan warga sekitar pulang setelah beberapa saat mengerumuni butik. Aku pulang bersama bapak dan pak dhe Ramdan. Setelah sampai rumah, aku segera masuk ke kamar dan membaringkan diri di tempat tidurku. Berusaha untuk tidur. Sesuai pesan pak dhe Ramdan, aku tak boleh terlalu memikirkan kejadian perusakan di butik, biarlah mas Damar yang menanganinya.Adzan Subuh memangggil. Rupanya pagi telah menyapa. Setelah menunaikan sholat Subuh dan menjalani rutinitas pagi hari, sudah menjadi kebiasaanku untuk ke dapur. Menghampiri eyang dan bu dhe yang tengah berkutat dengan masakan. Aku hanya diam melihat mereka sambil duduk tenang. Mereka bilang, dengan aku yang duduk anteng ini saja, sudah merupakan bantua
Setelah mengetahui ancaman yang masuk ke ponselku, kini bukan hanya mas Damar yang bertingkah posesif dan protektif. Semua saudara bertingkah sama sekarang. Bukan hanya tak mengijinkanku pergi sendirian, mereka bahkan tak mengijinkanku keluar pekarangan rumah. Meski hanya untuk ke butik. Eyang bilang, “anggap saja sedang dipingit menjelang pernikahan”.Dimana mana, para gadis hanya mengalami satu kali pemingitan menjelang melepas masa gadisnya. Lha ini aku, sudah 2 kali dipingit. Rena Hanindya memang beda! Aku manut manut sajalah. Daripada diomeli seluruh anggota keluarga besar Raharjo plus keluarga besar dari Rendra.“Katanya seminggu. Ini hari ke sepuluh lho!” Cecarku ketika Rendra datang ke rumah. Ia belum sempat duduk sudah kusambut dengan omelan dan tatapan tajam. Bukannya takut dengan tatapan tajamku, ia malah mencubit pipi kiriku.“Sakit!” Keluhku sambil menepis tangan Rendra yang masih setia bertengger di pipi kiriku.“Gemesh sih!” Celetuk Rendra.
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja
“Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas
“Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s