Mas Damar meminta beberapa orang untuk menjaga butik. Ia pun tetap berada di butik. Mas Damar bilang, malam ini, ia akan menginap di butik. Teman teman mas Damar dan beberapa karyawan pabrik juga datang. Setelah mendengar tentang adanya perusakan yang terjadi di butik. Para tetangga dan warga sekitar pulang setelah beberapa saat mengerumuni butik. Aku pulang bersama bapak dan pak dhe Ramdan. Setelah sampai rumah, aku segera masuk ke kamar dan membaringkan diri di tempat tidurku. Berusaha untuk tidur. Sesuai pesan pak dhe Ramdan, aku tak boleh terlalu memikirkan kejadian perusakan di butik, biarlah mas Damar yang menanganinya.
Adzan Subuh memangggil. Rupanya pagi telah menyapa. Setelah menunaikan sholat Subuh dan menjalani rutinitas pagi hari, sudah menjadi kebiasaanku untuk ke dapur. Menghampiri eyang dan bu dhe yang tengah berkutat dengan masakan. Aku hanya diam melihat mereka sambil duduk tenang. Mereka bilang, dengan aku yang duduk anteng ini saja, sudah merupakan bantuaSetelah mengetahui ancaman yang masuk ke ponselku, kini bukan hanya mas Damar yang bertingkah posesif dan protektif. Semua saudara bertingkah sama sekarang. Bukan hanya tak mengijinkanku pergi sendirian, mereka bahkan tak mengijinkanku keluar pekarangan rumah. Meski hanya untuk ke butik. Eyang bilang, “anggap saja sedang dipingit menjelang pernikahan”.Dimana mana, para gadis hanya mengalami satu kali pemingitan menjelang melepas masa gadisnya. Lha ini aku, sudah 2 kali dipingit. Rena Hanindya memang beda! Aku manut manut sajalah. Daripada diomeli seluruh anggota keluarga besar Raharjo plus keluarga besar dari Rendra.“Katanya seminggu. Ini hari ke sepuluh lho!” Cecarku ketika Rendra datang ke rumah. Ia belum sempat duduk sudah kusambut dengan omelan dan tatapan tajam. Bukannya takut dengan tatapan tajamku, ia malah mencubit pipi kiriku.“Sakit!” Keluhku sambil menepis tangan Rendra yang masih setia bertengger di pipi kiriku.“Gemesh sih!” Celetuk Rendra.
Malam ini, kami mengumpulkan kedua keluarga besarku dan keluarga Rendra di kediaman pak dhe Ramdan. Mereka terlihat cukup kaget dengan apa yang kami lakukan ini. Secara mendadak, kami meminta mereka berkumpul di sini. Semua anggota kelurga tampak heran. Kecuali mas Damar, karena dia adalah salah satu otak acara ini. Begitu kami mengutarakan niatan kami untuk mempercepat akad nikah dan membatalkan pesta, sesuai dugaanku, keluarga besar kami tak begitu saja menerimanya.“Kalau soal kalian ingin mempercepat acara akad nikah, kami setuju saja. Tapi kalau untuk membatalkan pesta, apa tak bisa dipertimbangkan lagi, nduk.” Ujar ayah Rendra. Rendra tadi bilang, bahwa ia sudah menjelaskan semua alasanku pada kedua orang tuanya. Tapi, mengapa mereka masih terlihat keberatan dengan permintaanku untuk membatalkan rencana pesta pernikahan kami? Aku terus menunduk. Tak tahu harus berkata apalagi untuk membujuk mereka agar setuju dengan pembatalan pesta yang kuinginkan.
Bugh! Sebuah pukulan ku daratkan di kepala Nindyb. Karena aku benar benar jengkel dengan tingkah isengnya itu.“Sakit Rena!” Gerutu Nindy.“Aku khan cuman mau mencairkan suasana. Biar kamu nggak tegang gitu.” Gumam Nindy.“Lebay. Cuman dipukul pakai buket bunga aja sakit.” Seru Rini.“Kalau pakai bunganya nggak sakit. Dia pukul pakai kepalan tangannya. Buket bunganya hanya buat kamuflase.” Omel Nindy. Membuat kami terkikik geli. Tingkah Nindy, lumayan mengurangi rasa tegangku.“Buketnya nggak apa apa khan?” Ucap Ratna.“Ratna, keterlaluan kamu. Bukannya nanyain keadaanku, malah nanyain buket.” Gerutu Nindy.“Masih baik baik aja, kok. Untung kita pesan yang masih kuncup. Coba yang sudah mekar, pasti sudah habis rontok.” Ucap Rini sambil memeriksa buket bunga digenggamanku.“Nggak usah bawa buket ya? Risih aku!” Rengekku.“Terus buketnya siapa yang bawa? Aku? Entar orang ngira aku pengantin perempuannya.”
“Jangan bicara omong kosong. Aku adalah saksi hidup, sebahaya apa seorang Rendra Heryawan jika ada di dekat Rena.” Pembelaan mas Damar sukses membuat mataku melotot.“Heh! Rena, kamu pikir, aku ikut kemana pun kalian pergi untuk numpang piknik? Tentu saja untuk menjagamu dari predator kayak Rendra itu. Kamu ternyata nggak sadar, seberapa besar rasa sayang kakakmu ini padamu?” Ucap mas Damar dengan lebay nya ketika melihatku menatapnya. Tapi ada untungnya ucapan lebay nan menggelitik yang dilontarkan mas Damar. Kengerian di wajah Rendra tampak sedikit berkurang.“Kalian masih tidak sadar, kalau Rendra dan keluarganya itu adalah orang yang menipulatif rupanya.” Ejek wanita itu.“Mau tahu seberapa kejam orang orang itu?” Ucap wanita yang belum kuketahui namanya itu sambil menunjuk bunda Ning.“Dia memaksaku menggugurkan kandunganku. Padahal putranya sudah memohon padanya, putranya ingin bertanggungjawab dengan kehamilanku. Tapi ia menolaknya mentah mentah. Ia memaksa putranya menjauhiku.
“Tapi itu hanya 1 fakta benar yang ia ucapkan. Selebihnya hanya kebohongan. Hera memutar balik fakta yang sebenarnya.” Ucapan bunda berikutnya mampu menenangkan gejolak di hatiku. Ya. Hatiku telah cenderung mempercayai Rendra dan keluarganya. Hera tampak ingin menyangkal, tapi selalu kuhentikan. Agar bunda mengutarakan kenyataan versi beliau sampai selesai.“Hera adalah wanita yang mempengaruhi Raka, kakak Rendra sampai menjadi seorang pecandu. Ia yang menariknya masuk ke dunia haram itu. Sayangnya, kami sekeluarga tak mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa Raka terjerumus ke dunia itu. Raka sangat pandai menutupinya. Sampai suatu hari, Hera datang ke rumah kami. Ia mengatakan bahwa dirinya hamil anak Raka. Kami mengira, ia datang untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi ternyata tidak. Wanita itu meminta uang untuk biaya menggugurkan kandungannya. Saat itu, di rumah hanya ada bunda dan Raka. Kami meminta dan memohon Hera untuk mempertahankan kandungannya. Raka bersedia be
“Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s
“Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin