Share

Bab 50

Penulis: Wildeblume
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tidak ada siapapun yang menghendaki perceraian. Tapi bagaimana jika perceraian merupakan jalan terbaik yang harus diambil?

“Apa sudah tidak ada jalan lain?” Tanya eyang uti. Meski ibu bukanlah menantu yang baik apalagi berbakti, eyang sebagai ibu tetaplah tak menginginkan adanya perceeraian.

“Ratih sendiri yang meminta talak, bu. Pernikahan kami, sudah tidak sehat sejak awal. Tapi saya tetap bertahan di sisinya karena saya memang sudah berjanji, untuk tak akan pernah meninggalkannya kecuali dia sendiri yang memintanya. Dan selain karena janji tersebut, alasan saya tetap bertahan adalah Rena. Saya tak mungkin meninggalkan Rena sendirian di keluarga itu. Itulah kenapa, saya rela melakukan apapun kemauan Ratih. Saya takut Ratih menyuruh saya pergi, padahal Rena masih di keluarga itu.” Ucap bapak seraya menahan air mata.

“Saya telah salah membuat keputusan. Tapi saya tak mau Rena menanggung akibat kesalahan saya, bu.” Lanjut bapak. Kupeluk erat lelaki di sampingku ini.

“Rena minta maaf pa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 51

    Aku benar benar tak mengerti apa maksud perkataan Ferdian. Tapi yang jelas, aku benar benar muak dengan tampang optimis yang ia tunjukkan. Apa ia tak menyadari rasa ketidaksukaanku padanya? Mengapa ia terus bersikap seolah ia mempunyai daya tawar yang tinggi? Lelaki ini memang punya tingkat kepedean yang akut.“Apa maksudmu?” Tanyaku datar.“Sepertinya kamu belum tahu ya, Rena?” Ucap Ferdian. “To the point! Tak usah bertele tele!” Bentakku. Aku sudah mulai tak peduli tatapan penasaran para pengunjung yang datang. Ferdian Hutomo, salah satu ujian kesabaran yang aku selalu gagal melewatinya.“Nggak usah marah marah. Kamu semakin menggoda dengan tampang galakmu itu.” Ucap Ferdian dengan santainya. Membuatku semakin muak.“Ibu dan bapakmu sudah bercerai. Apa kamu sudah mengetahuinya?” Ucapnya dengan seringaian licik. Aku tak menanggapinya. Hanya terus terdiam dan menatapnya tajam.“Dilihat dari ekspresimu yang sama sekali tak ada

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 52

    Mas Damar meminta beberapa orang untuk menjaga butik. Ia pun tetap berada di butik. Mas Damar bilang, malam ini, ia akan menginap di butik. Teman teman mas Damar dan beberapa karyawan pabrik juga datang. Setelah mendengar tentang adanya perusakan yang terjadi di butik. Para tetangga dan warga sekitar pulang setelah beberapa saat mengerumuni butik. Aku pulang bersama bapak dan pak dhe Ramdan. Setelah sampai rumah, aku segera masuk ke kamar dan membaringkan diri di tempat tidurku. Berusaha untuk tidur. Sesuai pesan pak dhe Ramdan, aku tak boleh terlalu memikirkan kejadian perusakan di butik, biarlah mas Damar yang menanganinya.Adzan Subuh memangggil. Rupanya pagi telah menyapa. Setelah menunaikan sholat Subuh dan menjalani rutinitas pagi hari, sudah menjadi kebiasaanku untuk ke dapur. Menghampiri eyang dan bu dhe yang tengah berkutat dengan masakan. Aku hanya diam melihat mereka sambil duduk tenang. Mereka bilang, dengan aku yang duduk anteng ini saja, sudah merupakan bantua

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 53

    Setelah mengetahui ancaman yang masuk ke ponselku, kini bukan hanya mas Damar yang bertingkah posesif dan protektif. Semua saudara bertingkah sama sekarang. Bukan hanya tak mengijinkanku pergi sendirian, mereka bahkan tak mengijinkanku keluar pekarangan rumah. Meski hanya untuk ke butik. Eyang bilang, “anggap saja sedang dipingit menjelang pernikahan”.Dimana mana, para gadis hanya mengalami satu kali pemingitan menjelang melepas masa gadisnya. Lha ini aku, sudah 2 kali dipingit. Rena Hanindya memang beda! Aku manut manut sajalah. Daripada diomeli seluruh anggota keluarga besar Raharjo plus keluarga besar dari Rendra.“Katanya seminggu. Ini hari ke sepuluh lho!” Cecarku ketika Rendra datang ke rumah. Ia belum sempat duduk sudah kusambut dengan omelan dan tatapan tajam. Bukannya takut dengan tatapan tajamku, ia malah mencubit pipi kiriku.“Sakit!” Keluhku sambil menepis tangan Rendra yang masih setia bertengger di pipi kiriku.“Gemesh sih!” Celetuk Rendra.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 54

    Malam ini, kami mengumpulkan kedua keluarga besarku dan keluarga Rendra di kediaman pak dhe Ramdan. Mereka terlihat cukup kaget dengan apa yang kami lakukan ini. Secara mendadak, kami meminta mereka berkumpul di sini. Semua anggota kelurga tampak heran. Kecuali mas Damar, karena dia adalah salah satu otak acara ini. Begitu kami mengutarakan niatan kami untuk mempercepat akad nikah dan membatalkan pesta, sesuai dugaanku, keluarga besar kami tak begitu saja menerimanya.“Kalau soal kalian ingin mempercepat acara akad nikah, kami setuju saja. Tapi kalau untuk membatalkan pesta, apa tak bisa dipertimbangkan lagi, nduk.” Ujar ayah Rendra. Rendra tadi bilang, bahwa ia sudah menjelaskan semua alasanku pada kedua orang tuanya. Tapi, mengapa mereka masih terlihat keberatan dengan permintaanku untuk membatalkan rencana pesta pernikahan kami? Aku terus menunduk. Tak tahu harus berkata apalagi untuk membujuk mereka agar setuju dengan pembatalan pesta yang kuinginkan.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 55

    Bugh! Sebuah pukulan ku daratkan di kepala Nindyb. Karena aku benar benar jengkel dengan tingkah isengnya itu.“Sakit Rena!” Gerutu Nindy.“Aku khan cuman mau mencairkan suasana. Biar kamu nggak tegang gitu.” Gumam Nindy.“Lebay. Cuman dipukul pakai buket bunga aja sakit.” Seru Rini.“Kalau pakai bunganya nggak sakit. Dia pukul pakai kepalan tangannya. Buket bunganya hanya buat kamuflase.” Omel Nindy. Membuat kami terkikik geli. Tingkah Nindy, lumayan mengurangi rasa tegangku.“Buketnya nggak apa apa khan?” Ucap Ratna.“Ratna, keterlaluan kamu. Bukannya nanyain keadaanku, malah nanyain buket.” Gerutu Nindy.“Masih baik baik aja, kok. Untung kita pesan yang masih kuncup. Coba yang sudah mekar, pasti sudah habis rontok.” Ucap Rini sambil memeriksa buket bunga digenggamanku.“Nggak usah bawa buket ya? Risih aku!” Rengekku.“Terus buketnya siapa yang bawa? Aku? Entar orang ngira aku pengantin perempuannya.”

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 56

    “Jangan bicara omong kosong. Aku adalah saksi hidup, sebahaya apa seorang Rendra Heryawan jika ada di dekat Rena.” Pembelaan mas Damar sukses membuat mataku melotot.“Heh! Rena, kamu pikir, aku ikut kemana pun kalian pergi untuk numpang piknik? Tentu saja untuk menjagamu dari predator kayak Rendra itu. Kamu ternyata nggak sadar, seberapa besar rasa sayang kakakmu ini padamu?” Ucap mas Damar dengan lebay nya ketika melihatku menatapnya. Tapi ada untungnya ucapan lebay nan menggelitik yang dilontarkan mas Damar. Kengerian di wajah Rendra tampak sedikit berkurang.“Kalian masih tidak sadar, kalau Rendra dan keluarganya itu adalah orang yang menipulatif rupanya.” Ejek wanita itu.“Mau tahu seberapa kejam orang orang itu?” Ucap wanita yang belum kuketahui namanya itu sambil menunjuk bunda Ning.“Dia memaksaku menggugurkan kandunganku. Padahal putranya sudah memohon padanya, putranya ingin bertanggungjawab dengan kehamilanku. Tapi ia menolaknya mentah mentah. Ia memaksa putranya menjauhiku.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 57

    “Tapi itu hanya 1 fakta benar yang ia ucapkan. Selebihnya hanya kebohongan. Hera memutar balik fakta yang sebenarnya.” Ucapan bunda berikutnya mampu menenangkan gejolak di hatiku. Ya. Hatiku telah cenderung mempercayai Rendra dan keluarganya. Hera tampak ingin menyangkal, tapi selalu kuhentikan. Agar bunda mengutarakan kenyataan versi beliau sampai selesai.“Hera adalah wanita yang mempengaruhi Raka, kakak Rendra sampai menjadi seorang pecandu. Ia yang menariknya masuk ke dunia haram itu. Sayangnya, kami sekeluarga tak mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa Raka terjerumus ke dunia itu. Raka sangat pandai menutupinya. Sampai suatu hari, Hera datang ke rumah kami. Ia mengatakan bahwa dirinya hamil anak Raka. Kami mengira, ia datang untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi ternyata tidak. Wanita itu meminta uang untuk biaya menggugurkan kandungannya. Saat itu, di rumah hanya ada bunda dan Raka. Kami meminta dan memohon Hera untuk mempertahankan kandungannya. Raka bersedia be

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 58

    “Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 66

    “Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 65

    “Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 64

    “Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 63

    “Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 62

    “Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 61

    Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 60

    Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 59

    “Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 58

    “Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s

DMCA.com Protection Status