Rendra tampak terkejut dengan kelakuan wanita itu. Sama sepertiku. Tapi aku berusaha untuk pura pura tak melihat aksi wanita itu. Pura pura fokus dengan gawai di tangan.
“Apa apaan sih loe!” Bentak Rendra sambil melepaskan tangan wanita itu. Membuatku mengalihkan pandangan dari gawai ke dirinya dan wanita itu. Ini pertama kalinya aku mendengar Rendra berbicara dengan nada tinggi.“Rendra, gue khan kangen banget. “ Ucap wanita itu dengan suara manja dibuat buat. Membuatku muak.Tak lama setelah kedatangan wanita itu yang tiba tiba, datang serombongan orang yang lainnya. Sebagian dari orang orang yang datang itu, sepertinya model, dilihat dari postur tubuhnya dan juga tingginya.“Eh, bos. Sudah datang rupanya. Belum lama kan nunggunya?” Ucap seorang lelaki yang menghampiri Rendra kemudian menyalaminya. Disusul yang lainnya. Mereka juga tampak menyalami Rendra. Rendra membalas uluran tangan mereka semua dengan datar, tanpa suara maupun ekspresi. Ren“Tumben sekali, kamu mudah akrab dengan orang asing, sayang?” Sindir Rendra. Ia berucap sambil mengelus pucuk kepalaku.“Bos!” Panggil mas Edwin sambil mengisyaratkan untuk melepaskan Maya. Aku terpaksa melepaskan wanita itu saat Rendra memegang tanganku lembut. Begitu kulepaskan, wanita itu langsung menangis meraung raung tanpa malu. Mungkin agar orang orang berpikir, ia wanita yang kuzolimi. Sambil tetap menangis, Maya beranjak dari duduk dan melemparkan tubuh berharap jatuh di pelukan Rendra. Tapi sayangnya, Rendra dengan sigap, malah menghindarinya. Alhasil wanita itu bukannya mendapat pelukan hangat Rendra, malah dengan terpaksa mencium lantai keramik yang super keras dan dingin itu.“Ha ha ha..” Tawaku lepas begitu saja. Bukannya aku tidak simpati dengan Maya, tapi kejadian ini benar benar lucu untukku. Jadi aku tak bisa menahan tawaku. Dan beberapa model yang kulihat terintimidasi dengan keberadaan Maya tampak tersenyum puas meski tak tertawa.“Itu
Berjalan menuju ke arah parkiran dengan tergesa, aku kemudian duduk di kursi taman yang berada tak jauh darinya. Aku tak mau tahu dan tak peduli akan apa yang akan terjadi, maupun yang sedang terjadi di dalam sana. Kurasakan getaran dari saku tas selempangku. Kuambil gawai yang tadi kusimpan di sana. Kulihat ada pesan yang masuk dan beberapa kali pangilan tak terjawab. Dari bapak. Bapak? Aku sedikit terkejut. Tak biasanya bapak menghubungiku. Karena pastinya ibu selalu melarang beliau untuk berkomunikasi denganku. Segera kubuka pesan yang beliau kirimkan. Terus terang aku sangat penasaran ‘ada apa’.“Nduk, bapak ada di Solo, bisa ketemuan sebentar?” Pesan yang ditulis bapak. Tak ingin membuang waktu, aku segera menelpon beliau. Satu panggilan langsung terhubung.“Assalamualaikum, nduk” Terdengar suara bapak mengucap salam begitu panggilan tersambung.“Waalaikumsalam, pak. Bapak sudah di Solo? Ke rumah eyang?” Tanyaku tak sabaran.“Iya, bisa kita
Tidak ada siapapun yang menghendaki perceraian. Tapi bagaimana jika perceraian merupakan jalan terbaik yang harus diambil?“Apa sudah tidak ada jalan lain?” Tanya eyang uti. Meski ibu bukanlah menantu yang baik apalagi berbakti, eyang sebagai ibu tetaplah tak menginginkan adanya perceeraian.“Ratih sendiri yang meminta talak, bu. Pernikahan kami, sudah tidak sehat sejak awal. Tapi saya tetap bertahan di sisinya karena saya memang sudah berjanji, untuk tak akan pernah meninggalkannya kecuali dia sendiri yang memintanya. Dan selain karena janji tersebut, alasan saya tetap bertahan adalah Rena. Saya tak mungkin meninggalkan Rena sendirian di keluarga itu. Itulah kenapa, saya rela melakukan apapun kemauan Ratih. Saya takut Ratih menyuruh saya pergi, padahal Rena masih di keluarga itu.” Ucap bapak seraya menahan air mata.“Saya telah salah membuat keputusan. Tapi saya tak mau Rena menanggung akibat kesalahan saya, bu.” Lanjut bapak. Kupeluk erat lelaki di sampingku ini.“Rena minta maaf pa
Aku benar benar tak mengerti apa maksud perkataan Ferdian. Tapi yang jelas, aku benar benar muak dengan tampang optimis yang ia tunjukkan. Apa ia tak menyadari rasa ketidaksukaanku padanya? Mengapa ia terus bersikap seolah ia mempunyai daya tawar yang tinggi? Lelaki ini memang punya tingkat kepedean yang akut.“Apa maksudmu?” Tanyaku datar.“Sepertinya kamu belum tahu ya, Rena?” Ucap Ferdian. “To the point! Tak usah bertele tele!” Bentakku. Aku sudah mulai tak peduli tatapan penasaran para pengunjung yang datang. Ferdian Hutomo, salah satu ujian kesabaran yang aku selalu gagal melewatinya.“Nggak usah marah marah. Kamu semakin menggoda dengan tampang galakmu itu.” Ucap Ferdian dengan santainya. Membuatku semakin muak.“Ibu dan bapakmu sudah bercerai. Apa kamu sudah mengetahuinya?” Ucapnya dengan seringaian licik. Aku tak menanggapinya. Hanya terus terdiam dan menatapnya tajam.“Dilihat dari ekspresimu yang sama sekali tak ada
Mas Damar meminta beberapa orang untuk menjaga butik. Ia pun tetap berada di butik. Mas Damar bilang, malam ini, ia akan menginap di butik. Teman teman mas Damar dan beberapa karyawan pabrik juga datang. Setelah mendengar tentang adanya perusakan yang terjadi di butik. Para tetangga dan warga sekitar pulang setelah beberapa saat mengerumuni butik. Aku pulang bersama bapak dan pak dhe Ramdan. Setelah sampai rumah, aku segera masuk ke kamar dan membaringkan diri di tempat tidurku. Berusaha untuk tidur. Sesuai pesan pak dhe Ramdan, aku tak boleh terlalu memikirkan kejadian perusakan di butik, biarlah mas Damar yang menanganinya.Adzan Subuh memangggil. Rupanya pagi telah menyapa. Setelah menunaikan sholat Subuh dan menjalani rutinitas pagi hari, sudah menjadi kebiasaanku untuk ke dapur. Menghampiri eyang dan bu dhe yang tengah berkutat dengan masakan. Aku hanya diam melihat mereka sambil duduk tenang. Mereka bilang, dengan aku yang duduk anteng ini saja, sudah merupakan bantua
Setelah mengetahui ancaman yang masuk ke ponselku, kini bukan hanya mas Damar yang bertingkah posesif dan protektif. Semua saudara bertingkah sama sekarang. Bukan hanya tak mengijinkanku pergi sendirian, mereka bahkan tak mengijinkanku keluar pekarangan rumah. Meski hanya untuk ke butik. Eyang bilang, “anggap saja sedang dipingit menjelang pernikahan”.Dimana mana, para gadis hanya mengalami satu kali pemingitan menjelang melepas masa gadisnya. Lha ini aku, sudah 2 kali dipingit. Rena Hanindya memang beda! Aku manut manut sajalah. Daripada diomeli seluruh anggota keluarga besar Raharjo plus keluarga besar dari Rendra.“Katanya seminggu. Ini hari ke sepuluh lho!” Cecarku ketika Rendra datang ke rumah. Ia belum sempat duduk sudah kusambut dengan omelan dan tatapan tajam. Bukannya takut dengan tatapan tajamku, ia malah mencubit pipi kiriku.“Sakit!” Keluhku sambil menepis tangan Rendra yang masih setia bertengger di pipi kiriku.“Gemesh sih!” Celetuk Rendra.
Malam ini, kami mengumpulkan kedua keluarga besarku dan keluarga Rendra di kediaman pak dhe Ramdan. Mereka terlihat cukup kaget dengan apa yang kami lakukan ini. Secara mendadak, kami meminta mereka berkumpul di sini. Semua anggota kelurga tampak heran. Kecuali mas Damar, karena dia adalah salah satu otak acara ini. Begitu kami mengutarakan niatan kami untuk mempercepat akad nikah dan membatalkan pesta, sesuai dugaanku, keluarga besar kami tak begitu saja menerimanya.“Kalau soal kalian ingin mempercepat acara akad nikah, kami setuju saja. Tapi kalau untuk membatalkan pesta, apa tak bisa dipertimbangkan lagi, nduk.” Ujar ayah Rendra. Rendra tadi bilang, bahwa ia sudah menjelaskan semua alasanku pada kedua orang tuanya. Tapi, mengapa mereka masih terlihat keberatan dengan permintaanku untuk membatalkan rencana pesta pernikahan kami? Aku terus menunduk. Tak tahu harus berkata apalagi untuk membujuk mereka agar setuju dengan pembatalan pesta yang kuinginkan.
Bugh! Sebuah pukulan ku daratkan di kepala Nindyb. Karena aku benar benar jengkel dengan tingkah isengnya itu.“Sakit Rena!” Gerutu Nindy.“Aku khan cuman mau mencairkan suasana. Biar kamu nggak tegang gitu.” Gumam Nindy.“Lebay. Cuman dipukul pakai buket bunga aja sakit.” Seru Rini.“Kalau pakai bunganya nggak sakit. Dia pukul pakai kepalan tangannya. Buket bunganya hanya buat kamuflase.” Omel Nindy. Membuat kami terkikik geli. Tingkah Nindy, lumayan mengurangi rasa tegangku.“Buketnya nggak apa apa khan?” Ucap Ratna.“Ratna, keterlaluan kamu. Bukannya nanyain keadaanku, malah nanyain buket.” Gerutu Nindy.“Masih baik baik aja, kok. Untung kita pesan yang masih kuncup. Coba yang sudah mekar, pasti sudah habis rontok.” Ucap Rini sambil memeriksa buket bunga digenggamanku.“Nggak usah bawa buket ya? Risih aku!” Rengekku.“Terus buketnya siapa yang bawa? Aku? Entar orang ngira aku pengantin perempuannya.”
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin