“Dari mana Rena?” Tanya pak dhe begitu aku membuka pintu pagar rumah. Beliau sedang duduk di teras rumah sambil menikmati teh buatan bu dhe Narti. Kebiasaannya di sore hari. Ini memang sudah pukul setengah lima sore. Wajah pak dhe terlihat datar. Sangat datar. Apakah beliau marah? “Dari jalan jalan sama Rayyan , pak dhe. “ Jawabku jujur. Kulihat mas Damar datang dari dalam rumah dan berhenti di pintu yang berada di samping pak dhe. Ia sengaja menunjukkan tampang mengejek padaku. Wah, memprovokasiku rupanya dia. Kalau pak dhe memang marah, aku tak mau dimarahi sendiri. Akan kupastikan mas Damar juga mendapatkannya.“Kenapa ponsel kamu nggak bisa dihubungi? Jangan bilang kehabisan baterai!” Ujar pak dhe. Mas Damar cekikikan di belakang pak dhe. Benar benar menantangku orang ini.“Sengaja Rena matikan, pak dhe.” Jawabku jujur.“Biar mas Damar nggak bisa hubungi.” Lanjutku. Aku yakin mas Damar pasti sudah menceritakan kejadian sepulang CFD tadi. “Maafin Rena ya kalau bikin pak dhe kha
“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan.“Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu.“Baik bu.” Jawab sang MUA singkat.Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku.“Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu.“Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus.“Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu.“Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran beni
Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti.Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah. Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sa
Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.“Boleh lah! Jemput ya? Aku tu
“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja
“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku
“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re