Semua Bab Dibuang Setelah Numpang Tenar: Bab 11 - Bab 20

34 Bab

11. Sepotong Ketidakjujuran

"Baru pulang, Mas?"Aku tidak menoleh saat mendengar pintu kamar berderit tertutup. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, sosoknya terhenti di depan pintu, seperti terkejut mendapati aku masih terjaga di tengah malam begini. Mas Sandy menoleh perlahan, menegakkan punggungnya seolah mencoba menjaga wibawa. Namun, tatapan dingin yang terbias di wajahnya tak lagi sama seperti dulu—ada sesuatu yang sudah hilang. Sejak aku mencium bau ketidakberesan ini, rasa hormatku padanya mulai memudar.“Ngapain belum tidur?” suaranya terdengar kaku, nyaris tanpa nada perhatian. Matanya mengerling ke arahku, seakan sedang menilai sesuatu, atau mungkin takut sesuatu terbongkar.Aku, yang sudah mengenakan gaun tidur satin tipis yang panjang, hanya tersenyum tipis. Kaki-kakiku melangkah perlahan mendekatinya. Setiap gerakanku anggun, seakan tak ada yang salah, padahal hati ini dipenuhi racun kecurigaan. Dari jarak sedekat ini, aroma parfum lain tercium samar dari tubuhnya, menempel di pakaiannya. Parfu
Baca selengkapnya

12. Satu Langkah Berani

“Unda ngapain?” Suara Naomi terdengar lirih, memecah kesunyian kamar.Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, memeluk erat boneka beruang kesayangannya, berusaha memahami apa yang sedang aku lakukan dengan koper kecil yang terbuka di atas ranjang. Matanya yang bulat, penuh rasa ingin tahu, menatapku tanpa berkedip, seakan mencari jawaban di setiap gerakan tanganku yang sibuk melipat beberapa potong pakaian.Aku tetap diam, pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Fokusku masih tertuju pada lipatan baju-baju yang kini mulai tertata rapi dalam koper. Suara kecil Naomi kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Unda mau pelgi ke mana?” tanyanya lagi.Aku bisa merasakan langkah kecilnya mendekat, melintasi karpet tebal yang menutupi lantai kayu kamar ini. Ruangan yang biasa terasa nyaman kini mulai terasa sesak oleh ketegangan yang perlahan merambat. Dalam kepalaku, berbagai pikiran berkecamuk, mencoba menyiapkan jawaban yang tak akan m
Baca selengkapnya

13. Menyusun Rencana

Sekitar tiga jam kemudian, aku sudah mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Udara Bali yang hangat langsung menyelimuti tubuhku begitu keluar dari pesawat. Meski masih memakai masker dan kacamata hitam, aku bisa merasakan hawa lembap tropis yang khas, bercampur dengan aroma minyak kelapa dari toko suvenir bandara. Namun, perhatianku bukan pada suasana liburan yang biasanya selalu kurindukan ini. Tidak, kali ini pikiranku sepenuhnya terfokus pada satu hal—mengikuti jejak Mas Sandy. Sejak turun dari taksi daring di Bandara Soekarno Hatta tadi, tak sekali pun aku melepas kacamata hitam dan masker yang kupakai. Rasanya, bahkan wajahku sendiri pun tak ingin kulihat di cermin. Ada ketakutan bahwa seseorang mungkin akan mengenaliku, atau lebih parah, seseorang akan tahu apa yang sedang kulakukan. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan diam-diam, penuh kebimbangan dan ketegangan. Pakaian yang kupilih pun sangat sederhana. Aku mengenakan k
Baca selengkapnya

14. Masalah yang Datang di Awal

"Sudah sampai alamatnya, Kak."Sopir taksi memberhentikan mobil di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Di luar sana, suara klakson bersahutan dengan deru mesin yang memenuhi udara, sementara matahari yang terik mulai turun menuju cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye lembut. Aku memandang keluar, menatap bangunan yang menjadi tujuanku dengan perasaan campur aduk.Tanganku meremas erat pegangan tas yang ada di pangkuan, mencoba mengusir rasa cemas yang terus menggelayut sejak tadi. Ketika pintu taksi terbuka, udara panas menyapa kulitku, tetapi bukan itu yang membuat dadaku sesak—melainkan bayangan kemungkinan bahwa aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kutakutkan. Sementara sopir taksi bergegas menurunkan koperku dari bagasi, aku diam-diam menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikiran. Aku butuh fokus. Ini bukan waktu yang tepat untuk tenggelam dalam emosi. Semua ini adalah bagian dari rencana yang sudah k
Baca selengkapnya

15. Membongkar Kebusukan

"Jalan Bungur I, gang Melati nomor 54. Vila 'Enchantez'. Bener kan?"Dari kursi penumpang, aku melirik pria yang bertanya itu lewat pantulan kaca spion tengah. Tepat saat dia juga melirikku sehingga tatapan kami bertemu. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya—entah rasa penasaran, atau mungkin sekadar kebiasaan orang asing yang belum terlalu akrab denganku. Tapi dalam situasi ini, setiap lirikan terasa mencurigakan.Aku segera membuang muka ke arah jendela, memilih untuk memandangi pemandangan yang berderet di luar. Deretan toko-toko kecil dan rumah-rumah sederhana berlalu satu per satu. Bayangan pepohonan yang meneduhkan jalan raya seolah tidak mampu meredakan ketegangan dalam hatiku. Angin yang berembus dari ventilasi mobil terasa dingin, tapi itu tak cukup menenangkan perasaanku. Dengan nada malas, aku menjawab, "Ya."Suara tawa tertahan terdengar lolos dari mulut Feri. Tawa yang samar tapi jelas terasa mengusik. Aku menoleh lagi hanya untuk m
Baca selengkapnya

16. Kebusukan itu Benar-Benar Nyata

"Sebenarnya kita ngapain sih di sini?!"Feri mendaratkan tinjunya ringan pada setir, suaranya menyiratkan rasa kesal. Tampak jelas bahwa dia sudah kehilangan kesabaran setelah tiga jam berdiam di sini tanpa ada pergerakan berarti. Bahkan dari tadi, setiap kali dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab sekenanya, lebih banyak diam, dan larut dalam pikiranku sendiri. Aku mulai mengerti, Feri bukan tipe orang yang tahan dalam situasi seperti ini. Maka tak heran jika pria itu mulai gelisah dan merasa bosan. "Kalau emang itu tempat penginapan kamu, masuk aja kali. Saya janji nggak bakal ngapa-ngapain kok. Saya bakal tetap stay di mobil. Kalau perlu saya bakal tidur di pos ronda terdekat." Nada suaranya yang biasanya santai, kini terdengar seperti merengek di telingaku, seolah dia berusaha memancing respons lebih dari sekadar diam dariku.Aku tetap tak bergeming. Mata menatap lurus ke depan, meski pandanganku tak fokus."Siapa suruh mau ikut?
Baca selengkapnya

17. Serpihan Cinta yang Ambyar

Sebelum berangkat, aku memang sudah memperkirakan kemungkinan kenyataan terburuk yang mungkin aku hadapi. Bayangan itu terus mengganggu pikiranku sepanjang perjalanan, seolah mempersiapkan hatiku untuk sesuatu yang menyakitkan. Namun, aku tidak pernah menduga, rasanya akan sesakit ini. Setelah berjam-jam menunggu dalam ketidakpastian dan dicekam kegelisahan yang menjengkelkan, apa yang kutunggu akhirnya muncul juga. Jantungku berpacu begitu kerasnya ketika penumpang dari mobil taksi yang berhenti di depan vila menunjukkan jati dirinya. Bulu kudukku meremang seketika. Dia tidak sendiri. Seorang wanita berdiri di sebelahnya. Meski sosok itu berusaha menyembunyikan diri dengan jaket ber-hoodie, masker, dan kacamata hitam, aku sangat mengenali postur tubuh dan gaya berjalannya. Sosok itu... adalah dia. Pria yang selama ini menemaniku dalam suka dan duka. Dan wanita yang dia bukakan pintu lalu digenggam tangannya adalah... "Sinta," gumamku lemah, suaraku nyaris tak terdengar. Aku y
Baca selengkapnya

18. Tangan yang Terulur

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cukup kencang. Terus terpuruk di saat seperti ini tentu tidak baik. Aku memang merasa hancur, tetapi aku masih perlu memikirkan langkah untuk kehidupanku ke depannya. Tidak boleh aku terus-terusan meratap dan membuang-buang waktu tanpa tujuan. Setelah beberapa kali mengatur napas dan mulai merasa sedikit lebih tenang, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melewati kaca-kaca jendela mobil yang mulai berembun karena pendingin udara. Tempat kami berhenti saat ini cukup terang. Lampu-lampu jalan menerangi sekitar, memberi kesan aman di tengah malam yang sepi. Ada beberapa orang yang lalu lalang, sesekali mobil lewat, tetapi suasana tetap tenang. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan, meski aku masih menyimpan sedikit kekhawatiran. Tempat ini terlalu terbuka untuk sebuah skenario buruk, pikirku. Feri sepertinya tidak berniat melakukan hal yang aneh-aneh. Tok! Tok! Aku sedikit terperanjat oleh suara ketukan pada kaca jendela tep
Baca selengkapnya

19. Satu Hari yang Panjang

"Ini penginapan milik teman yang paling dekat dari sini. Mungkin nggak semegah tempat kamu menginap biasanya, tapi saya jamin di sini aman dan nyaman." Suara Feri terdengar mantap, namun suasana di sekitarku terasa dingin. Aku masih berdiri tegak di tengah ruangan sambil mengamati sekitar. Dinding penginapan ini didominasi cat putih gading yang mulai pudar di beberapa sudut, kontras dengan lampu-lampu kuning hangat yang dipasang rendah di langit-langit. Meja resepsionis di ujung lorong tampak sederhana, dengan dua pegawai yang berdiri berjaga. Mereka melirik kami sekilas sebelum kembali sibuk dengan catatan-catatan mereka. Feri sudah berbalik menghampiri meja resepsionis dan melakukan transaksi. Tidak sampai lima menit kemudian, dia kembali menghampiriku dengan membawa sebuah kunci logam bergantungan nomor "102" yang terlihat sudah sedikit usang. "Ayo," ajaknya sambil menyeret koperku. Rodanya bergemertak lembut di atas lantai keramik yang licin. Aku mengikutinya di belakang. Sepa
Baca selengkapnya

20. Masihkah Aku Wanita yang Bersuami?

[Tolong kamu cepat ke sini. Saya mau ke bandara pagi ini juga]Aku mengirim pesan teks itu ke WhatsApp Feri, sebelum menggeletakkan ponselku di atas nakas. Udara di dalam kamar penginapan ini terasa sedikit pengap, meski pendingin ruangan sudah menyala sejak tadi malam. Kamar ini cukup sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil, tapi pikiranku terlalu kusut untuk menikmati pemandangan.Lima belas menit kemudian, aku mengambil ponselku lagi. Tanda dua centang di pesan yang kukirim masih abu-abu. Belum dibaca. Aku mendengus kesal, melempar pandanganku ke jam dinding. Hampir pukul setengah tujuh pagi, tapi Feri belum juga membalas. Di usia seperti dia, masa sih masih bisa tidur nyenyak di jam segini?Kubuka tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Cahaya itu seolah menerangi kegelisahan yang merambat di kepalaku. Pikiran tentang apa yang mungkin sedang dilakukan Sandy di vila itu terus berputar. Bagaimana kalau benar apa yang kutaku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status