All Chapters of Dibuang Setelah Numpang Tenar: Chapter 31 - Chapter 40

56 Chapters

31. Setelah Kita Berpisah

Sudah menjadi komitmenku sejak awal, meski telah berpisah, aku tidak ingin Naomi kehilangan kasih sayang dari sang ayah seperti yang kualami dulu. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membatasi jika Mas Sandy ingin menemui putrinya.Terhitung sudah genap 6 bulan sejak kami resmi bercerai. Di minggu-minggu awal, aku yang perlu usaha mengingatkan Mas Sandy untuk mengunjungi Naomi, dengan cara menghubungi manajernya lewat Rina. Itu pun dia hanya menjenguk Naomi 1-2 kali tiap pekannya."Unda, kenapa Ayah udah nggak di lumah ini lagi, sih? Unda yang nyuluh Ayah pelgi dali lumah, ya?" tanya Naomi suatu hari, saat kukatakan padanya bahwa besok Mas Sandy akan datang menjemput."Bunda nggak ngusir Ayah, Sayang. Ayah nggak tinggal di rumah ini lagi karena keinginan Ayah sendiri," jawabku.Tidak salah, kan? Memang sejak gugatan cerai itu aku layangkan, Mas Sandy tidak menampakkan usaha apa-apa untuk mempertahankan rumah tangga kami."Kenapa gitu? Unda sama Ayah belantem, ya?" Naomi masih penasaran.
last updateLast Updated : 2024-09-18
Read more

32. Perubahan Drastis

Sebulan terakhir ini memang penuh kejutan. Entah aku harus bersyukur atau tidak, sikap Mas Sandy berubah secara drastis. Dulu, ia jarang sekali meluangkan waktu untuk Naomi, tapi sekarang… dalam seminggu, bisa tiga sampai empat kali ia mengajak Naomi pergi. Seperti hari ini, ia akan menjemput Naomi lagi. Jujur saja, aku tak tahu bagaimana perasaanku tentang ini. Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia melakukannya karena rasa bersalah? Atau mungkin ada maksud lain yang terselubung? Meski begitu, aku tetap menjaga jarak. Mas Sandy mungkin berubah terhadap Naomi, tapi terhadapku? Dia masih sama seperti dulu. Hubungan kami tak lebih dari sekadar formalitas orang tua yang sudah terpisah.Yang sedikit aneh, kini Mas Sandy berani langsung menghubungiku lewat WhatsApp. Dia tak lagi meminta bantuan Rina atau Mbak Mala untuk menyampaikan pesan. Ia bahkan menyapaku dengan santai seolah tak ada yang salah di antara kami. Namun, aku hanya membaca pesannya, tidak pernah membalas secara langsung. Ak
last updateLast Updated : 2024-09-18
Read more

33. Apa yang Dia Inginkan?

Ponselku diam kembali setelah deringnya yang kedua berhenti, meninggalkan jejak keheningan di ruangan syuting yang kini terasa sedikit pengap. Aku melirik layar ponsel untuk memastikan tidak ada pesan susulan dari Mas Sandy. Tidak ada. Hanya panggilan tak terjawab. Helaan napas panjang keluar tanpa aku sadari."Naomi udah berangkat?" tanyaku pada Rina yang masih sibuk membereskan beberapa perlengkapan di meja."Udah, Kak. Mbak Mala yang nganter, kan?" jawab Rina tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan alat make up di depannya.Aku mengangguk, meski dia mungkin tidak bisa melihatnya. "Iya," sahutku singkat. Ada sedikit perasaan lega yang mengalir di dadaku. Naomi sudah bersama ayahnya, berarti tidak ada yang perlu aku khawatirkan—atau setidaknya, begitulah aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.Selama empat tahun lebih menjalin rumah tangga dengan Mas Sandy, aku belajar satu hal: dia tidak mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Mas Sandy selalu tahu bagaimana ca
last updateLast Updated : 2024-09-19
Read more

34. Untuk Apa Dia Datang Lagi?

Tentunya aku tidak menerima telepon dari pria itu. Justru aku segera memghubungi Mbak Mala. Rasanya ada yang tidak beres. Pada nada sambung ketiga, panggilanku terhubung, dan jantungku masih berdegup kencang."Halo, Assalaamualaikum." Suara Mbak Mala terdengar jernih, tapi aku tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang tiba-tiba menyeruak dalam diriku."Waalaikumsalaam, Mbak," sahutku cepat, suaraku sedikit tersendat karena cemas. "Mbak, Naomi nggak papa?"Ada jeda sebentar di seberang sana. "Ya, Bu?" Mbak Mala terdengar bingung. "Naomi nggak papa kok, Bu. Ada apa, ya?" Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega, seolah beban besar baru saja terangkat dari pundakku. Jari-jari tanganku yang semula kaku mulai mengendur di sekitar ponsel. Syukurlah!"Nggak ada apa-apa kok, Mbak," kataku lebih pelan, berusaha menenangkan diri. "Sekarang lagi ngapain? Di mana?" tanyaku beruntun. Tentu aku tak akan mengatakan bahwa tadi aku merasa cemas karena Mas Sandy dua kali menelepon dan aku menolak menga
last updateLast Updated : 2024-09-20
Read more

35. Bertemu dengannya Lagi

Aku tidak akan tertipu. Tidak untuk yang kedua kali.Pikiranku sudah bulat. Apa pun yang Mas Sandy rencanakan dengan mengajakku bertemu, aku harus tetap waspada. Aku tidak bisa membiarkan diriku terperosok ke dalam jebakan yang sama. Dulu, aku terlalu percaya. Kata-katanya yang manis dan sikapnya yang lembut membuatku merasa aman, tapi semua itu hanya untuk menutupi kebenaran pahit yang akhirnya membuatku terluka.Kali ini, aku berbeda. Aku sudah belajar dari pengalaman. Sekarang, aku tidak akan membiarkan diriku dikendalikan dan justru sekarang akan membalikkan keadaan.Aku memandangi layar ponselku, melihat pesan dari Mas Sandy kemarin yang mengajakku bertemu di kafe La La Feast. Sebuah tempat baru yang aku ketahui belum lama ini. Begitu memutuskan untuk menerima ajakannya bertemu, aku memang langsung melakukan penyelidikan. Kafe itu baru buka sekitar 2 minggu. Penampilannya tampak modern dengan dinding kaca besar, di mana orang yang duduk di dalam bisa melihat ke luar dengan jelas
last updateLast Updated : 2024-09-20
Read more

36. Sesuatu yang Dia Inginkan

"Assalaamualaikum, Ressa. Kamu datang?" Mas Sandy menyambutku dengan wajah penuh senyum. Senyum yang dulunya mungkin bisa melelehkan hatiku. Tapi kini, hanya menyulut rasa jijik. Aku menahan diri, menelan bulat-bulat semua perasaan yang mendidih di dalam dada. "Waalaikumsalaam," jawabku dingin. "Kamu yang ngajak ketemu duluan. Berharap aku nggak datang?" Mas Sandy terkesiap, wajahnya yang semula cerah berubah sedikit canggung. "Nggak... nggak begitu maksudku. Aku cuma nggak nyangka kamu beneran datang. Aku kirain kamu... ya, kamu nggak balas pesanku, jadi aku pikir mungkin kamu nggak mau," suaranya terdengar ragu saat mengatakan hal terakhir. Namun, aku tetap melayangkan tatapan tak bersahabat. Mas Sandy menghindari tatapanku. Dia menunduk, menarik daftar menu dari meja di depannya, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dia katakan untuk mengisi kekosongan yang tiba-tiba terjadi. Tapi aku tetap diam, memandangi dia dari sudut buku menu yang belum sempat kusentuh. Tidak lama ber
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

37. Modus yang Terbongkar

Aku duduk kaku di kursiku, sementara tubuhku masih bergetar mendengar ucapan Mas Sandy. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, menimbulkan campuran antara amarah dan kebingungan. "Memperbaiki hubungan seperti dulu?" Ucapan itu terasa asing dan menyesakkan. Tanpa peringatan, aku merasakan sentuhan di tanganku. Jemari Mas Sandy melingkar di sekelilingnya, mencoba meraih koneksi yang sudah lama terputus. Sentuhan yang dulu terasa hangat, kini terasa asing. "Ressa, kok diem?" tanyanya, seolah tidak sadar betapa banyak luka yang telah ia ciptakan. Wajahnya tersenyum, tapi di balik senyum itu, aku tidak menemukan penyesalan yang tulus. Hanya keinginan untuk menormalkan sesuatu yang sudah terlanjur rusak. "Daripada kita membesarkan anak secara terpisah, jalan sendiri-sendiri begini, lebih baik barengan. Naomi pasti juga seneng kalau lihat orang tuanya tinggal satu atap lagi," lanjutnya, seolah-olah semuanya begitu sederhana. Seolah-olah hanya dengan keputusan rujuk, semua masalah akan
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

38. Harga yang Kupertaruhkan

Aku duduk diam seperti patung, seolah tubuhku beku dalam ruangan kafe itu. Tapi di dalam kepalaku, segalanya tidaklah tenang. Berisik, seperti ada gema pertengkaran yang terus-menerus berulang tanpa bisa kuputus. Mas Sandy, pria yang dulu pernah membuatku tersenyum dan mencintainya, kini hanya menyisakan luka yang semakin dalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya barusan terasa seperti pisau yang menusuk kembali di tempat yang sama, berkali-kali. Sakitnya meresap hingga ke relung dada, membuat napasku terasa sesak.Aku mencoba menguasai diriku, tapi mataku terasa panas. Aku meraih tisu dan cepat-cepat menghapus sudut-sudut mataku sebelum air mata jatuh. Jangan menangis, kataku dalam hati. Pria seperti Mas Sandy tidak layak mendapatkan air mataku. Air mata ini lebih berharga daripada perasaan yang hancur karena kelakuannya.Aku menatap kosong ke arah meja. Kursi di depanku sudah kosong, tetapi sisa kehadirannya masih terasa. Makanan dan minuman yang tadi dipesan Mas Sandy tergeleta
last updateLast Updated : 2024-09-24
Read more

39. Di Luar Dugaan

"Hah! Jadi itu alasannya kamu ngomong kayak gitu tadi?""Maksud kamu apa?""Kamu sendiri kan yang pernah bilang kalau nikah sama aku cuma buat numpang tenar aja? Setelah dapatin semua, kamu buang aku seperti sampah!"Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak pernah bilang begitu!" "Sekarang, setelah karier kamu mulai redup, kamu mau balik ke aku biar bisa mendompleng popularitas lagi? Itu maksud kamu, kan?"Sudah lebih dari enam jam sejak aku mengunggah rekaman pertengkaranku dengan Mas Sandy di La La Feast. Seperti yang sudah kuduga, video tersebut langsung membikin gempar masyarakat. Grafik view melonjak cepat, dan dalam waktu tiga puluh menit pertama, komentar sudah membanjiri unggahan itu. Ratusan, bahkan ribuan pesan masuk. Namun, aku memutuskan untuk tidak terlibat lebih lama. Ponselku kubiarkan mati, hingga pagi tiba.Pagi-pagi sekali, suasana rumah terasa damai. Aku duduk di meja makan bersama Naomi. Meskipun putri kecilku terlihat ceria, aku tidak bisa lepas dari perasaan cemas. Po
last updateLast Updated : 2024-09-24
Read more

40. Bumerang

Aku masih terpekur menatap layar ponsel di atas meja. Rasa sesak seolah memenuhi dada, melebur dengan api tak kasatmata yang tersulut di sana. Kutarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasanku.Hah! Apa-apaan? Padahal aku adalah korban di sini! Alasanku mengunggah pertengkaran kami bukan untuk mengadukan, melainkan supaya Mas Sandy tidak macam-macam lagi denganku. Aku ingin orang-orang tahu bagaimana kelakuan aslinya di balik topeng itu, sehingga tidak ada yang termakan tipuannya. Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya?"Nah, sekarang Kak Ressa tahu, kan?" ucap Rina, suara sinisnya membuatku semakin frustrasi.Aku menarik napas panjang sambil membanting punggung ke sandaran kursi. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, berusaha menetralkan rasa frustrasi yang menggebu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Take down! Take down! Cepet hapus video itu dari channel kita!" perintahku sambil segera duduk tegak kembali, panik melanda hatiku."Percuma, Kak. Videonya udah kesebar di
last updateLast Updated : 2024-09-24
Read more
PREV
123456
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status