Ponselku diam kembali setelah deringnya yang kedua berhenti, meninggalkan jejak keheningan di ruangan syuting yang kini terasa sedikit pengap. Aku melirik layar ponsel untuk memastikan tidak ada pesan susulan dari Mas Sandy. Tidak ada. Hanya panggilan tak terjawab. Helaan napas panjang keluar tanpa aku sadari."Naomi udah berangkat?" tanyaku pada Rina yang masih sibuk membereskan beberapa perlengkapan di meja."Udah, Kak. Mbak Mala yang nganter, kan?" jawab Rina tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan alat make up di depannya.Aku mengangguk, meski dia mungkin tidak bisa melihatnya. "Iya," sahutku singkat. Ada sedikit perasaan lega yang mengalir di dadaku. Naomi sudah bersama ayahnya, berarti tidak ada yang perlu aku khawatirkan—atau setidaknya, begitulah aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.Selama empat tahun lebih menjalin rumah tangga dengan Mas Sandy, aku belajar satu hal: dia tidak mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Mas Sandy selalu tahu bagaimana ca
Tentunya aku tidak menerima telepon dari pria itu. Justru aku segera memghubungi Mbak Mala. Rasanya ada yang tidak beres. Pada nada sambung ketiga, panggilanku terhubung, dan jantungku masih berdegup kencang."Halo, Assalaamualaikum." Suara Mbak Mala terdengar jernih, tapi aku tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang tiba-tiba menyeruak dalam diriku."Waalaikumsalaam, Mbak," sahutku cepat, suaraku sedikit tersendat karena cemas. "Mbak, Naomi nggak papa?"Ada jeda sebentar di seberang sana. "Ya, Bu?" Mbak Mala terdengar bingung. "Naomi nggak papa kok, Bu. Ada apa, ya?" Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega, seolah beban besar baru saja terangkat dari pundakku. Jari-jari tanganku yang semula kaku mulai mengendur di sekitar ponsel. Syukurlah!"Nggak ada apa-apa kok, Mbak," kataku lebih pelan, berusaha menenangkan diri. "Sekarang lagi ngapain? Di mana?" tanyaku beruntun. Tentu aku tak akan mengatakan bahwa tadi aku merasa cemas karena Mas Sandy dua kali menelepon dan aku menolak menga
Aku tidak akan tertipu. Tidak untuk yang kedua kali.Pikiranku sudah bulat. Apa pun yang Mas Sandy rencanakan dengan mengajakku bertemu, aku harus tetap waspada. Aku tidak bisa membiarkan diriku terperosok ke dalam jebakan yang sama. Dulu, aku terlalu percaya. Kata-katanya yang manis dan sikapnya yang lembut membuatku merasa aman, tapi semua itu hanya untuk menutupi kebenaran pahit yang akhirnya membuatku terluka.Kali ini, aku berbeda. Aku sudah belajar dari pengalaman. Sekarang, aku tidak akan membiarkan diriku dikendalikan dan justru sekarang akan membalikkan keadaan.Aku memandangi layar ponselku, melihat pesan dari Mas Sandy kemarin yang mengajakku bertemu di kafe La La Feast. Sebuah tempat baru yang aku ketahui belum lama ini. Begitu memutuskan untuk menerima ajakannya bertemu, aku memang langsung melakukan penyelidikan. Kafe itu baru buka sekitar 2 minggu. Penampilannya tampak modern dengan dinding kaca besar, di mana orang yang duduk di dalam bisa melihat ke luar dengan jelas
"Assalaamualaikum, Ressa. Kamu datang?" Mas Sandy menyambutku dengan wajah penuh senyum. Senyum yang dulunya mungkin bisa melelehkan hatiku. Tapi kini, hanya menyulut rasa jijik. Aku menahan diri, menelan bulat-bulat semua perasaan yang mendidih di dalam dada. "Waalaikumsalaam," jawabku dingin. "Kamu yang ngajak ketemu duluan. Berharap aku nggak datang?" Mas Sandy terkesiap, wajahnya yang semula cerah berubah sedikit canggung. "Nggak... nggak begitu maksudku. Aku cuma nggak nyangka kamu beneran datang. Aku kirain kamu... ya, kamu nggak balas pesanku, jadi aku pikir mungkin kamu nggak mau," suaranya terdengar ragu saat mengatakan hal terakhir. Namun, aku tetap melayangkan tatapan tak bersahabat. Mas Sandy menghindari tatapanku. Dia menunduk, menarik daftar menu dari meja di depannya, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dia katakan untuk mengisi kekosongan yang tiba-tiba terjadi. Tapi aku tetap diam, memandangi dia dari sudut buku menu yang belum sempat kusentuh. Tidak lama ber
Aku duduk kaku di kursiku, sementara tubuhku masih bergetar mendengar ucapan Mas Sandy. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, menimbulkan campuran antara amarah dan kebingungan. "Memperbaiki hubungan seperti dulu?" Ucapan itu terasa asing dan menyesakkan. Tanpa peringatan, aku merasakan sentuhan di tanganku. Jemari Mas Sandy melingkar di sekelilingnya, mencoba meraih koneksi yang sudah lama terputus. Sentuhan yang dulu terasa hangat, kini terasa asing. "Ressa, kok diem?" tanyanya, seolah tidak sadar betapa banyak luka yang telah ia ciptakan. Wajahnya tersenyum, tapi di balik senyum itu, aku tidak menemukan penyesalan yang tulus. Hanya keinginan untuk menormalkan sesuatu yang sudah terlanjur rusak. "Daripada kita membesarkan anak secara terpisah, jalan sendiri-sendiri begini, lebih baik barengan. Naomi pasti juga seneng kalau lihat orang tuanya tinggal satu atap lagi," lanjutnya, seolah-olah semuanya begitu sederhana. Seolah-olah hanya dengan keputusan rujuk, semua masalah akan
Aku duduk diam seperti patung, seolah tubuhku beku dalam ruangan kafe itu. Tapi di dalam kepalaku, segalanya tidaklah tenang. Berisik, seperti ada gema pertengkaran yang terus-menerus berulang tanpa bisa kuputus. Mas Sandy, pria yang dulu pernah membuatku tersenyum dan mencintainya, kini hanya menyisakan luka yang semakin dalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya barusan terasa seperti pisau yang menusuk kembali di tempat yang sama, berkali-kali. Sakitnya meresap hingga ke relung dada, membuat napasku terasa sesak.Aku mencoba menguasai diriku, tapi mataku terasa panas. Aku meraih tisu dan cepat-cepat menghapus sudut-sudut mataku sebelum air mata jatuh. Jangan menangis, kataku dalam hati. Pria seperti Mas Sandy tidak layak mendapatkan air mataku. Air mata ini lebih berharga daripada perasaan yang hancur karena kelakuannya.Aku menatap kosong ke arah meja. Kursi di depanku sudah kosong, tetapi sisa kehadirannya masih terasa. Makanan dan minuman yang tadi dipesan Mas Sandy tergeleta
"Hah! Jadi itu alasannya kamu ngomong kayak gitu tadi?""Maksud kamu apa?""Kamu sendiri kan yang pernah bilang kalau nikah sama aku cuma buat numpang tenar aja? Setelah dapatin semua, kamu buang aku seperti sampah!"Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak pernah bilang begitu!" "Sekarang, setelah karier kamu mulai redup, kamu mau balik ke aku biar bisa mendompleng popularitas lagi? Itu maksud kamu, kan?"Sudah lebih dari enam jam sejak aku mengunggah rekaman pertengkaranku dengan Mas Sandy di La La Feast. Seperti yang sudah kuduga, video tersebut langsung membikin gempar masyarakat. Grafik view melonjak cepat, dan dalam waktu tiga puluh menit pertama, komentar sudah membanjiri unggahan itu. Ratusan, bahkan ribuan pesan masuk. Namun, aku memutuskan untuk tidak terlibat lebih lama. Ponselku kubiarkan mati, hingga pagi tiba.Pagi-pagi sekali, suasana rumah terasa damai. Aku duduk di meja makan bersama Naomi. Meskipun putri kecilku terlihat ceria, aku tidak bisa lepas dari perasaan cemas. Po
Aku masih terpekur menatap layar ponsel di atas meja. Rasa sesak seolah memenuhi dada, melebur dengan api tak kasatmata yang tersulut di sana. Kutarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasanku.Hah! Apa-apaan? Padahal aku adalah korban di sini! Alasanku mengunggah pertengkaran kami bukan untuk mengadukan, melainkan supaya Mas Sandy tidak macam-macam lagi denganku. Aku ingin orang-orang tahu bagaimana kelakuan aslinya di balik topeng itu, sehingga tidak ada yang termakan tipuannya. Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya?"Nah, sekarang Kak Ressa tahu, kan?" ucap Rina, suara sinisnya membuatku semakin frustrasi.Aku menarik napas panjang sambil membanting punggung ke sandaran kursi. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, berusaha menetralkan rasa frustrasi yang menggebu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Take down! Take down! Cepet hapus video itu dari channel kita!" perintahku sambil segera duduk tegak kembali, panik melanda hatiku."Percuma, Kak. Videonya udah kesebar di
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca